
“Kalau dia bikin lo ketawa, itu tandanya lo suka sama dia. Tapi kalau
dia bikin lo nangis itu artinya lo cinta sama dia”
dia bikin lo nangis itu artinya lo cinta sama dia”
Sebelum dihidangkan menjadi
sajian layar lebar, Antologi Rasa lebih
dulu dikenal sebagai novel metropop (fiksi tentang masyarakat urban kelas
menengah) rekaan Ika Natassa yang juga menulis Critical Eleven dan Twitvortiare.
Ada banyak sekali pengagumnya di luar sana, bahkan tak sedikit diantaranya yang
berani menyematkan label “salah satu
novel percintaan dewasa terbaik buatan penulis tanah air” sampai-sampai saya
turut dibuat penasaran. Memang, sebagus apa sih novel ini? Seusai membuktikannya
sendiri, saya pun bisa mengangguk-angguk setuju ketika ada seseorang
menyinggung Antologi Rasa dalam
sebuah percakapan lalu melontarkan puja puji untuknya. Dari segi premis
sebetulnya tidak ada yang mencengangkan, yakni seputar empat teman baik yang
terjebak dalam friendzone tatkala
mereka memilih untuk memendam perasaan lantaran tak ingin merusak tali
persahabatan. Yang lantas membuatnya istimewa adalah bagaimana si penulis
menyajikan kisah sederhana ini; ada berbagai sudut pandang dalam novel sehingga
memungkinkan pembaca untuk mengetahui isi kepala dari setiap karakter inti, dan
barisan karakter yang menggerakkan roda penceritaan pun dideskripsikan dengan sangat
menarik. Kita bisa memahami mereka, kita bisa pula jatuh hati pada mereka. Kalau
boleh jujur, prosa ini sejatinya memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi untuk
diekranisasi karena beresiko terjerembab menjadi tontonan membosankan apabila
memperoleh penanganan yang keliru. Itulah mengapa saya memutuskan untuk tidak
menaruh ekspektasi apapun ketika mendapati Antologi
Rasa diboyong ke layar lebar terlebih jajaran kru dan pemain yang
dilibatkan pun (mohon maaf) tak terdengar menjanjikan.
sajian layar lebar, Antologi Rasa lebih
dulu dikenal sebagai novel metropop (fiksi tentang masyarakat urban kelas
menengah) rekaan Ika Natassa yang juga menulis Critical Eleven dan Twitvortiare.
Ada banyak sekali pengagumnya di luar sana, bahkan tak sedikit diantaranya yang
berani menyematkan label “salah satu
novel percintaan dewasa terbaik buatan penulis tanah air” sampai-sampai saya
turut dibuat penasaran. Memang, sebagus apa sih novel ini? Seusai membuktikannya
sendiri, saya pun bisa mengangguk-angguk setuju ketika ada seseorang
menyinggung Antologi Rasa dalam
sebuah percakapan lalu melontarkan puja puji untuknya. Dari segi premis
sebetulnya tidak ada yang mencengangkan, yakni seputar empat teman baik yang
terjebak dalam friendzone tatkala
mereka memilih untuk memendam perasaan lantaran tak ingin merusak tali
persahabatan. Yang lantas membuatnya istimewa adalah bagaimana si penulis
menyajikan kisah sederhana ini; ada berbagai sudut pandang dalam novel sehingga
memungkinkan pembaca untuk mengetahui isi kepala dari setiap karakter inti, dan
barisan karakter yang menggerakkan roda penceritaan pun dideskripsikan dengan sangat
menarik. Kita bisa memahami mereka, kita bisa pula jatuh hati pada mereka. Kalau
boleh jujur, prosa ini sejatinya memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi untuk
diekranisasi karena beresiko terjerembab menjadi tontonan membosankan apabila
memperoleh penanganan yang keliru. Itulah mengapa saya memutuskan untuk tidak
menaruh ekspektasi apapun ketika mendapati Antologi
Rasa diboyong ke layar lebar terlebih jajaran kru dan pemain yang
dilibatkan pun (mohon maaf) tak terdengar menjanjikan.
Dalam versi layar lebar, Antologi Rasa masih menempatkan Keara
(pendatang baru Carissa Perusset), Harris (Herjunot Ali), serta Ruly (Refal
Hady) di poros utama penceritaan. Mereka bertiga adalah bankir di BorderBank Jakarta
yang lantas menjalin tali persahabatan selepas merasakan pahit manisnya
menjalani penempatan di suatu daerah yang jauh dari ibukota bersama-sama. Saking
akrabnya manusia-manusia ini, Keara hampir selalu mengajak serta Harris untuk
melepas penat dan terkadang Ruly yang cenderung pendiam pun turut bergabung. Ditengok
secara sekilas lalu, ketiganya tak menunjukkan adanya rasa berbeda dibalik
topeng persahabatan yang mereka kenakan. Tapi jika kita bersedia untuk
mengamati lebih jauh, kita bisa mendeteksi bahwa mereka menyimpan kegundahan
yang sama lantaran tak sanggup mengutarakan satu rasa yang disebut cinta. Keara
diam-diam mencintai Ruly yang digambarkannya sebagai lelaki santun dan
perhatian, lalu Harris yang playboy
ternyata menaruh rasa kepada Keara yang sebatas menganggapnya sebagai partner in crime buat gila-gilaan,
sementara Ruly yang dicintai Keara dengan sepenuh hati malah kesengsem dengan
teman mereka yang lain, Denise (Atikah Suhaime), yang sudah berumah tangga. Rumit,
bukan? Kerumitan “zona pertemanan” yang hadir ditengah-tengah persahabatan
mereka bertiga ini menjadi semakin runyam usai Keara dan Harris bertolak ke
Singapura untuk menyaksikan pertandingan Formula 1. Sebuah ‘kecelakaan’ yang
dipicu rasa kesal Keara terhadap ketidakpekaan Ruly menyebabkan hubungan Harris
dengan Keara merenggang yang seketika tidak hanya mengancam ikatan persahabatan
keduanya tetapi juga kemungkinan bagi Harris dan Keara untuk bersatu sebagai
pasangan.
(pendatang baru Carissa Perusset), Harris (Herjunot Ali), serta Ruly (Refal
Hady) di poros utama penceritaan. Mereka bertiga adalah bankir di BorderBank Jakarta
yang lantas menjalin tali persahabatan selepas merasakan pahit manisnya
menjalani penempatan di suatu daerah yang jauh dari ibukota bersama-sama. Saking
akrabnya manusia-manusia ini, Keara hampir selalu mengajak serta Harris untuk
melepas penat dan terkadang Ruly yang cenderung pendiam pun turut bergabung. Ditengok
secara sekilas lalu, ketiganya tak menunjukkan adanya rasa berbeda dibalik
topeng persahabatan yang mereka kenakan. Tapi jika kita bersedia untuk
mengamati lebih jauh, kita bisa mendeteksi bahwa mereka menyimpan kegundahan
yang sama lantaran tak sanggup mengutarakan satu rasa yang disebut cinta. Keara
diam-diam mencintai Ruly yang digambarkannya sebagai lelaki santun dan
perhatian, lalu Harris yang playboy
ternyata menaruh rasa kepada Keara yang sebatas menganggapnya sebagai partner in crime buat gila-gilaan,
sementara Ruly yang dicintai Keara dengan sepenuh hati malah kesengsem dengan
teman mereka yang lain, Denise (Atikah Suhaime), yang sudah berumah tangga. Rumit,
bukan? Kerumitan “zona pertemanan” yang hadir ditengah-tengah persahabatan
mereka bertiga ini menjadi semakin runyam usai Keara dan Harris bertolak ke
Singapura untuk menyaksikan pertandingan Formula 1. Sebuah ‘kecelakaan’ yang
dipicu rasa kesal Keara terhadap ketidakpekaan Ruly menyebabkan hubungan Harris
dengan Keara merenggang yang seketika tidak hanya mengancam ikatan persahabatan
keduanya tetapi juga kemungkinan bagi Harris dan Keara untuk bersatu sebagai
pasangan.

Selepas menonton Antologi Rasa beberapa hari lalu, saya
terpaku sejenak di kursi bioskop lantaran tidak mengetahui harus berkata apa
mengenai film yang baru saja disaksikan. Apakah semestinya berkomentar “rasanya tidak sabar ingin menunggu filmnya
usai”? Tentu terkesan kasar meski itulah yang saya rasakan selama tontonan
berlangsung. Atau melontarkan komentar “rasanya
ingin sekali memejamkan mata usai setengah jam berjalan”? Ini juga tak
kalah kasar meski (lagi-lagi) itulah yang saya rasakan. Bagaimana ya, yang
jelas Antologi Rasa mewujudkan kemungkinan
paling buruk yang sempat diri ini khawatirkan sebelum melangkahkan kaki ke
bioskop: membosankan. Alih-alih dibuat baper menyaksikan kisah cinta segirumit
yang terjalin diantara Keara-Harris-Ruly, saya justru tidak merasakan apa-apa. Rasanya,
benar-benar hambar. Tidak ada keterikatan emosi dengan para karakternya, tidak
ada pula kepedulian terhadap nasib mereka. Apakah hati ini telah mati karena
tidak sedikitpun tersentuh oleh gundah gulana mereka? Bisa jadi memang demikian.
Tapi bagaimana jika kesalahannya ternyata bukan terletak pada hati dingin saya
melainkan karena Rizal Mantovani (Kuntilanak, Eiffel… I’m in Love 2) selaku sutradara
mengalami kesulitan untuk mengejawantahkan novel gubahan Ika Natassa ke dalam
bahasa gambar? Bagaimana jika ini ternyata disebabkan oleh Ferry Lesmana dan
Donny Dhirgantoro yang tak sanggup memindahkan prosa ke dalam bentuk skenario? Dan
bagaimana jika ini ternyata karena jajaran pemainnya yang mengalami kebingungan
kala menginterpretasikan karakter yang mereka mainkan? Berhubung saya tidak
ingin menyalahkan diri sendiri, maka saya jelas menganggap faktor-faktor inilah
yang bertanggung jawab atas ketidakmampuan Antologi
Rasa dalam menghadirkan rasa yang seharusnya ada.
terpaku sejenak di kursi bioskop lantaran tidak mengetahui harus berkata apa
mengenai film yang baru saja disaksikan. Apakah semestinya berkomentar “rasanya tidak sabar ingin menunggu filmnya
usai”? Tentu terkesan kasar meski itulah yang saya rasakan selama tontonan
berlangsung. Atau melontarkan komentar “rasanya
ingin sekali memejamkan mata usai setengah jam berjalan”? Ini juga tak
kalah kasar meski (lagi-lagi) itulah yang saya rasakan. Bagaimana ya, yang
jelas Antologi Rasa mewujudkan kemungkinan
paling buruk yang sempat diri ini khawatirkan sebelum melangkahkan kaki ke
bioskop: membosankan. Alih-alih dibuat baper menyaksikan kisah cinta segirumit
yang terjalin diantara Keara-Harris-Ruly, saya justru tidak merasakan apa-apa. Rasanya,
benar-benar hambar. Tidak ada keterikatan emosi dengan para karakternya, tidak
ada pula kepedulian terhadap nasib mereka. Apakah hati ini telah mati karena
tidak sedikitpun tersentuh oleh gundah gulana mereka? Bisa jadi memang demikian.
Tapi bagaimana jika kesalahannya ternyata bukan terletak pada hati dingin saya
melainkan karena Rizal Mantovani (Kuntilanak, Eiffel… I’m in Love 2) selaku sutradara
mengalami kesulitan untuk mengejawantahkan novel gubahan Ika Natassa ke dalam
bahasa gambar? Bagaimana jika ini ternyata disebabkan oleh Ferry Lesmana dan
Donny Dhirgantoro yang tak sanggup memindahkan prosa ke dalam bentuk skenario? Dan
bagaimana jika ini ternyata karena jajaran pemainnya yang mengalami kebingungan
kala menginterpretasikan karakter yang mereka mainkan? Berhubung saya tidak
ingin menyalahkan diri sendiri, maka saya jelas menganggap faktor-faktor inilah
yang bertanggung jawab atas ketidakmampuan Antologi
Rasa dalam menghadirkan rasa yang seharusnya ada.
Sungguh, saya tidak sanggup
merasakan apapun saat menyaksikan Antologi
Rasa yang mengalun dengan begitu perlahan ini. Saya tidak mampu berempati
kepada Keara, Harris, maupun Ruly yang lebih sering terlihat canggung antara
satu dengan lain ketimbang terlihat akrab bak sobat karib maupun malu-malu tapi
mau seperti seseorang yang tengah kasmaran. Ya, percikan ‘unsur kimia’ Carissa
Perusset bersama Herjunot Ali dan Refal Hady (apalagi Atikah Suhaime yang akan
hilang begitu kamu berkedip, mak cling!) seringkali berada di mode off sehingga membuat saya urung percaya
bahwa mereka adalah sahabat karib. Atau jangan-jangan, mereka ini sebenarnya
terpaksa untuk menjalin tali pertemanan lantaran tidak ada pilihan lain? Biar terlihat
keren gitu? Kalau demikian, tentu lebih masuk akal karena saya terus
meraba-raba letak keguyuban trio bankir ini disamping berusaha keras untuk memahami
alasan Keara cinta mati kepada Ruly, atau alasan Harris kepincut Keara, maupun
alasan Ruly bisa terobsesi dengan Denise. Dalam versi novel, saya bisa menerima
penjabaran Ika Natassa yang cukup detil dalam menjelaskan kompleksitas hubungan
empat sekawan ini. Tapi dalam film, alasan-alasan tersebut diutarakan sekenanya
saja cenderung menyederhanakan – melalui beberapa baris dialog dan satu dua
montase – sehingga memicu reaksi, “hah
masa gitu doang?” yang bisa jadi turut dilontarkan oleh para awam yang
belum pernah membaca materi sumbernya. Saya masih bisa menerima alasan Keara,
tetapi untuk Harris dan Ruly? Well,
ini membingungkan dan mereka pun seringkali sebatas terlihat layaknya laki-laki sialan
yang hobi mencari-cari kesempatan ditengah duka seorang perempuan (khususnya Harris dalam adegan ‘pemerkosaan’). Kalau
ditelusuri lebih jauh, persoalan ini sebetulnya datang akibat sosok Denise
ditampilkan kelewat sedikit, interaksi antara Ruly dengan karakter lain
khususnya Keara yang terbatas, dan Keara mempunyai perangai berbeda dari
deskripsi.
merasakan apapun saat menyaksikan Antologi
Rasa yang mengalun dengan begitu perlahan ini. Saya tidak mampu berempati
kepada Keara, Harris, maupun Ruly yang lebih sering terlihat canggung antara
satu dengan lain ketimbang terlihat akrab bak sobat karib maupun malu-malu tapi
mau seperti seseorang yang tengah kasmaran. Ya, percikan ‘unsur kimia’ Carissa
Perusset bersama Herjunot Ali dan Refal Hady (apalagi Atikah Suhaime yang akan
hilang begitu kamu berkedip, mak cling!) seringkali berada di mode off sehingga membuat saya urung percaya
bahwa mereka adalah sahabat karib. Atau jangan-jangan, mereka ini sebenarnya
terpaksa untuk menjalin tali pertemanan lantaran tidak ada pilihan lain? Biar terlihat
keren gitu? Kalau demikian, tentu lebih masuk akal karena saya terus
meraba-raba letak keguyuban trio bankir ini disamping berusaha keras untuk memahami
alasan Keara cinta mati kepada Ruly, atau alasan Harris kepincut Keara, maupun
alasan Ruly bisa terobsesi dengan Denise. Dalam versi novel, saya bisa menerima
penjabaran Ika Natassa yang cukup detil dalam menjelaskan kompleksitas hubungan
empat sekawan ini. Tapi dalam film, alasan-alasan tersebut diutarakan sekenanya
saja cenderung menyederhanakan – melalui beberapa baris dialog dan satu dua
montase – sehingga memicu reaksi, “hah
masa gitu doang?” yang bisa jadi turut dilontarkan oleh para awam yang
belum pernah membaca materi sumbernya. Saya masih bisa menerima alasan Keara,
tetapi untuk Harris dan Ruly? Well,
ini membingungkan dan mereka pun seringkali sebatas terlihat layaknya laki-laki sialan
yang hobi mencari-cari kesempatan ditengah duka seorang perempuan (khususnya Harris dalam adegan ‘pemerkosaan’). Kalau
ditelusuri lebih jauh, persoalan ini sebetulnya datang akibat sosok Denise
ditampilkan kelewat sedikit, interaksi antara Ruly dengan karakter lain
khususnya Keara yang terbatas, dan Keara mempunyai perangai berbeda dari
deskripsi.

Oleh Ruly, dia disebut “tidak terduga” dan oleh Harris, dia
disebut “fun serta berbeda”. Dalam kenyataan,
Keara lebih terlihat seperti perempuan dingin nan angkuh yang lebih suka
membicarakan hal-hal krusial berkaitan dengan pekerjaan ketimbang seseorang
yang menaruh minat pada fotografi (yang tak juga dijelaskan!) serta kerap meluangkan
waktu untuk dugem. Carissa Perusset sebetulnya mempunyai potensi sebagai aktris
bagus yang dibuktikan melalui adegan perpisahan di bandara, tapi pengarahan
beserta naskah membuat dia seringkali tampak kebingungan untuk menampilkan
sosok Keara. Apakah dia semestinya kalem di luar tapi liar di dalam, atau
semestinya liar di luar tapi kalem di dalam, atau bagaimana? Karena dia tidak
terlihat sedikitpun memenuhi syarat atas deskripsi yang diucapkan oleh karakter
lain. Keputusan untuk memangkas porsi tampil Dinda (Angel Pieters), teman
curhat Keara, dan kebersamaan Ruly dengan Keara tentu memiliki andil atas gagal
terjelaskannya satu pertanyaan penting: siapa sebenarnya Keara? Antologi Rasa berusaha terlalu keras
untuk semirip mungkin demi versi novelnya – termasuk mengaplikasikan voice over untuk bernarasi yang tak efektif dan linimasa
yang terkadang acak mengikuti ingatan karakter – sampai melupakan fakta bahwa
keduanya berada di medium berbeda. Tak semuanya bisa dikreasi sama persis,
terkadang butuh pula penyesuaian. Rizal Mantovani beserta tim pun seolah lupa
bahwa Antologi Rasa tidak hanya akan
ditonton oleh para penggemar berat materi sumbernya tetapi juga oleh penonton
yang belum pernah mengenal versi novelnya. Memang betul bahwa alurnya masih
bisa dipahami oleh siapapun – dan mungkin masih relate pula bagi para pejuang friendzone
– hanya saja film ini tidak mampu menangkap poin-poin yang sanggup membuat novelnya
amat digandrungi khususnya mengenai kompleksitas karakter dan dinamika hubungan
mereka.
disebut “fun serta berbeda”. Dalam kenyataan,
Keara lebih terlihat seperti perempuan dingin nan angkuh yang lebih suka
membicarakan hal-hal krusial berkaitan dengan pekerjaan ketimbang seseorang
yang menaruh minat pada fotografi (yang tak juga dijelaskan!) serta kerap meluangkan
waktu untuk dugem. Carissa Perusset sebetulnya mempunyai potensi sebagai aktris
bagus yang dibuktikan melalui adegan perpisahan di bandara, tapi pengarahan
beserta naskah membuat dia seringkali tampak kebingungan untuk menampilkan
sosok Keara. Apakah dia semestinya kalem di luar tapi liar di dalam, atau
semestinya liar di luar tapi kalem di dalam, atau bagaimana? Karena dia tidak
terlihat sedikitpun memenuhi syarat atas deskripsi yang diucapkan oleh karakter
lain. Keputusan untuk memangkas porsi tampil Dinda (Angel Pieters), teman
curhat Keara, dan kebersamaan Ruly dengan Keara tentu memiliki andil atas gagal
terjelaskannya satu pertanyaan penting: siapa sebenarnya Keara? Antologi Rasa berusaha terlalu keras
untuk semirip mungkin demi versi novelnya – termasuk mengaplikasikan voice over untuk bernarasi yang tak efektif dan linimasa
yang terkadang acak mengikuti ingatan karakter – sampai melupakan fakta bahwa
keduanya berada di medium berbeda. Tak semuanya bisa dikreasi sama persis,
terkadang butuh pula penyesuaian. Rizal Mantovani beserta tim pun seolah lupa
bahwa Antologi Rasa tidak hanya akan
ditonton oleh para penggemar berat materi sumbernya tetapi juga oleh penonton
yang belum pernah mengenal versi novelnya. Memang betul bahwa alurnya masih
bisa dipahami oleh siapapun – dan mungkin masih relate pula bagi para pejuang friendzone
– hanya saja film ini tidak mampu menangkap poin-poin yang sanggup membuat novelnya
amat digandrungi khususnya mengenai kompleksitas karakter dan dinamika hubungan
mereka.
Alhasil, Antologi Rasa pun menjelma tak ubahnya film percintaan generik yang
hanya mengandalkan tampang rupawan pemain beserta lokasi-lokasi mahal sebagai
jualannya. Adanya barisan lagu pengiring yang mengganggu (duh, penempatannya seringkali
dipaksakan sekali!), performa pemain yang lempeng-lempeng saja termasuk
Herjunot Ali yang ketengilannya kelewat ngoyo sampai berada di ambang
berlebihan, serta tangkapan gambar yang tidak sedikitpun membangkitkan hasrat
untuk memesan tiket pesawat ke Singapura atau Bali terlebih beberapa diantaranya hadir dalam resolusi rendah, jelas hanya memperburuk
keadaan. Andai saja Antologi Rasa memperoleh
penanganan yang tepat, bukan tidak mungkin hasilnya akan ciamik mengingat
materi asalnya yang apik. Kalau sudah begini, saya pun hanya bisa berkata, “sungguh sangat disayangkan”.
hanya mengandalkan tampang rupawan pemain beserta lokasi-lokasi mahal sebagai
jualannya. Adanya barisan lagu pengiring yang mengganggu (duh, penempatannya seringkali
dipaksakan sekali!), performa pemain yang lempeng-lempeng saja termasuk
Herjunot Ali yang ketengilannya kelewat ngoyo sampai berada di ambang
berlebihan, serta tangkapan gambar yang tidak sedikitpun membangkitkan hasrat
untuk memesan tiket pesawat ke Singapura atau Bali terlebih beberapa diantaranya hadir dalam resolusi rendah, jelas hanya memperburuk
keadaan. Andai saja Antologi Rasa memperoleh
penanganan yang tepat, bukan tidak mungkin hasilnya akan ciamik mengingat
materi asalnya yang apik. Kalau sudah begini, saya pun hanya bisa berkata, “sungguh sangat disayangkan”.
Poor (2/5)


, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.