
Setiap kelompok
masyarakat, ditegaskan oleh Shohibuddin, akan mengubah bentang alam dan
memodifiksi suksesi ekologis pada ekosistem di sekitarnya sesuai kebutuhan dan
selera masing-masing. Pengubahan ini, diwarnai oleh beragam nilai-nilai,
kebiasaan, dan konstruksi kultural warisan para leluhur, sebagaimana pula
terjadi dalam komunitas masyarakat Madura, yang menjadikan tanah tegalan
sebagai lokus ekologi budayanya, mulai dari pola pemukiman sampai pada sistem
sosial yang lebih kompleks. Tanah tegalan, memiliki fungsi yang signifikan bagi
masyarakat Madura, tidak hanya yang tampak di pemurkaan, berikut yang abstrak
dan esoterik.
Orang Madura, pada awalnya, memang
tidak bisa dipisahkan dari tanahnya. Pertama, tanah yang dimiliki oleh orang
Madura, mayoritas didapat berdasarkan “sangkolan” secara turun temurun
yang kemudian disebut dengan tana sangkol. Kedua, tanah bagi orang
Madura lebih berharga dari pada uang dan emas. Kedua alasan inilah yang
menjadikan masyarakat Madura sulit melepaskan tanahnya secara permanen kepada
orang lain, apalagi orang asing. Sekali lagi: pada awalnya. Sehingga muncul
satu model transaksi dalam kultur masyarakat Madura yang dikenal dengan istilah
“jual toro’”, yaitu menjual tanah kepada kerabat atau tetangga dekat
yang kemudian hari akan dibeli lagi.
Tana sangkol berbeda dengan
tanah warisan. Ia punya makna yang lebih subtil dan mendalam. Tanah warisan
biasa didapat berdasarkan ketentuan hukum waris, dari harta peninggalan salah
seorang anggota keluarga yang meninggal. Hubungan antara ahli waris dengan
orang yang meninggal, tidak selalu berupa hubungan orang tua-anak, bisa juga
berupa kakek-cucu atau paman-keponakan. Sedangkan harta tirkah (harta
peninggalan) tersebut, dalam hukum Islam, tidak lagi disebut sebagai harta
milik orang yang meninggal, tapi sudah kembali ke pemilik asalnya, yaitu Allah
(milik Allah), kemudian oleh Allah diberikan lagi kepada ahli warisnya,
berdasarkan ketentuan hukum waris.
Sedangkan tana sangkolan
merupakan tanah pemberian (hibah) orang tua kepada anaknya pada saat orang tua
masih hidup, yang harus dikelola oleh anak. Dalam bahasa lain, tana
sangkolan merupakan bentuk shodaqah jariyah orang tua kepada anak,
yang pahalanya akan terus mengalir kepada orang tua meskipun sudah meninggal,
selama tanah itu dimanfaatkan dengan baik oleh si anak. Oleh karenanya, tana
sangkol tidak boleh dijual, sebab di dalamnya tersimpan hubungan spiritual,
antara anak dengan orang tuanya yang sudah meninggal. Menurut A. Dardiri
Zubairi, bagi orang Madura, tana sangkolan bermakna sakral. Di samping
dimaknai sebagai ruang yang mempertautkan yang hidup dengan leluhurnya, tana
sangkolan akan mengundang “laknat” jika dijual sembarangan tanpa ada alasan
yang dibenarkan dari sudut kebudayaan Madura.
Menjual tana sangkol, berarti
memutus tali spritual tersebut, dan ini bisa menjadi salah satu bentuk kedurkahaan
anak terhadap orang tua. Tak heran bila muncul sebuah keyakinan dalam
masyarakat Madura bahwa menjual tana sangkol bisa mendatangkan tola
(semacam bala’), yang akan berakibat buruk terhadap kehidupan anak. Hal ini
diperkuat dengan sabda nabi bahwa menjual rumah dan tana sangkolan, yang
uangnya tidak digunakan untuk membeli rumah dan tanah lagi dengan harga yang
sama, maka hidupnya tidak akan berkah, sebagaimana tersurat dalam nash
berikut:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : من باع دارا او عقارا لم يجعل ثمنها فى مثله كان
قمنا ان لا يبارك له فيه (رواه الامام احمد وابن ماجة)
Melalui perspekstif ini, tanah bagi
orang Madura memiliki nilai yang sangat tinggi, serta tidak bisa digantikan
dengan harta benda apapun. Mayoritas orang tua di masa lalu, lebih suka membeli
banyak tanah dari pada barang dan fasilitas kehidupan duniawi yang lain.
Sehingga orang-orang Madura tempo dulu, kekayaan mereka diukur dengan seberapa
banyak tanah yang dimiki. Meskipun hal ini terkesan feodalistik, tapi jelas
bukan feodalisme. Karena kepemilikan ini tetap dibangun diatas nilai paguyuban
masyarakat tradisional dan transaksi sosial yang egaliter. Tidak sebagaimana
yang terjadi pada masyarakat feodal, di mana penguasaan, pemilikan dan
pengelolaan terhadap tanah berlangsung secara otoritas dan terpusat pada
kalangan tertentu. Tidak pula seperti yang terjadi sekarang, di mana pemilikan dan
pengalih-fungsihan lahan, berlangsung penuh intrik, intimidasi, penindasan,
pengrusakan, sebagaimana ciri khas kapitalis.
Vollenhoven, menulis bahwa betapa
besarnya campur tangan yang terjadi di Madura terhadap hak-hak rakyat atas
tanah selama dalam pemerintahan raja-raja. Campur tangan kekuasaan seperti ini,
sampai sekarang, masih terus berlangsung terkait dengan pelepasan tanah warga,
bermula di wilayah pesisir, untuk kepentingan kaum pemodal. Seringkali,
kekuasaan menjadi alat untuk menekan masyarakat Madura, agar jauh dari tanah
dan kultur yang terbangun di atasnya, dengan mekanisme kekerasan simbolik.
Berangsung-angsur, banyak tanah tegalan milik warga yang jatuh ke tangan asing
dan aseng, yang dialih-fungsikan untuk keperluan industri ekstraktif, dengan
tidak hanya merusak ekosistem lingkungan, tapi juga ekologi kultural masyarakat
Madura.
Mengenal Tanah Tegalan dan Fungsinya
Tanah tegalan merupakan salah satu
karakteristik tanah di Madura, yang memiliki peran penting dalam membangun
ekologi budaya masyarakat Madura sejak lama. Ada lima kategori tanah, yang
paling menentukan pola kehidupan masyasakat Madura dan kebudayaannya, yaitu tanah
pekarangan, tanah tegalan, tanah pesawahan, tanah pesisir dan tanah bebukitan.
Di antara kelimanya, tanah tegalan adalah yang paling dominan, paling luas dan
rawan diterlantarkan di musim kemarau, karena selain tidak memiliki sitem
irigasi, sebagian besar letaknya jauh dari pemukiman, dengan hanya mengandalkan
air hujan.
Tanah pekarangan adalah tanah yang
terdapat di sekitar rumah. Ia merupakan tanah sisa dari bangunan rumah dan tanean
(halaman depan rumah). Biasanya difungsikan untuk menanam sayur-sayuran,
umbi-umbian, pepohonan, kandang ayam, dan tempat buang air besar (kakos).
Tanah tegalan adalah tanah kering yang lapang dan umumnya dimanfaatkan sebagai
lahan pertanian di musim hujan. Selain digunakan sebagai lahan pemukiman, yang
disebut oleh Kuntowijoyo dengan membentuk pola hunian pedesaan yang berserakan
(scattered village), tanah tegalan juga memiliki fungsi lain sebagai
berikut:
Pertama; Lahan Perkebunan dan Pertanian
Di Madura, tanah tegalan banyak
dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa, ada juga perkebunan pisang. Di sela-sela
pohon kelapa, oleh orang Madura ditanami aneka tanaman pertanian, mulai dari
jagung, ketela, kacang-kacangan, umbi-umbian, sampai buah-buahan seperti
semangka, blewa dan melon. Ada yang dikhususkan untuk perkebunan kelapa dan
pisang saja, tanpa ditanami yang lain. Ada pula yang dikhususkan untuk aneka
tanaman pertanian di musim penghujan, karena hampir semua tanah tegalan di
Madura, merupakan tanah tadah hujan. Sebagian kecil tanah tegalan yang agak
tandus, hanya dijadikan lahan tumbuh rerumputan sebagai pakan ternak.
Tanah tegalan ini, sebagian besar
merupakan tanah subur meskipun hanya mengandalkan air hujan. Di tahun 90-an,
masih banyak ditemukan, sayur-sayuran dan aneksa umbi-umbian yang ditanam di tanah
tegalan dekat rumah, yang bergandengan dengan tenah pekarangan, seperti buah
labuh, kondur, kaceper, talas, longgeh dan sejenisnya yang
sekarang sudah jarang sekali ditemui. Berbagai tanaman ini, selain sebagai
bahan dapur dan konsumsi rumah tangga, biasanya juga sering dibagikan kepada
sanak famili jauh, atau tetangga dekat yang tidak punya lahan untuk menanam.
Tradisi berbagi dan peduli, sudah sejak dahulu menjadi bagian dari nilai
kearifan yang melekat erat dengan kehidupan masyarakat Madura.
Kedua; Tempat Kandang Binatang
Ternak
Selain bertani dan bercocok tanam,
orang Madura juga memelihara hewan ternak sebagai bagian dari mata pencaharian
hidup. Hewan yang biasa dipelihara adalah sapi dan kambing, baik milik sendiri
atau punya orang lain. Merawat hewan ternak orang lain, yang nanti akan dibagi
hasilnya sesuai dengan kesepakatan, dalam terminologi budaya Madura disebut
dengan istilah ngoan. Bagi orang Madura yang ingin memelihara sapi atau
kambing, tapi tidak punya uang untuk membeli, maka tinggal ngala’ oanan,
yaitu memilihara ternak orang lain dengan sistem bagi hasil. Apabila hewan
ternak yang dipelihara milik sendiri, disebut dengan istilah ngobu.
Mulai dari ngobu sape, ngobu embi’, sampai pada ngobu ajam.
Dewasa ini, di banyak tempat, istilah ngoan dipakai secara umum yang
berlaku dalam memilihara hewan ternak milik sendiri (ngoan andi’na dibi’)
ataupun milik orang lain (ngoan andi’na oreng).
Semua
binatang ternak tersebut dibuatkan kandang sesuai dengan standar masing-masing,
yang kemudian diletakkan di tanah tegalan. Peletakan kandang di tanah tegalan
ini memiliki manfaat yang sangat besar. Semua kotoran hewan ternak tersebut
dapat menjadi pupuk alami yang bisa menyuburkan tanah dan tanaman. Pupuk
kandang merupakan pupuk primer yang dipakai oleh masyarakat Madura dalam
perkebunan dan pertanian, yang sekarang perannya sudah digantikan oleh pupuk
pabrik (pupuk kimia). Pemaksaan pemakaian pupuk kimia di masa Orde Baru, sampai
hari ini terus menyisakan problem pertanian dan lingkungan yang tak berkesudahan.
Ketiga; Arena Bermain dan Jajanan
Anak-anak
Tanah tegalan merupakan tempat
bermain anak-anak, dengan beragam permainan tradisional, yang sebagian besar
sudah tergantikan oleh game online. Tanah tegalan sering dimanfatkan
sebagai lapangan main kasti, yang menjadi permainan paling favorit orang
Madura, mulai dari anak-anak sampai yang tua-tua. Juga lapangan bola, dan
berbagai jenis permainan tradisional lain, seperti main salodur, petak
umpet, benteng, lompat tali dan sejenisnya. Termasuk pula main layang-layang
dan koperan, atau sekedar ngobrol-ngobrol santai dengan teman, sehabis
pulang sekolah.
Selain arena bermain, tenah tegalan
yang banyak ditumbuhi pepohonan liar, juga menjadi tempat jajanan anak-anak
Madura tempo dulu, berupa aneka buah-buahan yang disediakan alam. Ada buah
jambu merah, jambu air, jambu mente, duwe’, kanethu, bukkol
(buah bidara), kersen dan buah-buahan lain yang semuanya made in tegalan.
Buah-buahan tersebut menjadi snack yang sangat digemari, selain gratis,
juga menyehatkan. Berbeda dengan jajajan anak-anak sekarang yang semuanya
terpusat di toko, dengan beragam snack bikinan pabrik yang sarat bahan
kimia.
Nilai-nilai dalam Kultur Tanah
Tegalan
Tanah tegalan yang sudah berhasil
membentuk ekologi budaya masyarakat Madura sejak lama, dengan karakteristik dan
corak yang beragam, perlu dilihat ulang di tengah kepungan budaya pop yang
serba instan dan material. Nilai-nilai kearifan lokal yang tersembunyi dalam
kultur tanah tegalan masyarakat Madura, harus digali dan diintegrasikan dengan
kenyataan dunia global, yang menggiring budaya mansuia ke satu arah peradaban:
kapitalisme.
Madura hari ini, memiliki tantangan
yang lebih berat, internal dan ekternal. Di sektor internal, rapuhnya
nilai-nilai kearifan lokal dalam kebudayaan, sedangkan di sektor eksternal,
gerakan kapitalisme global yang semakin mencengkram ruang hidup masyarakat
Madura. Dengan menggali nilai-nilai kearifan lokal, diharapankan dapat mejadi
pegangan yang kuat dalam mengahadapi dinamika kehidupan dan tantangan global,
agar benar-benar bisa berdaulat di kampung sendiri. Beberapa nilai-nilai
kearifan lokal tersebut adalah:
Pertama; Solidaritas Sosial
Tidak semua orang Madura punya lahan
yang diperlukan untuk produksi pertanian. Mereka yang tidak memiliki, atau
memiliki tapi belum mencukupi kebutuhan, bisa ngala’ paron kepada orang
yang memiliki tanah. Ngala’ paron adalah istilah kebudayaan dalam
masyarakat Madura, yang berarti mengelola tanah orang lain, untuk keperluan
produksi, yang nanti si pemilik tanah akan memperoleh bagian dari hasil
prosuksi tersebut. Mengenai persentase bagi hasil, sesuai dengan kesepatakan, atau
langsung dipasrahkan kepada si pengelola. Bahkan kadang kala, si pemilik tanah
tidak minta bagian dari hasil produksi, yang penting tanah dan pepopohan yang
ada di atasnya, dikelola dan dijaga dengan baik.
Orang yang ngala’ paron,
umumnya memanfaatkan untuk keperluan pertanian. Ada pula untuk ditempati
kandang ternak, yang kotorannya digunakan sebagai pupuk atas tanah beserta
pepohonannya. Kalau digunakan hanya sebagai tempat kandang ternak, si pemilik
mendapatkan manfaat dari adanya kotoran ternak yang bisa menyuburkan tanah dan segala
yang tumbuh, baik yang liar maupun yang sengaja ditanam.
Ngala’ paron adalah wujud
solidaritas antar sesama orang Madura, antara pemilik dan pengelola tanah.
Hubungan antara pengelola dan pemilik tanah, tidak seperti hubungan antara
buruh dan tuan tanah dalam sistem feodal. Pengelola tanah tidak bekerja untuk
atau menjadi kuli bagi pemilik tanah. Mereka bekerja untuk keperluan diri
mereka sendiri, tanpa ada intervensi dari pemilik tanah. Kalau misalnya ada
bagi hasil yang harus diberikan, semata-mata sebagai tanda terima kasih dari si
pengelola tanah. Pada keduanya tercipta hubungan simbiosis mutualisme, yang
sama-sama menguntungkan, dan berlangsung suka sama suka.
Solidaritas sosial ini menjadi nilai
yang sangat langka beberapa tahun terakhir. Terutama, ketika sistem pertanian
mulai dialihkan ke sektor mesin dan pupuk kimia. Ditambah lagi dengan banyaknya
tanah yang terjual ke pihak investor untuk beragam kepentingan industri. Dan
semakin diperparah dengan banyaknya orang Madura yang merantau, mencari
penghidupan di tanah orang, dengan mengabikan tanah sendiri. Pola persaingan
yang menonjolkan sikap individualisme sudah mulai kentara, dengan adu gengsi
dan komposisi fasilitas hidup yang serba mewah.
Bibit-bibit persaingan bebas ini,
semakin mengental dalam diri seorang Madura yang bekerja sebagai buruh di
sektor industri yang dimiliki dan dikelola oleh investor asing. Mereka bukan
hanya kehilangan tanah, tapi pelan-pelan akan kehilangan jati dirinya sebagai
orang Madura. Kehilangan nilai-nilai kearifan budayanya yang pelan-pelan hanyut
dalam limbah industri neoliberal. Anehnya, gejala ini seolah mendapatkan restu
kekuasaan.
Kedua; Keakraban dengan Alam
Kriris lingkungan menjadi masalah
bersama yang sampai kini masih terus berlanjut tanpa ada jalan penyelesaian
yang pasti. Manusia yang seharusnya merawat alam sebagai habitat ia tinggal,
hidup dan berkembang, malah mejadi musuh dan pengrusak yang berkesinambungan.
Aktivitas-aktivitas manusia modern, terutama terkait dengan kegiatan ekonomi,
hampir selalu dapat dipastikan, mengandung unsur eksploitasi alam yang
berlebihan. Sangat kontras sekali dengan tradisi masyarakat Madura tempo dulu,
dalam kegiatan apapun yang berinteraksi dengan alam, selalu mengedapan
keakraban dan kehati-hatian, sesama makhluk Tuhan.
Dalam kultur tanah tegalan
masyarakat Madura, keakraban dengan alam sudah dibangun sejak masih
kanak-kanak. Saat musim hujan mulai turun, biasanya para orang tua membajak
tanah tegalan mereka pertama kali dan anak-anak ikut bermain bersamanya. Ketika
hujan sudah mulai intens turun, dan masa tanam tiba, para orang tua membajak
tanah mereka kembali dengan alat tradisional, dan anak-anak mereka ikut
membantu dengan nolonge ngeter: yaitu membantu menabur biji jagung dan
biji-bijian lain, di sela-sela tanah yang sudah dibajak.
Keakraban mereka dengan alam, juga terbangun
karena bagi orang Madura, tanah tegalan merupakan rumah kedua yang sering
mereka tempati. Selain membangun kandang, mereka juga membangun ranggun,
sebagai tempat shalat dan istirahat. Orang yang hatinya akrab dengan alam,
tidak mungkin memiki watak yang tidak peduli kepada alam, apalagi sampai
merusaknya. Keharmonisan semacam ini yang jarang dijumpai dalam beberapa tahun
terakhir pada diri anak-anak muda masyarakat Madura. Mereka sudah mulai
tercerabut dari akar kebudayaannya sendiri tanpa terasa dan disadari.
Ketiga; Kesederhaan
Tanah tegalan, dengan kultur yang
terbangun di atasnya, menjadi simbol kesederhanaan masyarakat Madura. Dengan
hasil perkebunan dan pertanian, serta “peternakan” yang seadanya, mereka mampu
menjalani hidup tanpa keluhan dan ketergantungan terhadap orang lain. Hidup
yang penuh kecukupan itu, ternyata lebih banyak ditopang oleh rasa syukur dari
pada harta yang berlimpah. Diperkuat dengan kesabaran agar tidak terjebak dalam
memanjakan keinginan. Inilah nilai yang diwariskan oleh para leluhur orang
Madura melalui tanah tegalan yang mereka sangkol-kan.
Kesederhaan membuat manusia menjadi
lebih tenang, karena hatinya tidak terganggu oleh kemolekan semu dunia. Tanah
tegalan yang digeluti setiap hari, oleh masyarakat Madura seolah membawa pesan
bahwa mereka berasal dari sana dan akan kembali ke sana. Sehingga, tidak perlu
menjalani hidup penuh gengsi dan kesombongan dengan berlomba menumpuk kekayaan.
Tulang punggung kapitalisme adalah kerakusan. Dan untuk mematahkanya, cukuplah
dengan kesederhanaan. Ambisi manusia yang berlebian terhadap materi, merupakan landasan
paling seksi bagi pesawat kapitalisasi untuk landing. Tak perlu teori
rumit-rumit, sederhanalah!.
Ketiga nilai tersebut sangat
diperlukan dalam menghadapi tantangan dunia global yang berjalan di bawah
komando kapitalisme. Solidaritas sosial diperlukan dalam menghadapi persaingan
pasar yang individualis, yang menjadi ciri utama ekonomi neoliberal. Para
pelaku usaha kecil akan mudah tersingkirkan karena mereka kalah dalam hal
modal, jaringan dan legitimasi yang didukung penuh oleh kekuasaan. Lagi:
kekuasaan!.
Keakraban dengan alam, dibutuhkan
untuk membangun kembali rasa cinta dan peduli terhadap lingkungan. Tak cukup
hanya dengan solidaritas sosial, tetapi harus diteguhkan dengan solidaritas
alam. Keduanya menjadi pilar dalam membangun kehidupan yang seimbang, dengan
menghargai harkat dan martabat manusia, dan mejaga kelestarian lingkungan.
Kesederhanaan adalah sikap
untuk mengawal kedua nilai sebelumnya agar tetap berjalan sesuai dengan garis
edarnya masing-masing. Manusia yang sederhana, tidak punya ambisi berlebihan
yang bisa merusak manusia dan alam, sebagaimana tradisi kaum kapital. Ternyata,
dalam kultur tanah tegalan, tersimpan nilai luhur kearian lokal yang sudah
mulai terlupakan, padahal sangat diperlukan dalam kehidupan. Di tengah serangan
arus global, sanggupkah kita mempertahankannya? Wallahu A’lam!.
Totale, Oktober 2021
(Esai ini mendapatkan juara I dalam Inkubator Literasi Pustaka Nasional Wilayah Madura tahun 2021)

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.