
Terry Bogard (David Leitch), seorang agen CIA, belakangan ikut bergabung bersama Mai dan Iori untuk menggagalkan rencana Rugal seraya meyakinkan Kyo yang kini menjadi tumpuan terakhir setelah Syaisu meninggal. Kyo masih ngotot dirinya tak tahu apapun soal pedang atau mengenai klan Kusanagi, sedangkan Terry malah tak memercayai keberadaan dimensi lain yang merupakan tempat berlangsungnya pertarungan. Rita Agustine dan rekannya berusaha keras membuat naskah The King of Fighters terlihat berbobot dengan meminimalisir adegan pertarungan dan memperbanyak porsi dramanya. Usaha yang patut dihargai, tapi penonton tentu lebih mengharapkan adegan bak bik buk yang mantap ketimbang drama panjang bertele – tele pembuat kantuk di film jenis ini. Terlebih apa yang dilakukan oleh tim penulis skenario justru hanya memperburuk kualitas filmnya itu sendiri. The King of Fighters bertutur dengan datar di sepanjang film. Tampilannya begitu mengenaskan, bujet $12 juta entah dialokasikan buat apa, menggaji pemainnya mungkin ? Malah ada satu adegan yang cukup bikin saya miris karena special effect yang begitu buruk. Ouch!
Para pemerannya juga tak membantu. Mereka bermain dengan sangat mengecewakan, tak ada chemistry dan sama sekali tak berhasil merasuki karakter yang mereka perankan. Cukup aneh mengingat fakta bahwa beberapa dari mereka telah memiliki jam terbang yang tinggi, namun kemampuan akting mereka disini tak ubahnya artis pendatang baru. Sepertinya kehadiran mereka disini bukan untuk berakting melainkan hanya untuk memamerkan tubuh dan kemampuan bertarung. Sean Faris, Maggie Q dan Francoise Yip bolehlah untuk membuat mata terasa lebih segar. Jika bosan dengan filmnya, cukup pandangi saja wajah rupawan mereka mungkin bisa membantu untuk membangkitkan mood, hehe. By the way, ada yang merasa familiar dengan wajah atau nama Francoise Yip ? Jika kalian mengikuti perkembangan film di tahun 90-an, maka nama ini tentu tak asing lagi. Yup, dia adalah bomb seks kala itu, tak kalah panasnya dengan Pheng Tan.
The King of Fighters berusaha hadir sedekat mungkin dengan game-nya. Adegan pertarungan dirancang tak jauh berbeda dengan versi game sehingga penonton dibuat seolah – olah sedang bermain game alih – alih menonton film. Sayangnya koreografi laga tak menjanjikan sesuatu yang baru, hanya pengulangan. Belum lagi alurnya datar dan sisi teknisnya begitu ‘mengerikan’. Dengan segala kelemahannya, pede sekali The King of Fighters beredar di bioskop meskipun hanya di wilayah Asia. Menonton Street Fighter : The Legend of Chun-Li dan film buruk bikinan Uwe Boll untuk kedua kalinya rasanya masih jauh lebih mending ketimbang harus menghabiskan 92 menit hidup kalian yang berharga untuk menyaksikan film ini.
Nilai = 2/10 (Troll)

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.