
Immortals adalah sebuah film epik fantasi yang bertumpu pada polesan CGI yang megah, visualisasi yang indah, serta adegan-adegan pembantaian penuh darah untuk menutupi naskah yang kosong. Vlas dan Charley Parlapanides tidak memberikan nyawa ke dalam tulisan mereka sehingga konflik yang dihadirkan hampir tidak memiliki greget. Sebuah titik balik yang terjadi ketika ibu dari Theseus dibantai seharusnya mampu menggugah emosi penonton, terutama untuk berempati kepada si karakter utama. Yang justru terjadi adalah adegan in berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan apapun seakan ini bukan menjadi sesuatu yang berpengaruh terhadap perkembangan karakter Theseus. Malahan, duo penulis naskah menambahkan adegan-adegan yang terasa kurang penting dan dipaksakan untuk masuk yang sayangnya justru mengacaukan ritme alih-alih memaniskan film. Dengan drama yang tidak memiliki dinamika yang baik, secara otomatis adegan laga pun dijadikan sebagai tameng penyelamat. Hanya saja, Tarsem Singh baru memasukannya di penghujung film. Penonton dipaksa untuk melewati fase-fase yang membosankan terlebih dahulu sebelum akhirnya menikmati perang akbar yang disuguhkan dalam durasi yang relatif singkat.
Satu-satunya yang bisa membuat saya melek hingga akhir adalah keberanian Tarsem Singh dalam mempertontonkan adegan-adegan penuh muncratan darah dan tubuh yang tercerai berai. Selain itu, parade kostum-kostum ajaib yang menjadi ciri khas Tarsem Singh kembali dimunculkan disini. Lihat saja bagaimana uniknya kostum yang dikenakan oleh para peramal, Raja Hyperion beserta pasukannya, dan para dewa. Khusus untuk para dewa, saya tidak sanggup untuk menahan ketawa setiap kali mereka muncul dengan balutan kostum yang sulit untuk saya ungkapkan dengan kata-kata. Yang pasti, saya tidak sendirian. Sebagian besar penonton pun terkejut saat melihat penampilan para Dewa Yunani versi Tarsem Singh ini. Unik sih, tapi kok jadi terkesan tidak berwibawa ya? Jika menilik performa para aktor dan aktrisnya, maka hanya Henry Cavill dan Mickey Rourke saja yang bermain cukup apik. Freida Pinto tak lebih dari sekadar pemanis saja. Sementara yang bisa diingat dari Stephen Dorff, Kellan Lutz dan Luke Evans adalah mereka nyaris selalu bertelanjang dada di sepanjang film. Dengan kualitas yang cukup memprihatinkan seperti ini, maka tujuan Immortals untuk menyamai kualitas 300 gagal tercapai. Bahkan Immortals tidak lebih baik dari Clash of the Titans.
Poor
2D atau 3D? Lebih baik berhemat dengan menonton versi 2D-nya saja.

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.