おくりびと (Okuribito)
Departures
(2008 – Shochiku/TBS Pictures)
Directed by Yojiro Takita
Screenplay by Kundo Koyama
Produced by Toshiaki Nakazawa, Ichiro Nobukuni, Toshihisa Watai
Cast: Masahiro Motoki, Ryoko Hirosue, Tsutomu Yamazaki, Kimiko Yo, Kazuko Yoshiyuki, Takashi Sasano
Thank God for Jiffest! Gw berkesempatan untuk nonton film Jepang pemenang Academy Award/Oscar Februari kemaren, Okuribito a.k.a. Departures di layar lebar, sebagai film ke-4 dan terakhir yg gw tonton di Jiffest tahun ini. Sebenernya sih dulu gw pengen nonton dengan cara biasanya gw bisa nonton film Jepang: unduh (ih, ngapain beli di lapak kalo bisa bikin sendiri, gratis pun +_+ *sesat*) tapi karena kesibukan dan lain hal, gak sempet deh. Pucuk dicinta nasi ulam pun tiba, Jiffest 2009 menayangkan film ini. Yeay!
Menonton film (live action) Jepang sebenarnya tidak boleh dengan ekspektasi terlalu tinggi. Meskipun kurang begitu mendalami dunia sinema Jepang, gw sebenarnya dapat mengira-ngira bahwa dunia perfilman di sana mirip dengan Indonesia sekarang. Bukan dari segi pendanaan tentu saja, tapi dari segi penggarapan. Untuk sebuah negara yg empunya sutradara legendaris Akira Kurosawa (how I love Rashomon ^o^), film2 yg ada belakangan ini, yg gw tonton terutama, kurang bisa mencapai kejayaan masa lalu. Banyak yg hanya jadi mesin pencari uang misalnya versi film dari sinetron2/dorama televisi sukses, lalu yg sekarang lagi tren juga adaptasi komik dengan hasil kualitas seadanya seperti Nana dan 20th Century Boys, atau melodrama cinta adaptasi novel roman yg mudah menarik penonton terutama wanita. Beberapa film Jepang tahun 2000-an yg gw anggap cukup bagus adalah hanya Always:Sunset on The Third Street, The Wow-Chouten Hotel, Densha Otoko (Train Man), dan Ima Ai ni Yukimasu (Be With You). Tapi semuanya ada satu kesamaan: penggarapannya standar. Ya gitu2 aja, antara sutradara yg satu dan yang lain gayanya sama, kayak satu sekolahan semua. Nonton film dengan sinteron Jepang hampir nggak ada bedanya, beda alat rekam aja. Untuk urusan film bisokop, maap2 kata niy, Jepang kayaknya musti belajar dari Korea.
Oke deh, kita kembali ke Departures. Film ini mengisahkan Daigo Kobayashi (Masahiro Motoki), yg tadinya berprofesi sebagai pemain cello profesional di sebuah orkestra yg akhirnya bubar. Daigo bareng istrinya Mika (Ryoko Hirosue, lovely) memutuskan untuk pindah dari kota besar (mungkin Tokyo tapi entahlah) ke Yamagata, tempat ia dibesarkan, dan tinggal di rumah warisan almarhum ibunya. Hal yg jadi prioritas Daigo tentu saja mencari pekerjaan, dan ia menemukan sebuah lowongan di koran lokal, yg umur bisa berapa aja, pengalaman nggak penting, dan upahnya cukup besar. Daigo lalu datang dan langsung diterima oleh si bos, Sasaki (Tsutomu Yamazaki) tanpa basa-basi dan tetek bengek lainnya, namun baru tahu kemudian bahwa usaha yg dia kira agen travel (karena bernama NK Agent, dan ada tulisan “tabi”=perjalanan), ternyata adalah perusahaan jasa pengurus jenazah (iklannya kurang satu huruf “tabi-dachi”=yg pergi/meninggal, capek deeh), dan NK adalah singkatan noukan: peletakan jenazah ke peti mati. Usaha ini menjual jasa mulai dari pemandian, rias sampai penyediaan peti mati—di pembukaan film kita udah tau ini sebuah prosesi berupa upacara yg, honestly, terlihat jauh lebih keren ketimbang upacara minum teh nan membosankan itu.
Walah, Daigo jadi kebingungan tapi segan menolak, secara nganggur kan, lagian NK agent saat itu isinya cuman pak Sasaki dan pengurus administrasi + hal lainnya, Kamimura-san (Kimiko Yo), 2 orang doang, mana Daigo langsung dikasih upah pertama hari itu juga. Memutuskan untuk merahasiakan dari istrinya (“jasa upacara” katanya, “oh, kayak kawinan gitu?” ^=^), Daigo lalu melakoni pekerjaan yg dianggap tabu itu, diawali dengan jadi model mayat di syuting DVD demo prosesi pemandian dan rias jenazah pak Sasaki, kemudian waktu2 selanjutbya menyaksikan sekaligus belajar cara kerja pak Sasaki memandikan dan merias mayat dalam satu prosesi yg disaksikan langsung oleh keluarga berduka. Daigo tak butuh waktu lama untuk akhirnya menghargai pekerjaan ini. Pak Sasaki membersihkan dan merias jenazah dengan penuh penghormatan, ketulusan, dan menjaga martabat almarhum dan keluarga (mayat tidak serta merta ditelanjangi, tapi dikamuflase dengan canggihnya) —dan tentu saja dengan keahlian yg mumpuni, serta meriasnya seakan-akan si almarhum siap untuk berangkat tanpa beban, memberi kelegaan kepada keluarga yg ditinggalkannya. Melihat itu, Daigo pun mulai luluh dan giat menekuni profesi langka ini. Tapi di saat2 itulah, Daigo mulai jadi pembicaraan orang, bahkan teman lamanya jadi malu berteman sama dia (cih, temen apaan tuh?). Mika pun akhirnya tau, karena merasa syok dan malu (dia tidur bareng orang yg pegang mayat, hii) Mika memutuskan untuk berpisah sampai Daigo memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Tapi Daigo tampaknya sudah mantap pada kehidupannya sekarang. Ia belajar banyak lewat peristiwa2 kematian yg disaksikannya, dan tanpa disangka melalui pekerjaan inilah ia bisa kembali menghadapi apa yg masih mengganjal dalam hatinya, yaitu kebencian pada ayahnya yg kabur waktu ia kecil bahkan sampai lupa mukanya. Lewat pekerjaannya inilah Daigo akan dipertemukan, dan bukan hanya sekadar mengingat kembali wajah ayahnya (ini spoiler bukan yah? ^_^’).
Jujur aja, secara teknis Departures hampir tidak jauh beda dengan film2 Jepang yg pernah gw tonton. Semuanya tampak sederhana sekali, akting dan gambar2nya pun tidaklah terlalu istimewa, standar (buat gw Sekai no Chuushin de Ai wo Sakebu/Crying Out Love in the Centre of the World masih unggul dalam urusan sinematografi film drama). Apalagi yg gw heran adalah kualitas gambarnya yg kotor dan kasar yg notabene jadi penyakit hampir semua film2 Jepang, bahkan di DVD sekalipun (terutama produksi TBS), entah salah kameranya, salah pita filmnya, atau salah printingnya. Jepang lho, negara teknologi, tapi masih kayak gitu, kalah sama Korea. Akan tetapi, setelah menonton Departures sebagai sebuah film utuh (meski diwarnai dengan pengulangan adegan waktu gw nonton, entah karena operator salah pasang roll film atau emang dari sononya kopi filmnya error), gw mengerti kenapa film ini bisa terpilih menerima piala Oscar. Film ini sangat representatif, memuat ke-Jepang-an meski tanpa samurai dan geisha. Tema yg diangkat, yaitu upacara “persiapan” jenazah, yg di film ini ditunjukkan dengan sangat baik detil serta estetika nya, takkan ada di mana-mana, bahkan di Jepang pun konon profesi ini cukup tabu dan jarang ada (terlihat dari adegan ending, pengurus jenazah di kota lain yg mau ngangkut mayat kayak pindahan rumah, nggak ada penghormatannya sama sekali), karena, realistis aja, siapa yg bangga kalo ditanyain Q: “kerja kamu/bapakmu apa?”, A: “mandiin mayat”? =_=’. Di Indonesia, mungkin ini “cuma” jadi bahan ejekan, tapi di Jepang, juga menurut film ini, sebagian masyarakat akan menanggapinya dengan serius dan menjadikan itu profesi memalukan yg hampir tak ada seorang pun yg mau mengerjakannya (duh ribet ya jadi orang Jepang tuh).
Terlepas dari kesederhanaannya, dan berkaitan dengan temanya juga, film ini sangat kuat di cerita, yang bisa dimaknai secara universal, pun karakterisasi yg simpatik tanpa kecuali. Semuanya terlihat ringan dengan beberapa adegan dan dialog yg cukup menggelitik (thus, film ini nggak mboseni, beneran deh) tapi menyimpan makna yang mendalam: bagaimana menghadapi dan membiasakan diri pada perubahan hidup yg tiba-tiba, bagaimana menerima dan menghargai orang lain tanpa terpaku pada stigma, bagaimana untuk mengampuni, bagaimana menjalani hidup dengan tulus. Beberapa momen prosesi persiapan jenazah pun sangat menarik dan mengena, terutama dari reaksi setiap keluarga yg berbeda satu dengan yang lain. Gw paling suka ketika seorang ibu meninggal, pak Sasaki nanya “boleh saya minta lipstik kesukaan istri Anda”, lalu si suami bereaksi bengong “hah?”, dan akhirnya si anak yg mengambilnya. Hanya dari adegan ini saja kita tahu “sebesar” apa perhatian si suami pada si istri. Sebenarnya film yg judulnya harusnya diterjemahkan jadi “penghantar” ini tak luput dari kelemahan di beberapa adegan, seperti adegan ala sinetron ketika Kamimura-san yg tiba2 bercerita mengenai masa lalunya meninggalkan anak untuk mencari nafkah. Tapi itu bisa dimaafkan mengingat adegan prosesi persiapan mayat sebelum dan sesudah adegan itu amat sangat “mendiamkan” gw dan sepertinya membuka saluran air mata penonton yg lain.
Kalo boleh terus terang, gw tidak segitu terkesan sama film secara keseluruhan sesaat setelah filmnya habis, seperti gw bilang di atas, tampilannya nggak terlalu istimewa, aman2 saja. Tapi selama mencoba menulis review ini, ternyata gw menemukan Departures memuat banyak sekali hal yg patut digali yg memang ditunjukkan secara subtle, baik itu gambaran sosiologi, budaya, ataupun kemanusiaan, meskipun plotnya berjalan dalam scope yg kecil, yang personal, nggak meluber kemana-mana, dan justru itulah yg membuatnya lebih nyaman sekaligus “kena”, serta asiknya lagi, film ini cukup menghibur. Film ini lebih bagus justru kalo diingat-ingat lama setelah nonton, seperti makanan kaya gizi yg rasanya biasa aja, tapi baru terasa khasiatnya belakangan (kayak ngantuk 15 menit setelah makan kangkung, haha). Gw nggak berani bilang film ini “great”, tapi cukup layak lah untuk gw sebut “very good”, dan itu sebagian besar berkat ceritanya semata. Layak menang Oscar kah? Wah kalo itu musti nonton film yg lainnya dulu baru bisa menilai, sebab belajar dari film ini, jangan buru2 nge-judge. ^o^ V
My score: 8/10
Trivia gak penting: gw nonton film ini di hari yg sama gw nonton Identitas, sama2 tentang orang berprofesi mengurus mayat, hihi.
, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.