2019

REVIEW : BUMI MANUSIA


“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan.”


(Ulasan ini mungkin mengandung spoiler bagi penonton yang tidak membaca novelnya)


Mengekranisasi sebuah novel jelas
bukan perkara mudah, lebih-lebih jika novel bersangkutan sudah mempunyai basis
penggemar yang loyal. Si pembuat film mesti legowo menghadapi serbuan komentar
dari jutaan kepala yang masing-masing telah memiliki imajinasi tersendiri
terkait penggambaran latar, situasi, maupun karakter kesayangan mereka. Ada
yang bersuka cita karena novel kesayangannya diwujudkan menjadi gambar hidup,
ada yang menyimpan keraguan tapi masih bersedia memberi kesempatan, dan ada
juga yang secara terang-terangan menunjukkan keberatannya sedari awal. Tiga
jenis penggemar yang sejatinya bisa dijumpai dari novel jenis apapun, tak
terkecuali sastra Indonesia bertajuk Bumi
Manusia
yang merupakan babak awal dari Tetralogi
Pulau Buru
rekaan Pramoedya Ananta Toer. Sedari mula proyek pembuatan film
adaptasinya dicanangkan, pro dan kontra tak henti-hentinya mengiringi
pemberitaan. Dari tadinya dipinang oleh Oliver Stone tapi belakangan diemohi
sang pengarang karena ingin film digarap oleh anak bangsa, lalu berpindah ke
sutradara kontroversial Anggy Umbara, sampai akhirnya mendarat di pangkuan
Hanung Bramantyo (Sang Pencerah, Kartini) yang mempunyai jejak rekam baik
dalam mengkreasi film berlatar sejarah. Saat film secara resmi ditangani oleh
Hanung dibawah naungan Falcon Pictures, setidaknya ada dua poin keberatan yang
paling sering disorot oleh penggemar: 1) upaya sang sutradara untuk
menitikberatkan pada elemen percintaan, dan 2) penunjukkan Iqbaal Ramadhan,
pelakon utama dalam Dilan 1990
(2018), sebagai pemeran Minke si karakter sentral.

Padahal, tidak ada salahnya jika
kemudian Hanung memilih untuk mengambil pendekatan dari kisah kasih antara Minke
dengan Annelies Mellema (Mawar De Jongh) karena Bumi Manusia sejatinya merupakan hikayat percintaan. Pram memanfaatkan
bahasa cinta yang universal untuk menghantarkan pesan mengenai isu-isu yang
lebih kompleks terkait penindasan, perbudakan, stratifikasi sosial,
kolonialisme, prasangka, sampai kemanusiaan di era pendudukan Belanda pada
penghujung abad ke-19. Mengikuti kebutuhannya sebagai sebuah tontonan layar
lebar, perspektif yang didayagunakan oleh Hanung memungkinkan bagi film untuk merangkul
penonton awam yang belum pernah membaca materi sumbernya. Toh, versi layar
lebar dari Bumi Manusia tidak pernah
benar-benar melenceng dari topik pembicaraan yang diajukan oleh sang pengarang.
Kisah cinta antara Minke dengan Annelies hanyalah sepenggal cerita yang
berfungsi untuk memandu penonton dalam memahami kisah-kisah lain dalam “bumi
manusia” yang tersusun atas: 1) kisah Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) yang
pembawaannya membuat Minke tercengang lantaran berbeda dengan nyai atau gundik
lain yang selama ini diketahuinya, 2) kisah keluarga Mellema yang carut marut
akibat kebiasaan si kepala rumah tangga untuk mabuk-mabukan sementara si anak
sulung, Robert (Giorgino Abraham) tidak juga bisa diharapkan, 3) kisah keluarga
Minke yang notabene merupakan ningrat Jawa, 4) kisah teman-teman Minke di
sekolah HBS (Hogere Burgerschool) yang mempunyai pandangan terpecah mengenai Hindia
Belanda, serta 5) kisah Minke sendiri sebagai seorang pribumi ditengah-tengah
kedigdayaan masyarakat berdarah Belanda.



Mengedepankan narasi sepadat itu
yang merupakan hasil interpretasi atas novel setebal 500 halaman lebih, tidak
mengherankan jika Bumi Manusia membutuhkan
durasi penceritaan sepanjang tiga jam. Sebuah durasi yang belum apa-apa sudah
bikin gentar sebagian penonton karena, “hey,
apa bisa saya tetap melek dan bertahan di kursi bioskop? 3 jam itu lama lho!.”

Saya juga mulanya dihadapkan pada keraguan karena membutuhkan seseorang
bergelar master of storytelling agar
membuat durasi sepanjang itu terasa hanya sekejap saja. Hanung yang belakangan
ini cenderung fluktuatif dalam bercerita (well,
kerjasamanya bersama Falcon dalam bentuk Benyamin
Biang Kerok
dan Jomblo tidak
berakhir bahagia), nyatanya sanggup menyampaikan kisah secara lancar tanpa
terbata-bata. Dibawah penanganannya, Bumi
Manusia
tersaji sebagai tontonan epik yang menambat atensi sekaligus
mempermainkan emosi sehingga durasi panjang bukan jadi soal. Sedari menit
pembuka, film telah mencuri perhatian penonton melalui pertemanan Minke dengan
Suurhof (Jerome Kurnia) yang separuh Belanda. Dari sosok Suurhof lah, Minke
bisa berkenalan dengan Annelies yang kemudian menambat hatinya. Saat si
karakter utama menginjakkan kaki di rumah keluarga Mellema, garis konflik
secara perlahan tapi pasti bergerak dinamis. Satu demi satu konflik bermunculan
yang dimulai dari keengganan Robert untuk menghargai Minke lantaran ada
perbedaan kasta sosial diantara mereka. Dari sini, film yang berpatokan pada
naskah apik bentukan Salman Aristo memunculkan ketertarikan pada penonton
dengan tanya: akankah Robert mengambil tindakan lebih jauh untuk menyingkirkan
Minke yang dipandangnya sebagai pribumi rendahan? Lalu, bagaimana relasi antara
Minke dengan Annelies akan berkembang terlebih mereka berasal dari dunia yang
berbeda? Selepas jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini diurai, konflik lantas
mengalami eskalasi yang membawa situasi menjadi semakin rumit sekaligus
mencengkram yang menghadapkan karakter-karakter utama dengan hukum Belanda yang
enggan menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat asli Indonesia.


Saya pribadi menyukai pilihan si
pembuat film dalam menghadirkan tata musik bernuansa klasik yang acapkali
memberi kesan megah serta keputusan menggunakan beragam bahasa yang terdiri
dari Belanda, Jawa, Madura, sampai Cina demi menebalkan kesan otentik. Meski
pemakaian efek khusus yang terkadang masih tampak kasar dan beberapa properti
(khususnya rumah keluarga Mellema) yang kelewat kinclong seperti baru dibuat
sempat pula membuat saya geli, untungnya Hanung berhasil mengompensasinya
dengan keahlian utamanya: mengarahkan pemain. Ya, selain elemen teknis yang
berada di kelas wahid dan cara bertutur sang sutradara yang nyaman untuk
diikuti, Bumi Manusia memperlihatkan
keunggulannya di sektor akting dimana pemain ansambelnya benar-benar berlakon
secara solid. Penunjukkan Iqbaal Ramadhan sebagai Minke yang menuai kontroversi
nyatanya mampu ditepis dengan mudah oleh sang aktor yang sekali lagi
membuktikan bahwa dia merupakan aset berharga bagi perfilman Indonesia. Memang
sih Iqbaal ada kalanya tampak canggung dan tidak sepenuhnya meletup dalam
menangani momen-momen dramatik, tapi pengalaman melakoni Dilan memungkinkannya
untuk menguarkan karisma lelaki idaman serta mudah menjalani adegan cumbu rayu
bersama lawan main. Ndilalah, Iqbaal
turut mendapat umpan balik memadai dari barisan pemain lain yang menunjukkan
performa luar biasa mengagumkan.



Sembah sujud untuk Sha Ine
Febriyanti yang seperti dilahirkan untuk melakonkan Nyai Ontosoroh. Seorang
gundik (perempuan simpanan pria Belanda) yang membuat Minke terperangah karena
pengetahuannya yang luas, cara berperilakunya yang berwibawa, serta
kecakapannya dalam mengelola bisnis keluarga Mellema. Ine mempunyai semacam
daya tarik kuat yang memungkinkan setiap kemunculannya senantiasa memiliki energi
yang membuat perhatian kita tertuju kepadanya. Entah saat dia terlihat seperti
perempuan tangguh yang tidak tergoyahkan oleh apapun, maupun saat dia
bertransformasi menjadi perempuan tak berdaya yang terinjak-injak oleh sistem.
Disamping Ine dan Iqbaal, deretan pemain yang sepatutnya memperoleh apresiasi
antara lain Ayu Laksmi sebagai ibu Minke yang memancarkan aura seorang ibu
penuh kasih sayang, Donny Damara yang tampil garang dengan warna suara berbeda,
Jerome Kurnia sebagai seorang pengkhianat yang mengesalkan, Giorgino Abraham
yang memantik kebencian penonton kepada putra sulung keluarga Mellema, Siti
Fauziyah sebagai Iyem yang fungsinya sebagai comic relief berhasil memancing gelak tawa, serta Whani Dharmawan
sebagai Darsam yang sangar. Lalu bagaimana dengan Mawar De Jongh selaku pemeran
Annelies? Well, sepertinya Hanung
akan kembali menyandang status sebagai starmaker
setelah ini. Usai beberapa peran kurang mengesankan, Mawar akhirnya tampil
bersinar di sini. Sosok Annelies yang menyerupai damsel in distress dihidupkan secara cemerlang yang membuat kita iba
pada kerapuhannya sekaligus kesal pada sikap manjanya. Tapi kejutan terbesar
yang diberikannya berada di adegan pamungkas dimana karakternya justru
diperlihatkan pergi dengan kepala tegak dan sebersit senyuman guna mengenyahkan
duka dari orang-orang yang kehilangannya. Dia memenuhi definisi seorang dewi
yang membuat saya bisa memahami mengapa banyak orang menangisi kepergiannya. She’s so damn good!


Outstanding (4/5)




, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top