Rotten Tomatoes : 69% | Metascore : 63/100 | IMDb : 6.9/10 | NikenBicaraFilm : 3/5
Rated : R | Genre : Comedy, Drama, Horror
Directed by Ari Aster ; Written by Ari Aster ; Produced by Lars Knudsen, Ari Aster ; Starring Joaquin Phoenix, Nathan Lane, Amy Ryan, Stephen McKinley Henderson, Hayley Squires, Denis Ménochet, Kylie Rogers, Parker Posey, Patti LuPone ; Cinematography Pawel Pogorzelski ; Edited by Lucian Johnston ; Music by Bobby Krlic ; Production companies A24, Access Entertainment, MW Enterprises Square Peg ; Distributed by A24 ; Release dates April 14, 2023 (United States) ; Running time 179 minutes ; Country United States ; Language English
Story / Cerita/ Sinopsis :
Beau Wasserman (Joaquin Phoenix) hendak pulang menghadiri pemakaman ibunya.
Review / Resensi :
Pertama-tama, apakah saya baru saja menyaksikan penis terbesar yang pernah saya lihat?
Damn.
Ari Aster menjadi favorit banyak orang setelah film pertama dan keduanya, Hereditary dan Midsommar, sukses besar. Tidak hanya bagi penggemar film horror, tapi juga di mata kritikus. Keduanya – terutama Hereditary – bagi saya pribadi juga meninggalkan kesan mendalam sekaligus traumatis, sehingga entahlah apakah kelak saya akan sanggup menontonnya lagi. Kedua film tersebut membuat saya ingin bertemu dengan Ari Aster dan menanyakan apakah ia baik-baik saja, atau adakah sesuatu yang ia pendam dalam dirinya? (Dari luar, ia terlihat normal-normal saja. Tidak seperti Robert Eggers yang auranya eksentrik, Ari Aster lebih terlihat seperti pegawai service komputer yang ramah daripada sutradara film horror). Setelah kesuksesan kedua filmnya ini, Ari Aster tampaknya mempunyai kuasa dan kebebasan untuk lebih bereksperimen dengan film ketiganya yang ia beri judul Beau is Afraid ini (selain menjadi writer dan director, ia juga menjadi produser). Film ini awalnya hendak diberi judul Dissapointment Boulevard (dimana menurut saya judul ini lebih poetic) sebelum akhirnya berubah menjadi Beau is Afraid (dimana menurut saya ini judul ini terasa lugas dan biasa aja).
Boleh dibilang Beau is Afraid ini adalah proyek eksperimental dari Ari Aster – yang katanya merupakan filmnya yang paling personal dan sudah ia rencanakan sejak 10 tahun lalu. Eksperimental, karena Ari Aster memilih menyampaikan kisahnya dengan gaya surealis – gaya film ala David Lynch dan Charlie Kaufman, dalam durasi nyaris 3 jam. Tipikal film yang seringnya membagi audiens menjadi 2 kubu: suka atau benci – walaupun entah apakah kamu termasuk yang suka atau benci, kamu tidak bisa untuk tidak membicarakannya. Sebelum rilis, film ini juga sempat dipertanyakan orang apakah akan menjadi film yang semakin membuktikan kejeniusan Ari Aster, atau justru sebagai pembunuh karirnya sendiri. Skor di Rotten Tomatoes sendiri sebenarnya termasuk fresh: 69% – tapi itu juga bukan skor yang bagus-bagus banget. Saya sendiri merasa ragu-ragu apakah saya menganggap film ini bagus. Atau yang lebih penting: apakah saya menyukai film ini? (and turns out, I don’t really like it). Dan kesulitan utama yang kerap saya pikirkan saat menilai film semacam ini adalah: jika saya tidak bisa menangkap tema film dengan baik, apakah ini karena sutradaranya yang gagal – atau saya aja yang tolol?
Di film ini, Joaquin Phoenix kembali memerankan karakter yang belakangan tampaknya begitu ideal dilekatkan pada dirinya: a man with mental illness. Ia menjadi Beau Wasserman, seorang pria sekitar akhir 40 hingga awal 50an. Phoenix tampak berantakan, tubuhnya tidak terawat, dengan tanda-tanda kebotakan yang membuatnya makin menyedihkan. Tampaknya ia pria neurotik dengan anxiety disorder (belakangan kita juga tahu ia masih perjaka). Dalam sepuluh menit awal kamu akan melihatnya bertemu dengan therapist-nya, dan ia tengah membicarakan rencana pulang ke rumah ibunya untuk menghadiri peringatan kematian ayahnya. Sedari awal, kita akan mengetahui bahwa Beau adalah anak dengan Mommy’s issue (relasi kompleks antara seorang anak dengan ibunya tampaknya memang menjadi tema kesukaan Ari Aster).
Beau kemudian berjalan pulang ke apartemennya, dimana tampaknya ia tinggal di area menyeramkan sekaligus aneh (mayat tergeletak membusuk di jalan, seorang pria telanjang yang suka menusuk orang berkeliaran di jalanan, dan toko di depan apartemen Beau bernama Erectus Ejectus). Setelah teror misterius yang membuatnya tidak bisa tidur dan insiden kunci apartemen yang tiba-tiba hilang, Beau terpaksa membatalkan keberangkatannya ke rumah ibunya – yang berujung suara pasif agresif penuh kekecewaan dari sang ibu ketika Beau menelponnya untuk mengabarkan bahwa ia ga jadi datang. Tapi tak lama kemudian, Beau mendengar kabar – dari seorang pria pengantar paket, suaranya diisi Bill Hader, bahwa ibunya tewas kejatuhan chandelier. Maka, dimulailah perjalanan Beau kembali pulang menghadiri pemakaman ibunya. Walau tentu saja, perjalanan pulang itu ternyata tidak semudah itu…
Beau is Afraid kerap disebut sebagai Odyssey versi Yahudi atau Ari Aster menyebutnya Frodo Lord of the Rings versi pergi ke rumah ibunya. Walaupun sebenarnya ga terlalu tepat untuk menyebut film ini sebagai sebuah perjalanan atau petualangan, karena kalau kamu tonton, tokoh Beau ini seperti tidak bisa pergi kemana-mana. Namun, saya rasa di sinilah Ari Aster ingin menampilkan ironi-nya. It’s a satirical stupid journey. Ia tampaknya ingin menampilkan Beau sebagai tokoh pecundang dengan paranoid berlebihan-nya, yang membuatnya keluar apartemennya saja sudah seperti petualangan penuh bahaya. Dan kamu akan melihat paranoid Beau yang irasional itu kemudian benar terjadi atau bahkan muncul lebih parah secara random dan absurd: ada seorang lelaki yang menempel bak laba-laba di atas bath tub-nya, ditodong polisi karena disangka penjahat, pertemuannya dengan seorang anak perempuan yang pemarah, hingga lari dikejar veteran perang yang mengalami PTSD. Ini jelas bukanlah sebuah heroic journey, tapi petualangan pria menyedihkan yang tidak mampu pergi kemana-mana. Isi kepala Beau sudah sebuah petualangan tersendiri yang menantang.
Beau is Afraid is supposed to be a comedy-horror movie. Kamu bisa menonton trailernya dan merasakan bagaimana film ini memang dijual sebagai sebuah film komedi, atau seenggaknya: tragic-comedy. Tapi tentu saja ini adalah komedi yang keluar dari isi kepala Ari Aster, sutradara yang tampaknya menjadikan mutilasi tubuh sebagai bagian dari signature style-nya, sehingga jangan berharap bahwa kamu akan bisa tertawa dengan cara biasa. Komedi dan horror memang kadang bisa beda-beda tipis, dan aneka kejadian seram yang terjadi di sini dimaksudkan untuk jadi lucu. Ari Aster kabarnya ingin mengajak penonton merasakan pengalaman seperti bermain game horror, tapi tombolnya macet dan kita ga bisa berbuat apa-apa. Dan begitulah kita akan melihat Beau – pria paruh baya yang tidak berdaya dan pasif, menghadapi serangkaian kesialan dan hal aneh bertubi-tubi menimpa pada dirinya. Sayangnya, saya tidak merasa ini semua dark comedy. Harus seperti apakah saya menertawakan kesialan yang menimpa Beau? Pantaskah saya menertawakannya – dengan cara memperoloknya? Performa Joaquin Phoenix – dengan sorot mata dan suara lirih-nya yang menyedihkan, sesungguhnya tanpa cela. Namun karakternya terlalu mellow, sehingga alih-alih lucu, semuanya cuma membuat saya jatuh iba. Tidak ada pula kesinisan dalam karakternya yang mengajak saya untuk ikut tertawa bersamanya. Walau begitu, saya sendiri merasa memang ada beberapa momen yang terasa komikal dengan cara yang aneh (sebagai contoh tentu saja: a giant penis, atau ketika Beau tiba-tiba ditabrak truk), tapi untuk benar-benar bisa tertawa lepas… entahlah. Saya kesulitan untuk bisa memahami selera humor film ini.
Film ini seolah-olah dibagi menjadi 4 babak, dan bagian pertama film ini saya rasa adalah bagian terbaiknya. Elemen surealis bekerja dengan baik di sini, dimana kita akan diajak untuk masuk ke pikiran kacau dari Beau yang penuh kecemasan dan ketakutan. Bagian pertama ini mengingatkan saya pada mimpi-mimpi buruk saya, biasanya saya terburu-buru hendak melakukan sesuatu – seringnya, dalam mimpi saya ingin buang air kecil, tapi saya tidak bisa menemukan kamar mandi yang layak. Entah kamar mandinya tidak ada pintunya, entah kamar mandinya campur dengan kamar mandi laki-laki, atau begitu susah bagi saya untuk pergi menuju kamar mandi (tampaknya alam bawah sadar saya melarang saya untuk ngompol di kasur). Bagian pertama ini saya rasa begitu efektif untuk menyampaikan maksudnya. Walau batas realita dan halusinasi tampak tidak jelas, tapi gagasan utamanya bisa ditangkap dengan jelas. Segala hal seram di sekitar Beau adalah cara Beau melihat dunianya: dengan hiperbolis dan tidak rasional. Hal-hal misterius yang menggagalkan keberangkatannya ke rumah ibunya mungkin juga adalah self-sabotage alam bawah sadarnya agar ia tidak merasa bersalah karena tidak mau bertemu ibunya.
Lalu tibalah bagian kedua, ketika sebuah kecelakaan mempertemukan Beau dengan sepasang suami istri yang hendak mengadopsinya. Di sini ia juga bertemu anak perempuan pasangan tersebut yang pemberontak, dan seorang veteran perang PTSD yang tampak mengancam. Pada bagian kedua ini saya kewalahan mencerna hal yang terjadi, karena detail-detail yang ada seperti merusak keseluruhan kisah yang saya tangkap. Hingga sekarang, saya juga ga paham signifikansi dan keterkaitan karakter-karakter yang ada di sini dengan Beau dan misteri film ini secara keseluruhan. Pada bagian ketiga, Beau kemudian nyasar di hutan dan bertemu teater eksperimental yang tampaknya tengah mementaskan kehidupan Beau. Di bagian ini kita juga akan pertama kali diajak ke masa lalu Beau, kita dilihatkan saat Beau remaja jatuh cinta pada seorang perempuan, dan bagaimana hubungan Beau dengan ibunya. Bagian ketiga ini merupakan harapan dan masa lalu Beau yang beririsan. Lalu tibalah bagian keempat, ketika Beau akhirnya tiba ke rumah ibunya. Di sinilah segala misteri yang terkuak: segala teror dalam kepala Beau rupanya memang bersumber dari sang ibu yang super mengontrol dan demanding.
Saat ditanyakan kenapa Ari Aster sering memasukkan kisah ibu dalam film-filmnya (bahkan termasuk short movie-nya, ia pernah membuat film pendek tentang ibu yang meracuni anaknya), karena baginya ibu adalah sumber kehidupan kita bermula dan terbentuk. Beau is Afraid menunjukkan bagaimana “kasih ibu” bisa menjadi bentuk yang kontradiktif: sesuatu bisa jadi indah dan juga beracun. Ibu Beau, Mona, menguasai Beau sedemikian rupa – dari petunjuk yang terpasang di dinding rumah Mona dan twist yang muncul setelahnya, kamu bahkan bisa menyimpulkan bahwa tampaknya Beau tinggal di bawah kekuasaaan dan pengawasan ibunya selalu. Ibunya bahkan telah “mengebiri” Beau secara tidak langsung. Cinta ibu Beau sedemikian besar, tapi sekaligus juga menghasilkan cinta yang sedemikian posesif, dengan harapan bahwa anaknya mencintainya dengan cara yang ia harapkan dan menjadi sosok yang ia inginkan. Sayangnya, Beau tumbuh menjadi lelaki dewasa yang tidak bisa memutuskan apapun untuk dirinya sendiri (“What should I do mom?”). Perasaan Beau pada ibunya adalah perasaan yang ambivalen. Tanpa sadar, ia sesungguhnya membenci ibunya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi tanpa ibunya, ia juga tidak berdaya. Saya sendiri juga mendapatkan kesan bahwa kisah ibu dan anak di sini tidak hanya bisa diterjemahkan sebagai relasi antara ibu dan anak, tapi juga seorang manusia dengan… Tuhan/dewa yang menciptakannya. Terutama setelah berpikir ulang tentang epilog super absurd di bagian akhir film. Gimanapun, Ari Aster sendiri yang bilang ingin membuat odyssey versi jewish. Dewa-dewi (atau ibu) yang menciptakan kita, adalah sosok problematik yang rupanya mencintai kita dengan syarat begitu berat.
Pada akhirnya, saya sebenarnya menyukai ide utama tentang toxic relationship antara ibu dan anak lelakinya yang ditawarkan Ari Aster. Membaurkan komedi dengan tragedi dan elemen horor juga ide yang keren dan asyik. Sayangnya, keseluruhan film ini sendiri seperti tidak dibangun dengan kuat, apalagi dengan durasi nyaris tiga jam. Saya merasa detail-detail random nan absurd di bagian kedua dan ketiga film ini menjadikan Beau is Afraid terasa “meluber” kemana-mana dan tidak jelas (atau mungkin saya aja yang kurang paham). Ari Aster ingin mengajak kita menertawakan kebodohan dan kerandoman yang ada di sini, tapi saya sungguh tidak paham bagaimana saya seharusnya tertawa.
, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.