2020

REVIEW : WARKOP DKI REBORN 4

“Lagian mana ada sih orang kaya mukanya kek bemo.”

Saat para karakter inti dalam Warkop DKI Reborn 3 kembali muncul di end credit untuk mendendangkan “ahaaa… filmnya dibagi dua, filmnya dibagi
dua,”
saya sama sekali tidak terkejut. Maklum, bukan pertama kalinya
mendapat prank semacam ini dari film
Indonesia. Pun begitu, bukan berarti hamba tidak ingin mengelus dada kala momen
musikal tersebut muncul. Andai saja film yang baru ditonton sanggup menghadirkan
pengalaman penuh kesenangan di sepanjang durasinya, hadirnya bagian kedua tentu
akan disambut dengan penuh suka cita – saya pribadi termasuk golongan yang
tidak keberatan dengan keberadaan Warkop
DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2
. Tapi berhubung babak pertamanya lebih
sering membuat saya menertawakan keputusan diri sendiri untuk menonton film
tersebut ketimbang menertawakan humor-humornya, ada kebingungan melanda. Ada
pertanyaan berkecamuk yang dimulai dengan, “mengapa
sih harus dibagi dua? Apa urgensinya?.”
Seolah pihak Falcon Pictures sangat
percaya diri instalmen reborn terbaru
ini akan disambut antusias oleh publik. Kenyataannya, hanya sekitar 800 ribu
penonton yang bersedia berbondong-bondong mendatangi bioskop sehingga memaksa
rumah produksi untuk mengganti strategi. Alih-alih mengedarkannya di bioskop,
mereka memilih untuk langsung menerjunkan Warkop
DKI Reborn 4
ke penyedia layanan streaming
film dengan harapan bisa sekalian menghibur masyarakat semasa pandemi di rumah.
Walau kalau boleh berkata jujur, kata “menghibur” untuk mendeskripsikan film
ini terasa terlalu murah hati.

Sekadar mengingatkan lagi
barangkali sudah lupa dengan plot di seri sebelumnya, personil Warkop DKI yang
terdiri atas Dono (Aliando Syarief), Kasino (Adipati Dolken), dan Indro (Randy
Danistha) direkrut oleh Komando Cok (Indro Warkop) untuk menyelidiki tentang aktivitas
pencucian uang dalam perfilman Indonesia. Akan tetapi ditengah berjalannya
proses investigasi, trio ini justru jatuh pingsan ke dalam kotak dan terbangun
di padang gurun Maroko yang tandus. Dalam upaya mencari Inka (Salshabilla
Adriani), lawan main mereka di film yang diketahui ikut terjebak di kotak,
ketiganya mendapat bantuan dari penduduk setempat, Aisyah (Aurora Ribero) dan
Ahmed (Dewa Dayana). Warkop DKI Reborn 4 menyoroti
upaya lima sekawan tersebut untuk menemukan jejak-jejak keberadaan Inka yang
membawa mereka menghadapi penduduk satu kampung yang penuh lelaki hidung belang,
serta mempertemukan mereka dengan seorang bos mafia berbahaya bernama Aminta
Bacem (diperankan oleh Rajkumar Bakhtiani – impersonator Amitabh Bachchan). Seolah
kawanan ini masih belum cukup mempersulit pencarian terhadap Inka yang
menghilang entah kemana, Warkop DKI juga tetap harus memburu Amir Muka
(Ganindra Bimo) yang menjadi tersangka utama dalam kasus money laundry dan konon sedang beredar di Maroko.

Pada dasarnya, tak banyak yang
bisa diceritakan dalam Warkop DKI Reborn
4
yang konfliknya serasa pengulangan dari seri sebelumnya. Masih
berhubungan dengan penduduk suatu kampung yang sekali ini mengincar Aisyah
sebagai bentuk timbal balik untuk bantuan yang mereka berikan. Meski kita
sama-sama tahu bahwa para protagonis akan bisa meloloskan diri dengan mudah,
tapi proses untuk menuju hasil tersebut tak pernah sekalipun mencengkram.
Apalagi mengundang gelak tawa. Mengalun dengan amat lempeng seperti halnya
personil Warkop DKI (dan juga ekspresi wajah hamba) yang menganggap
pertarungan melawan warga-warga terkuat di desa bukan persoalan besar.
Pertaruhan terhadap nasib Aisyah pun tidak tampak sehingga kalaupun dia diserahkan
kepada si pemimpin desa, siapa sih yang akan merasa kehilangan? Seiring
berjalannya durasi, kehadirannya semata-mata diposisikan sebagai damsel in distress demi memberi alasan
bagi Dono dan konco-konco untuk berbuat sesuatu sekaligus menjadi objek fantasi
bagi Kasino. Walau ya, paling tidak karakternya masih lebih berguna daripada
Ahmed yang tak ubahnya tim penggembira saja di seri ini. Tidak ada peran
signifikan baginya, bahkan sesi latihan bersama Kasino-Indro semata-mata untuk
lucu-lucuan saja tanpa ada keterkaitan dengan pertandingan yang berlangsung
sesuka hati atas nama humor. Sedari titik ini pula, film yang penulisan
naskahnya ditangani oleh Anggoro Saronto bersama Rako Prijanto (yang juga
menduduki posisi sutradara) ini mulai mengabaikan adanya sebab-akibat dalam
penceritaan.

Warkop DKI Reborn 4 seringkali tersusun atas kumpulan-kumpulan
segmen yang tidak memiliki korelasi antara satu dengan yang lain hanya untuk
menunjukkan betapa besarnya biaya produksi yang digelontorkan, atau (lagi-lagi)
atas nama humor. Tidak masalah sebetulnya karena toh Jangkrik Boss pun melakukannya. Yang kemudian membedakannya: 1) Babak kedua Jangkrik Boss masih menganggap babak pertamanya ada, tak seperti film ini yang narasinya melenceng sampai-sampai membuat kita lupa dengan jalan cerita dari film terdahulu. 2) Anggy
Umbara lebih terampil dalam menangani momen laga yang memiliki excitement atau melontarkan banyolan
nyeleneh, sementara Rako cenderung kewalahan. Nyaris tiada tenaga dalam elemen
aksi maupun komediknya. Hambar. Beliau memang sudah memperoleh bantuan dari tim tata produksi yang memaksimalkan latar dengan baik dengan menguarkan sisi eksotis dari Maroko. Beliau pun mendapat sokongan dari trio pemain utamanya yang berupaya maksimal, terlebih Randy Danistha yang
melebur secara meyakinkan ke dalam karakter Indro dan Aliando Syarief yang
cukup menyerupai mendiang Dono. Hanya saja, mereka terkendala oleh materi humor
yang lebih banyak melesetnya, bahkan cenderung seksis. Seolah belum cukup bikin
penonton istighfar, lawakan di Warkop DKI
Reborn 4
mengalami penurunan kualitas secara drastis dari seri sebelumnya
yang masih sanggup membekas di ingatan kala memberi penghormatan pada Warkop
DKI lawas atau mengaplikasikan Bahasa Arab terbalik yang menggelitik. 

Di sini,
seperti halnya narasi itu sendiri, sebatas mendaur ulang apa yang sudah-sudah
dengan impak yang telah melemah. Kian menambah kebingungan kenapa Reborn teranyar ini mesti dipaksakan
buat dipecah jadi dua. Saya ingin sekali tertawa, tapi saya bingung apa yang
harus ditertawakan. Apakah saya harus kembali menertawakan keputusan hamba
karena memberi kesempatan pada film ini meski sudah dibuat kecewa oleh
instalmen terdahulu? Mungkin lebih baik demikian. 
Gara-gara tak ada yang
mengocok perut, durasinya yang hanya 100 menit pun terasa seperti
selama-lamanya. Sebuah film yang cocok ditonton oleh kalian yang merasa waktu dalam
sehari berjalan terlalu cepat. 
Syukurlah mereka tidak menyanyi “ahaaa… filmnya dibagi tiga, filmnya dibagi tiga,” di ujung cerita.

Note : Ada adegan tambahan di ujung end
credit
.

Bisa ditonton di Disney+ Hotstar
Indonesia

Poor (2/5)


, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top