Memories of Tomorrow
(Toei – 2006)
Directed by: Yukihiko Tsutsumi
Screenplay by: Hakaru Sunamoto & Uiko Miura
Based on the novel by: Hiroshi Ogiwara
Produced by: Jun Sakagami, Tatsuo Kawamura
Cast: Ken Watanabe, Kanako Higuchi, Kenji Sakaguchi, Kazue Fukiishi, Asami Mizukawa, Teruyuki Kagawa
Masayuki Saeki baru akan menjelang umur 50 tahun, 3 hal penting terjadi padanya: menjadi project manager iklan untuk klien besar, akan menjadi kakek karena putri satu-satunya tengah hamil dan akan menikah (yup, you read that right, urutannya kayak gitu), dan ia mulai sering lupa. Yang terakhir ini yg jadi benang merah cerita karena ternyata Saeki menderita stadium awal dari penyakit Alzheimer. Film ini intinya mengenai Saeki dalam menghadapi penyakitnya, mulai dari sakit kepala, lupa letak barang, lupa hari, lupa tempat hingga nggak kenal lagi orang yg udah dikenal. Tak hanya Saeki, Emiko sang istri pun harus menghadapi dan mendampingi keadaan suaminya yang jelas akan semakin parah.
Kalau diliat idenya sangat menarik, tapi entah kenapa, gw merasa film baru “mulai” di menit ke 60 alias satu jam terakhir. Nuansa di paruh itu sangat tepat, hubungan suami istri Saeki digali lebih dalam, dramanya lumayan dapetlah. Bahkan ada satu adegan brilian, ketika Saeki dan Emiko beradu mulut dengan begitu emosional (tapi believable), hingga Saeki mukul kepala Emiko pake piring keramik ampe berdarah…tanpa diperlihatkan pukulannya,tapi di-cut ke akuarium, terus ke muka Emiko yg perlahan ada darah mengucur. Ini adalah satu2nya adegan yg outstanding sepanjang film. Seharusnya, keseluruhan film ini tetap berpegang pada nuansa drama menyentuh di satu jam terakhir itu. Loh, emangnya kenapa di paruh pertama? Begini masalahnya: sang sutradara kayak bingung gejala2 awal Saeki harus dibuat seperti apa. Hasilnya, mulai dari dramatisasi dialog berlebihan ala sinetron, efek2 visual nggak penting, sampe kelinglungan Saeki dibuat kayak thriller/horor. Seakan menonton dua film berbeda. Dan gw juga nggak yakin kalo film ini menggambarkan Alzheimer dengan tepat. Dan yang cukup fatal, endingnya pun nggak menjelaskan maksud film ini dibuat untuk apa. Nggak ada klimaksnya. Nggak ada yang bisa disimpulkan. Nggak jelas. Tiba2 abis aja, meskipun boleh gue akuin adegan terakhirnya cukup indah..tapi tetep aja itu nggak menjelaskan film ini secara utuh.
Akan tetapi, sejhaaathinya, ada dua penyelamat film ini, yaitu performa luar biasa dari Ken Watanabe dan Kanako Higuchi sebagai suami istri Saeki. Pak Watanabe bener2 menunjukkan kelasnya sebagai aktor tulen tanpa terlihat lebai atau palsu. Bu Higuchi sukses berat men-deliver tokoh Emiko yang tegar dan penuh kasih sayang tanpa terkesan –lagi-lagi– lebai atau minta dikasihani. 5 jempol buat dua aktor veteran Jepang ini. Akting mereka benar2 bisa menutupi kelemahan film ini dari segi cerita.
Gue baru nge-Wiki, bahwa sang sutradara Yukihiko Tsusumi, yg juga sutradara trilogi “20th Century Boys”, sebelumnya adalah sutradara serial dan film komedi-misteri-supernatura
my score: 6/10
, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.