Salah satu langkah mendasar dari reformasi birokrasi, Pemerintah telah menetapkan kebijakan baru dalam pembinaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai bagian dari Pegawai Negeri, yang pada prinsipnya mengarahkan sikap politik PNS dari yang sebelumnya harus mendukung golongan politik tertentu menjadi netral atau tidak memihak, yang selanjutnya lazim disebut kebijakan netralitas politik PNS. Kebijakan netralitas PNS tersebut dinyatakan secara tegas dengan memasukkan pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang pada Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) disebutkan: (1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah, dan pembangunan. (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. (3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Sementara itu sebagai langkah reformasi di bidang hukum secara fundamental, telah dilakukan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 secara bertahap dilakukan sebanyak empat kali yang berlangsung mulai tahun 1999 sampai dengan 2002. Pada perubahan ke-dua telah ditambahkan Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM) terdiri 10 (sepuluh) Pasal, yaitu Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Penambahan ketentuan ini memperkuat landasan konstitusional pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Dalam Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 mengenai HAM tersebut terdapat Pasal-pasal yang berkaitan dengan hak-hak politik, antara lain:
- Pasal 28C ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
- Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
- Pasal 28E ayat (3): Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
- Pasal 28 I: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
- Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
- kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Berdasarkan tinjauan historis, sebelum diterapkannya kebijakan netralitas PNS tersebut, posisi PNS dalam kegiatan politik telah diperdebatkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Partai Politik. Perdebatan yang alot terjadi antara anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan dengan anggota Fraksi lainnya, yang mengundang polemik di kalangan pemerhati dan pengamat hukum dan politik. Polemik tersebut berkaitan dengan kedudukan Golongan Karya yang pada waktu itu diubah status organisasinya menjadi Partai Politik, sejajar dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sehingga apabila larangan menjadi anggota parpol tersebut diterapkan dipastikan akan mengurangi perolehan suara Golkar yang selama masa Orde Baru didukung penuh oleh Pegawai Negeri Sipil.
Issu yang menjadi bahan perdebatan adalah bahwa kemungkinan larangan menjadi anggota partai politik tersebut akan melanggar hak politik Pegawai Negeri Sipil yang merupakan salah satu esensi dari hak asasi manusia.
Pemberlakuan kebijakan netralitas dengan larangan menjadi anggota parpol pada masa Reformasi secara normatif diawali dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil Yang Menjadi Anggota Partai Politik yang berlaku mulai 26 Januari 1999, yang tiga hari kemudian yaitu tanggal 29 Januari 1999 diubah dengan Peraturan Pemerintah 12 Tahun 1999.
Kekhawatiran bahwa keanggotaan PNS dalam parpol akan menyebabkan PNS menjadi terpecah belah dan mengganggu pelayanan kepada masyarakat, adalah kurang beralasan seiring dengan tingkat kedewasaan politik masyarakat khususnya kalangan PNS. Hal tersebut juga dapat diantisipasi dengan sistem pengawasan berupa persyaratan izin bagi PNS pemangku jabatan pimpinan (stuktural) yang akan menjadi angggota parpol, dan disertai ketentuan agar keanggotaan PNS dalam partai politik tersebut tidak menggangu tugas dan kedudukan PNS selaku pelayan masyarakat. Lagipula dalam catatan sejarah perjalanan birokrasi, tidak menggambarkan kondisi pelayanan birokrasi yang terbengkelai karena keanggotaan PNS dalam parpol.
Memang diakui berdasarkan sebuah survei terhadap pengguna pelayanan birokrasi menunjukkan kenyataan bahwa sebagian masyarakat mengalami diskriminasi oleh oknum aparat birokrasi dalam pelayanan. Pembedaan pelayanan tersebut diidentifikasi berdasarkan pada beberapa hal, antara lain karena factor status sosial ekonomi, kedekatan hubungan sosial, penampilan fisik, etnik, afiliasi politik, afiliasi sosial kemasyarakatan, dan tingkat intelektualitas masyarakat. Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa adanya diskriminasi dalam pelayanan oleh oknum aparat birokrasi lebih banyak berdasarkan kedekatan pribadi atau kekerabatan (78% – 90%), dan tidak pernah memandang aliran politiknya. Dengan demikian sesungguhnya tidak ada hubungan kausalitas antara keanggotaan PNS dalam parpol dengan sikap diskriminatif PNS dalam memberikanpelayanan kepada masyarakat.
Implikasi Ketidaknetralan PNS
Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya dan ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.
Berkaitan dengan hak-hak asasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka hak bagi Pegawai Negeri Sipil untuk menjadi anggota partai politik merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin secara konstitusional, yaitu hak berserikat sebagaimana diatur dalam pasal 28E ayat (3) : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam pembicaraan hak politik Pegawai Negeri Sipil dalam perpektif perlindungan hak asasi manusia, maka PNS harus dipandang dalam kedudukannya sebagai warga negara. Dalam Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dinyatakan:
“Pegawai Negeri bukan saja dilihat dan diperlakukan sebagai aparatur negara tetapi juga harus dilihat dan diperlakukan sebagai warga negara, yang mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan pembinaan, hendakhya sejauh mungkin diusahakan adanya keserasian antara kepentingan dinas dengan kepentingan Pegawai Negeri sebagai perorangan, …”
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatdan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakananugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dengan demikian hak asasi bukanlah pemberian negara atau manusia manapun, dan hak itu tetap ada meskipun negara tidak mengaturnya. Setiap warga negara tidak terkecuali mereka yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil juga memiliki seperangkat hak asasi yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Pengaturan hak asasi manusia dalam konstitusi membawa konsekwensi berupa kewajiban negara untuk melindunginya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Kriteria Pembatasan HAM
Menurut Moh Mahfud MD , sepanjang sejarah politik di Indonesia perlindungan atas HAM menjadi persoalan. Kerapkali HAM (secara pribadi-pribadi) dilanggar dengan alasan bahwa yang dipentingkanadalah hak masyarakat sebagai satu kesatuan di bawah jargon “kepentingan umum”, sementara ukuran-ukuran kepentinagn umum itu sendiri tidak pernah jelas juga sehingga kepentingan umum menjadi identik dengan kepentingan pemerintah. Perlu disadari pula bahwa tidak ada kebenaran yang absolut, dan dari pengalaman sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa tindakan-tindakan pemerintah yang melanggar prinsip konstusionalisme terutama melanggar HAM selalu bisa dibenarkan secara formal konstitusional karena diberi baju hukum berupa Undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya telah menyebabkan terjadinya pergeseran prinsip dan konsepsi dari negara hukum menjadi negara undang-undang.
Dalam negara undang-undang seperti ini ukuran-ukuran kebenaran bukan lagi rasa keadilan dan kepatutan dengan sukma etika yang tinggi, melainkan kalimat-kalimat yang pembenarannya dilakukan melalui rekayasa bagi kepentingan pemerintah.
Lebih lanjut Moh Mahfud MD menyatakan, formulasi tentang perlindtmgan HAM harus menutup pintu bagi dilakukannya pembalikan dari konsepsi “kekuasaan sebagai residu HAM” menjadi “HAM sebagai residu kekuasaan” seperti yang terjadi selama ini. Ini berarti bahwa atribusi dan delegasi kewenangan kepada pemerintah untuk membuat lagi UU atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan HAM harus sangat dibatasi. Oleh karena itu dalam menilai konstitusionalitas kebijakan netralitas politik PNS tidaklah cukup dari segi formalitasnya saja tetapi perlu dikaji esensi dari pengaturan tersebut.
Ditinjau dari persepektif perlindungan HAM, kebijakan netralitas politik PNS berupa larangan PNS menjadi anggota parpol merupakan pembatasan hak konstitusional PNS dalam kedudukannya sebagai warga negara, Pembatasan tersebut secara “formalitas-prosedural” adalah sah karena selain ditetapkan dengan Undang-undang, hak berserikat tidak termasuk non-derogable rights. Tetapi untuk memenuhi asas keadilan perlu diuji apakah pembatasan tersebut telah memenuhi kriteria pembatasan berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Langkah konstitusional untuk mengoreksi Undang-undang tersebut dapat dilakukan melalui Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi, maupun Legislative Review atau Political review oleh lembaga pembentuknya.
Saran
Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UI Press, Jakarta, Cetakan I
Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, 2002, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU dan Peraturan di 78 Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, Jakarta:
Moh. Mahfud MD, 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta
Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur KetatanegaraanIndonesia, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan II Moh. Mahfud MD, 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan II

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.