
Directed by Cathy Yan ; Produced by
Margot Robbie, Bryan Unkeless, Sue Kroll ; Written by Christina Hodson ; Based on
Birds of Prey
by Jordan B. Gorfinkel, Chuck Dixon ; Harley Quinn
by Paul Dini, Bruce Timm ; Starring
Margot Robbie, Mary Elizabeth Winstead, Jurnee Smollett-Bell, Rosie Perez, Chris Messina, Ella Jay Basco, Ali Wong, Ewan McGregor ; Music by Daniel Pemberton ; Cinematography Matthew Libatique ; Edited by
Jay Cassidy, Evan Schiff ; Production
company
DC Films, LuckyChap Entertainment, Kroll & Co. Entertainment, Clubhouse Pictures ; Distributed by Warner Bros. Pictures ; Release date
February 7, 2020 (United States) ; Running time
109 minutes ; Country United States ; Language English ; Budget $84.5 million
Menonton Birds of Prey seperti diajak masuk ke jalan pikiran Harley Quinn yang chaotic. Ia mungkin akan mengingatkanmu pada kawan perempuanmu yang berisik tapi selalu punya cerita seru, penuh percaya diri, genit, dan sedikit gila. Narasi Birds of Prey memang sedikit melompat-lompat, seperti kamu tengah mendengarkan seseorang bercerita dengan penuh semangat tapi saking semangatnya ceritanya tidak runtut dan membingungkan. Tapi itu semua sepadan dengan keseruan yang diceritakannya, dan sekali lagi, kita bisa memaklumi karena teman perempuan kita ini memang sedikit gila. Saya juga menyukai seluruh tone yang dihadirkan Birds of Prey: beneran mencirikan seorang Harley Quinn. Scoring music yang berisik tapi asyik, visual eye-candy yang ramai dan penuh warna, hingga action scene yang ceria. Kabarnya action scene-nya dibantu oleh kru yang ngegarap John Wick, dan menghasilkan action scene didominasi pertarungan tangan yang lumayan asyik. Harley Quinn tampil bak pemain sirkus yang penuh gerakan akrobatik dengan senjata sederhana semacam tongkat kasti, atau sambil bermain sepatu roda. Yaaaahh.. memang enggak sampai sekeren John Wick sih, tapi saya suka action scenenya yang cukup beragam dan berbeda-beda, seperti pesta penuh konfetti kala Harley Quinn menyerbu kantor polisi, atau pertarungan akhir di taman bermain. Saya juga cukup menyukai bahwa Birds of Prey dengan rated R-nya cukup pandai memainkan karakter Harley Quinn sebagai seorang antihero (atau sebuah transisi dari villain menjadi antihero). Ia melawan Roman Sionis bukan sama sekali dengan misi baik hati hendak menyelamatkan Gotham City, tapi ya murni karena terpaksa (karena kalau tidak ia sendiri yang akan celaka). Btw, saya menyukai vibe Birds of Prey secara keseluruhan, sehingga jika vibe ini dibawa kembali di The Suicide Squad-nya James Gunn, saya sama sekali nggak keberatan.
Dengan subjudul “emancipation”, menarik bahwa sebagian fanboy langsung antipati dan salah paham. Bahkan saya baca seorang netijen menyebut bahwa ia sama sekali tidak menangkap esensi emansipasi yang dimaksud dari Birds of Prey, dan sebagiannya lagi menganggap tema ini maksa. Errrrr… saya tidak tahu apa memang ada gap pengetahuan antara lelaki dan perempuan sehingga menjadikan penilaian sedemikian berbedanya. Ah, entahlah, saya memang sedikit sensitif dengan isu ini (tidak ada yang lebih menyebalkan daripada fanboy-fanboy sok edgy yang anti SJW dan membenci Brie Larson tanpa benar-benar paham apa yang sebenarnya terjadi). Saya rasa sudah cukup jelas Birds of Prey ini membawa isu “bebas dari toxic relationship“. Harley Quinn, ingin membuktikan diri bahwa selepas dari toxic relationship-nya dengan Joker, ia bisa melindungi dirinya sendiri dan tidak perlu tergantung lagi pada mantan kekasihnya. Karakter Montoya juga menggambarkan itu, tak mudah menjadi detektif wanita di lingkungan kerja maskulin seperti kepolisian, dan ia memutuskannya di bagian akhir: ia tidak butuh pengakuan dari lelaki. Saya rasa tema ini juga ditampilkan secara halus dan ga maksa (at least ga semaksa adegan perempuan-perempuan superhero Marvel ngumpul secara kebetulan yang janggal di adegan pertarungan akhir Avengers: Endgame). But hey, apakah sebagian penonton pria tampaknya masih menyukai karakter perempuan tangguh (dan cantik dan seksi) yang masih butuh perlindungan lelaki dan kalo bisa ga ngalahin maskulinitas lelakinya?? (anyway, fun fact, entah nyambung atau enggak, ada penelitian yang menunjukkan bahwa ada kecenderungan lelaki mengakui mengagumi perempuan yang lebih cerdas, tapi dalam “jarak jauh”. Artinya, ia dan tidak ingin menjadikannya sebagai pasangan. Artinya lagi, lelaki suka dengan perempuan pintar, tapi kalo bisa tidak lebih pintar darinya).
Pada akhirnya, Birds of Prey bukan tanpa kekurangan. Sebagian orang mengeluhkan villain yang begitu mudah untuk dikalahkan. Saya sebenarnya menyukai karakter Roman Sionis / Black Mask (Ewan McGregor) di sini, dan hubungannya dengan Victor Zsasc (Chris Messina). Saya rasa Birds of Prey yang naskahnya ditulis oleh Christina Hodson ini ingin menunjukkan keduanya sebagai male chauvinist (ingat adegan ketika Sionis memaksa seorang perempuan melepas gaunnya?) – terlepas bahwa Sionis sendiri sedikit feminim dan kemungkinan punya hubungan spesial dengan Zsasc. Tapi ya memang adegan akhirnya sedikit antiklimaks. Saya tahu Black Mask disini lebih ke arah bos mafia daripada punya kekuatan sendiri, tapi seenggaknya kita butuh adegan intens yang lebih seru di bagian akhirnya. Selain itu, biarpun filmnya memang fun untuk ditonton, tapi ya memang sebatas fun itu saja… Selepas beberapa hari setelah menonton film ini, saya menyadari bahwa Birds of Prey bukanlah film yang cukup memorable..

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.