
“I made you look like a prince on the outside, but I didn’t change
anything on the inside.”
anything on the inside.”
Saat pertama kali menengok
barisan promosi yang ditebar untuk Aladdin,
dahi ini tiba-tiba mengernyit dan sikap skeptis lantas merasuki diri. Yakin nih
Disney membuat ulang salah satu film animasi tersakral mereka dalam tampilan
yang lebih layak untuk dirilis di Disney Channel alih-alih bioskop seperti ini?
Ya, tidak hanya penuh keraguan, saya pun julid dan suudzon. Padahal belum melihat secara langsung hasil kinerja Guy
Ritchie yang sebelumnya menggarap Sherlock
Holmes (2009) beserta King Arthur:
Legend of the Sword (2017) tersebut. Disamping trailer yang sama sekali
tidak menggairahkan, tiga faktor lain yang memantapkan keraguan adalah: 1)
perusahaan film berlogo tikus ini baru saja melepas interpretasi baru untuk Dumbo yang luar biasa hambarnya, 2) jejak
rekam sang sutradara yang berjibaku di genre laga tak ramah keluarga, dan 3)
jajaran pemainnya tak nampak menjanjikan. Jadi, apa yang bisa diharapkan dari
versi live action untuk film animasi rilisan
tahun 1992 ini? Tanpa membawa bekal berwujud ekspektasi tinggi, saya pun
memutuskan untuk menyaksikan Aladdin
di studio terbesar yang telah disokong oleh teknologi suara Dolby Atmos. Keyakinan
saya bahwa apa yang akan tersaji di layar adalah parade kekonyolan secara
perlahan tapi pasti mulai tergerus seiring berjalannya durasi. Saya yang
tadinya kemrungsung (baca: hati tidak
tenang) lantaran membaca berita-berita buruk, tiba-tiba merasakan sensasi rasa
yang tidak pernah diperkirakan bakal muncul setelah menonton Aladdin yakni bahagia. Pepatah bijak
yang berbunyi “jangan menilai buku dari
tampilan luarnya” ternyata memang benar adanya dan saya baru saja ditampar keras-keras
olehnya.
barisan promosi yang ditebar untuk Aladdin,
dahi ini tiba-tiba mengernyit dan sikap skeptis lantas merasuki diri. Yakin nih
Disney membuat ulang salah satu film animasi tersakral mereka dalam tampilan
yang lebih layak untuk dirilis di Disney Channel alih-alih bioskop seperti ini?
Ya, tidak hanya penuh keraguan, saya pun julid dan suudzon. Padahal belum melihat secara langsung hasil kinerja Guy
Ritchie yang sebelumnya menggarap Sherlock
Holmes (2009) beserta King Arthur:
Legend of the Sword (2017) tersebut. Disamping trailer yang sama sekali
tidak menggairahkan, tiga faktor lain yang memantapkan keraguan adalah: 1)
perusahaan film berlogo tikus ini baru saja melepas interpretasi baru untuk Dumbo yang luar biasa hambarnya, 2) jejak
rekam sang sutradara yang berjibaku di genre laga tak ramah keluarga, dan 3)
jajaran pemainnya tak nampak menjanjikan. Jadi, apa yang bisa diharapkan dari
versi live action untuk film animasi rilisan
tahun 1992 ini? Tanpa membawa bekal berwujud ekspektasi tinggi, saya pun
memutuskan untuk menyaksikan Aladdin
di studio terbesar yang telah disokong oleh teknologi suara Dolby Atmos. Keyakinan
saya bahwa apa yang akan tersaji di layar adalah parade kekonyolan secara
perlahan tapi pasti mulai tergerus seiring berjalannya durasi. Saya yang
tadinya kemrungsung (baca: hati tidak
tenang) lantaran membaca berita-berita buruk, tiba-tiba merasakan sensasi rasa
yang tidak pernah diperkirakan bakal muncul setelah menonton Aladdin yakni bahagia. Pepatah bijak
yang berbunyi “jangan menilai buku dari
tampilan luarnya” ternyata memang benar adanya dan saya baru saja ditampar keras-keras
olehnya.
Karakter utama dalam film ini
tetaplah seorang pencuri berhati emas bernama Aladdin (Mena Massoud) yang
mendiami sebuah kota fiktif di kawasan Timur Tengah, Agrabah. Ditengah pelariannya
selepas melakukan aksi, Aladdin berjumpa dengan putri Sultan, Jasmine (Naomi
Scott), yang sedang blusukan. Bertahun-tahun tinggal di istana tanpa mengetahui
situasi kondisi dunia luar, Jasmine bertindak keliru yang seketika
membangkitkan amarah seorang pedagang di pasar. Saat Jasmine terpojok, Aladdin
datang menyelamatkan. Dia membawanya ke gubuk bersahaja miliknya yang terbuat
dari puing-puing rumah yang ditinggalkan. Dari sini, Jasmine melihat sisi lain
Agrabah yang sebelumnya tak pernah disaksikannya dan dia pun jatuh hati kepada
Aladdin. Kebersamaan keduanya ini sayangnya berlangsung singkat lantaran
seorang pangeran dari Eropa hendak menyambangi istana demi meminang Jasmine. Seperti
kita ketahui bersama, pinangan tersebut tak digubris oleh tuan putri. Dia masih
mendamba Aladdin yang lantas menyusup ke istana demi mengembalikan gelang
Jasmine yang dicuri oleh monyet peliharaannya, Abu. Belum sempat mereka
bermesraan, Aladdin ditangkap Perdana Menteri sekaligus ahli sihir kerajaan,
Jafar (Marwan Kenzari), yang kemudian memanfaatkan sang protagonis untuk
mencuri lampu ajaib dari sebuah gua – Cave of Wonders – yang konon kabarnya
mampu mengabulkan segala permintaan. Benar saja, ada jin biru dengan pembawaan
ceria bernama Genie (Will Smith) bersemayam di dalamnya yang membuat kisah
percintaan beda kasta Aladdin-Jasmine serta kisah ambisi Jafar untuk menduduki
tahta kerajaan menjadi kian menarik untuk diikuti.
tetaplah seorang pencuri berhati emas bernama Aladdin (Mena Massoud) yang
mendiami sebuah kota fiktif di kawasan Timur Tengah, Agrabah. Ditengah pelariannya
selepas melakukan aksi, Aladdin berjumpa dengan putri Sultan, Jasmine (Naomi
Scott), yang sedang blusukan. Bertahun-tahun tinggal di istana tanpa mengetahui
situasi kondisi dunia luar, Jasmine bertindak keliru yang seketika
membangkitkan amarah seorang pedagang di pasar. Saat Jasmine terpojok, Aladdin
datang menyelamatkan. Dia membawanya ke gubuk bersahaja miliknya yang terbuat
dari puing-puing rumah yang ditinggalkan. Dari sini, Jasmine melihat sisi lain
Agrabah yang sebelumnya tak pernah disaksikannya dan dia pun jatuh hati kepada
Aladdin. Kebersamaan keduanya ini sayangnya berlangsung singkat lantaran
seorang pangeran dari Eropa hendak menyambangi istana demi meminang Jasmine. Seperti
kita ketahui bersama, pinangan tersebut tak digubris oleh tuan putri. Dia masih
mendamba Aladdin yang lantas menyusup ke istana demi mengembalikan gelang
Jasmine yang dicuri oleh monyet peliharaannya, Abu. Belum sempat mereka
bermesraan, Aladdin ditangkap Perdana Menteri sekaligus ahli sihir kerajaan,
Jafar (Marwan Kenzari), yang kemudian memanfaatkan sang protagonis untuk
mencuri lampu ajaib dari sebuah gua – Cave of Wonders – yang konon kabarnya
mampu mengabulkan segala permintaan. Benar saja, ada jin biru dengan pembawaan
ceria bernama Genie (Will Smith) bersemayam di dalamnya yang membuat kisah
percintaan beda kasta Aladdin-Jasmine serta kisah ambisi Jafar untuk menduduki
tahta kerajaan menjadi kian menarik untuk diikuti.

Narasi yang diusung Aladdin sebetulnya sederhana dan mereka
yang telah menonton versi animasinya yang disadur dari kumpulan dongeng
bertajuk One Thousand and One Nights
tentu sudah mengetahui seluk beluknya. Jadi, apa yang menarik dari film ini
sampai-sampai saya menyesal telah menanamkan pemikiran buruk kepadanya dan
akhirnya malah berujar “I love it!”
selepas menonton? Bagi saya, satu hal paling menarik dari Aladdin adalah si pembuat film berhasil memindahkan daya magis yang
dipunyai oleh versi animasinya ke dalam format live action. Memunculkan sense
of wonder yang kembali mengingatkan penonton mengenai alasan utama sinema
diciptakan: memberi penghiburan kepada pikiran penat beserta hati yang tengah
berduka dengan kisah-kisah imajinatif. Guy Ritchie yang meninggalkan zona
nyamannya berupaya memenuhi tujuan tersebut dan mesti diakui upayanya ini berbuah
manis. Selama durasi mengalun yang merentang sepanjang 128 menit, saya seperti dibawa
kembali ke masa kanak-kanak yang jauh dari sikap sinis. Ada banyak kemeriahan,
ada banyak kekaguman, dan ada banyak kebahagiaan di berbagai sudut film. Saking
seringnya, saya sampai kelupaan buat menghitung berapa kali diri ini dibuat
tersenyum, terpingkal-pingkal, serta terperangah. Sedari tembang “Arabian Nights” yang menghantarkan kita
memasuki dunia seribu satu malam yang divisualisasikan dengan penuh warna, lalu
berlanjut pada momen musikal “One Jump
Ahead” yang aransemen barunya membawa ingatan ini melayang ke trilogi High School Musical, saya sudah terpikat
kepada Aladdin. Perasaan ini lantas berkembang
menjadi jatuh hati setelah film menghadirkan nomor “Friend Like Me” beserta “Prince
Ali” yang gegap gempita dan kembali dikonfirmasi melalui “A Whole New World” yang sekalipun tak
seindah materi aslinya tetapi sanggup bikin hati terasa nyesss. Jangan juga
dilupakan adalah tembang emosional “Speechless”
yang bisa jadi akan meneruskan kedigdayaan “Let
It Go” dari Frozen (2014).
yang telah menonton versi animasinya yang disadur dari kumpulan dongeng
bertajuk One Thousand and One Nights
tentu sudah mengetahui seluk beluknya. Jadi, apa yang menarik dari film ini
sampai-sampai saya menyesal telah menanamkan pemikiran buruk kepadanya dan
akhirnya malah berujar “I love it!”
selepas menonton? Bagi saya, satu hal paling menarik dari Aladdin adalah si pembuat film berhasil memindahkan daya magis yang
dipunyai oleh versi animasinya ke dalam format live action. Memunculkan sense
of wonder yang kembali mengingatkan penonton mengenai alasan utama sinema
diciptakan: memberi penghiburan kepada pikiran penat beserta hati yang tengah
berduka dengan kisah-kisah imajinatif. Guy Ritchie yang meninggalkan zona
nyamannya berupaya memenuhi tujuan tersebut dan mesti diakui upayanya ini berbuah
manis. Selama durasi mengalun yang merentang sepanjang 128 menit, saya seperti dibawa
kembali ke masa kanak-kanak yang jauh dari sikap sinis. Ada banyak kemeriahan,
ada banyak kekaguman, dan ada banyak kebahagiaan di berbagai sudut film. Saking
seringnya, saya sampai kelupaan buat menghitung berapa kali diri ini dibuat
tersenyum, terpingkal-pingkal, serta terperangah. Sedari tembang “Arabian Nights” yang menghantarkan kita
memasuki dunia seribu satu malam yang divisualisasikan dengan penuh warna, lalu
berlanjut pada momen musikal “One Jump
Ahead” yang aransemen barunya membawa ingatan ini melayang ke trilogi High School Musical, saya sudah terpikat
kepada Aladdin. Perasaan ini lantas berkembang
menjadi jatuh hati setelah film menghadirkan nomor “Friend Like Me” beserta “Prince
Ali” yang gegap gempita dan kembali dikonfirmasi melalui “A Whole New World” yang sekalipun tak
seindah materi aslinya tetapi sanggup bikin hati terasa nyesss. Jangan juga
dilupakan adalah tembang emosional “Speechless”
yang bisa jadi akan meneruskan kedigdayaan “Let
It Go” dari Frozen (2014).
Selain disebabkan oleh momen
musikal yang rancak, Aladdin mampu
tampil menjulang berkat guliran penceritaan Aladdin
yang mengena sekaligus mengandung pesan sangat baik. Dari segala tindak tanduk
para karakter inti, penonton bisa belajar mengenai keberanian, kepedulian, bersikap
apa adanya tanpa kepalsuan, maupun persahabatan. Disamping itu, Disney turut
memberikan sedikit pelintiran pada kisah yang menjadikannya bukan adaptasi plek
ketiplek melainkan interpretasi baru. Disini, sosok Jasmine didesain lebih kuat
sehingga dapat menginspirasi para perempuan untuk bersuara ketimbang pasrah
pada keadaan yang menyulitkannya dan sosok Jafar yang serakah diharapkan dapat
memberi peringatan kepada para pemburu kekuasaan. Seperti kata Genie, “uang dan kekuasaan tidak akan pernah cukup.
Kamu akan selalu menginginkan lebih.” Deep, guys, deep! Kegemilangan narasi
sederhana tapi sangat efektif dalam menyampaikan pesan-pesannya ini beserta elemen
musikal yang visualisasinya amat membuai mata turut ditunjang oleh jajaran
pemain yang ternyata oh ternyata… berlakon dengan sangat cemerlang (!). Oke,
Marwan Kenzari memang kurang culas sebagai Jafar yang memendam serentetan
agenda masif, terstruktur, dan sistematis dalam upayanya menggulingkan Sultan
(Navid Negahban) dari tampuk kepemimpinan. Namun, film masih mempunyai duo Mena
Massoud-Naomi Scott yang bersiap-siap menjadi idola masa depan dan Will Smith
yang balik lagi ke peran komikal usai sejumlah peran serius yang dijabaninya.
musikal yang rancak, Aladdin mampu
tampil menjulang berkat guliran penceritaan Aladdin
yang mengena sekaligus mengandung pesan sangat baik. Dari segala tindak tanduk
para karakter inti, penonton bisa belajar mengenai keberanian, kepedulian, bersikap
apa adanya tanpa kepalsuan, maupun persahabatan. Disamping itu, Disney turut
memberikan sedikit pelintiran pada kisah yang menjadikannya bukan adaptasi plek
ketiplek melainkan interpretasi baru. Disini, sosok Jasmine didesain lebih kuat
sehingga dapat menginspirasi para perempuan untuk bersuara ketimbang pasrah
pada keadaan yang menyulitkannya dan sosok Jafar yang serakah diharapkan dapat
memberi peringatan kepada para pemburu kekuasaan. Seperti kata Genie, “uang dan kekuasaan tidak akan pernah cukup.
Kamu akan selalu menginginkan lebih.” Deep, guys, deep! Kegemilangan narasi
sederhana tapi sangat efektif dalam menyampaikan pesan-pesannya ini beserta elemen
musikal yang visualisasinya amat membuai mata turut ditunjang oleh jajaran
pemain yang ternyata oh ternyata… berlakon dengan sangat cemerlang (!). Oke,
Marwan Kenzari memang kurang culas sebagai Jafar yang memendam serentetan
agenda masif, terstruktur, dan sistematis dalam upayanya menggulingkan Sultan
(Navid Negahban) dari tampuk kepemimpinan. Namun, film masih mempunyai duo Mena
Massoud-Naomi Scott yang bersiap-siap menjadi idola masa depan dan Will Smith
yang balik lagi ke peran komikal usai sejumlah peran serius yang dijabaninya.

Mereka memberikan nyawa terhadap
karakter Aladdin, Jasmine, maupun Genie yang memegang peranan krusial terhadap
pergerakan narasi. Mena Massoud memancarkan karisma seorang jagoan yang
membuatnya mudah untuk disemati simpati, Naomi Scott memperlihatkan keanggunan
seorang putri sekaligus ketangguhan seorang pemimpin, sementara Will Smith tampak
bersenang-senang dengan peran yang diembannya tanpa berusaha untuk mengimitasi
gaya mendiang Robin Williams yang ikonik di film animasinya. Momen-momen terbaik yang dipunyai Smith adalah
tatkala dia berinteraksi dengan Massoud yang membuktikan adanya chemistry kuat diantara mereka. Chemistry
yang sama juga terdeteksi dalam relasi percintaan Massoud dengan Scott. Dari sejumlah
adegan, setidaknya ada dua adegan kesukaan saya secara pribadi yang melibatkan duo
Genie-Aladdin yaitu: 1) saat mereka menghadap ke Kerajaan Agrabah untuk pertama
kali dimana Aladdin yang gugup meracau kemana-mana, dan 2) saat Genie
berbincang-bincang dengan Aladdin di tengah gurun. Keduanya sangat kocak,
keduanya juga hangat. Kita bisa dibuat percaya bahwa mereka saling peduli
antara satu dengan lain sehingga sukar untuk tak berkaca-kaca begitu si
karakter tituler mengucap permintaan terakhirnya. Kece sekali!
karakter Aladdin, Jasmine, maupun Genie yang memegang peranan krusial terhadap
pergerakan narasi. Mena Massoud memancarkan karisma seorang jagoan yang
membuatnya mudah untuk disemati simpati, Naomi Scott memperlihatkan keanggunan
seorang putri sekaligus ketangguhan seorang pemimpin, sementara Will Smith tampak
bersenang-senang dengan peran yang diembannya tanpa berusaha untuk mengimitasi
gaya mendiang Robin Williams yang ikonik di film animasinya. Momen-momen terbaik yang dipunyai Smith adalah
tatkala dia berinteraksi dengan Massoud yang membuktikan adanya chemistry kuat diantara mereka. Chemistry
yang sama juga terdeteksi dalam relasi percintaan Massoud dengan Scott. Dari sejumlah
adegan, setidaknya ada dua adegan kesukaan saya secara pribadi yang melibatkan duo
Genie-Aladdin yaitu: 1) saat mereka menghadap ke Kerajaan Agrabah untuk pertama
kali dimana Aladdin yang gugup meracau kemana-mana, dan 2) saat Genie
berbincang-bincang dengan Aladdin di tengah gurun. Keduanya sangat kocak,
keduanya juga hangat. Kita bisa dibuat percaya bahwa mereka saling peduli
antara satu dengan lain sehingga sukar untuk tak berkaca-kaca begitu si
karakter tituler mengucap permintaan terakhirnya. Kece sekali!
Outstanding (4/5)


, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.