
Judul: Tarian Bumi
Penulis: Oka Rusmini
Desain cover: Fandy Dwimarjaya
Setting: Ryan Pradana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: Cetakan ketiga, Maret 2017
Tebal: 176 halaman
ISBN: 978-602-03-3915-3
Novel ini diceritakan melalui sudut pandang orang ketiga, dengan alur maju-mundur. Cerita memang didominasi oleh Sagra, Sekar, dan Telaga. Namun, melalui tiga perempuan beda generasi tersebut, kita juga diperkenalkan pada kisah hidup beberapa perempuan lainnya yang membersamai perjalanan hidup mereka. Mereka adalah perempuan yang menomorduakan dirinya demi kepentingan agama dan budaya. Tapi, di lain sisi, mereka juga berusaha melawan aturan-aturan yang berlaku.
Sebagian besar konflik para perempuan Bali terpicu karena masyarakat di sana selalu menilai dan menentukan segala sesuatunya berdasarkan kasta. Yang paling menonjol di sini adalah pernikahan. Mereka diwajibkan memilih pasangan hidup yang sederajat. Ketika itu dilanggar, maka pihak perempuanlah yang paling dirugikan. Mereka harus merasakan jauh dari keluarga kandungnya, tapi tak pernah dihargai oleh keluarga baru mereka. Begitu pun dalam hal kesenian. Rupanya, butuh usaha keras bagi perempuan Sudra untuk bisa mewujudkan impiannya menjadi penari. Sementara itu, para putri Brahmana harus menahan lelahnya menari di griya, dan menghabiskan waktu untuk membuat sesajen setiap harinya.
Selain kasta, perilaku kaum laki-laki pun tak kalah meresahkannya bagi perempuan. Penulis memang terkesan tidak adil. Hampir seluruh laki-laki dalam novel ini digambarkan sebagai sosok yang tak bertanggung jawab. Mereka hanya pandai menakar tubuh perempuan demi memuaskan nafsunya. Bahkan, mereka sengaja menikahi perempuan yang mandiri dan dapat menghasilkan uang agar bisa bersantai. Tak sedikit perempuan yang bernasib buruk karena ulah lelaki. Menilik pada fakta tersebut, maka wajar jika beberapa tokoh perempuan di sini sangat membenci laki-laki, lalu memutuskan untuk tidak menikah, dan lebih menyukai sesama perempuan.
Di sini, penulis juga tak segan-segan menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah. Diceritakan melalui seorang penari terbaik yang telah mengabdikan dirinya demi melestarikan kesenian Bali. Ia juga telah mendapatkan beragam penghargaan. Tapi, tidak pernah mendapat kesejahteraan hingga akhir hayatnya. Pengetahuan dan pengalamannya dalam kesenian Bali pun hanya dimanfaatkan oleh para penulis untuk bahan tulisan mereka tanpa mendapat imbalan sepeser pun. Anggapan bahwa orang-orang asinglah yang lebih menghargai kebudayaan kita pun tidak 100% benar.
Saya melihat bahwa perempuan Bali ingin melepaskan diri dari adat-istiadat yang telah diberlakukan secara turun-temurun. Tapi, mereka juga tetap menjaga kemurnian seni budaya di tanah kelahiran mereka. Tak ingin dirusak oleh generasi yang konon berpendidikan tinggi. Mereka berusaha memberontak karena merasa berhak memilih jalan hidupnya sendiri, bukan hanya diatur oleh sistem. Tapi, pada akhirnya mereka pun tetap tunduk pada adat, menjalani tradisi yang ada. Mereka tetap tak bisa menampik kenyataan bahwa tak ada pilihan yang tak beresiko. Mematuhi ataupun melanggar adat, semuanya sama-sama harus dibayar mahal.
Selain tema dan konfliknya yang menarik, cara Oka Rusmini bercerita pun sangat asyik untuk dinikmati, jelas dan padat. Perpindahan tokoh pun berlangsung cepat dan melompat-lompat. Gaya bahasa yang digunakan sangat lugas dan tajam, tapi kadang pun terasa halus dan cenderung puitis. Meskipun 176 halaman masih terlalu tipis untuk menceritakan semua tentang Bali⧿karena saya merasa terdapat beberapa bagian yang diselesaikan dengan tergesa-gesa, novel ini benar-benar menambah wawasan. Saya rekomendasikan novel ini untuk kalian yang ingin mengenal kehidupan masyarakat Bali secara lebih dekat. Tapi, karena terdapat muatan dewasa, maka saya sarankan hanya untuk usia 18+.

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.