2019

REVIEW : GUNDALA (2019)


“Kalau kamu diam saja melihat ketidakadilan, itu artinya kamu sudah
kehilangan rasa kemanusiaan.”


Ada banyak gegap gempita
mengiringi perilisan Gundala. Entah itu
disebabkan oleh faktor sutradara maupun semesta penceritaan ambisius yang
melingkunginya. Pada mulanya, ketertarikan saya terhadap film yang didasarkan
pada komik rekaan Hasmi ini semata-mata disebabkan oleh keterlibatan Joko Anwar
(Pintu Terlarang, Pengabdi Setan) di kursi penyutradaraan.
Saya dibuat bertanya-tanya, bagaimana jadinya saat sutradara spesialis horor
mengkreasi tontonan superhero? Terlebih lagi, genre ini terhitung masih langka
dijumpai di perfilman tanah air. Pada dasarnya, saya sudah memiliki alasan
lebih dari cukup untuk menantikan film ini. Jajaran pemain yang dilibatkan –
hey, ada Abimana Aryasatya lho! – juga amat menarik perhatian. Jika ada yang
kemudian membuat diri ini benar-benar tak kuasa menahan rasa penasaran dan
ekspektasi yang membumbung tinggi adalah upaya Screenplay Films beserta
Bumilangit Studios untuk mengikuti jejak Marvel Cinematic Universe. Dalam artian,
mereka membentuk satu semesta penceritaan bernama Jagat Sinema Bumilangit yang
tersusun atas delapan judul film berdasar komik kepahlawanan lokal keluaran
Bumilangit. Gundala yang memperoleh
suntikan dana cukup besar dipersiapkan sebagai film pertama sekaligus gerbang
pembuka bagi tatanan pengisahan lebih luas dalam dunia superhero tanah air. Sebuah
proyek yang mesti diakui sangat berani, unik, serta ambisius sehingga sulit
untuk tidak menaruh perhatian kepadanya.

Mengingat ini adalah film pertama
dari Gundala – tidak ada
keterkaitannya dengan rilisan tahun 1981 – serta sajian pembuka dalam Jagat
Sinema Bumilangit, maka sudah barang tentu si pembuat film memperlakukannya
sebagai origin story. Di sini,
penonton akan mendapati kisah awal mula si protagonis, Sancaka (Abimana
Aryasatya), bertransformasi dari seorang satpam menjadi pahlawan yang
dibutuhkan masyarakat Indonesia. Perjalanan hidup Sancaka sendiri terbilang
berat karena dia kehilangan kedua orang tuanya semasa masih menduduki bangku SD
(diperankan oleh Muzakki Ramdhan). Sang ayah (Rio Dewanto) yang gigih dalam
memperjuangkan hak-hak buruh ditemukan tewas dibunuh oleh pengkhianat,
sementara sang ibu (Marissa Anita) tak pernah lagi pulang selepas memutuskan
untuk merantau ke Tenggara demi memperoleh pekerjaan. Alhasil, Sancaka kecil
pun terlunta-lunta. Guna menyambung hidup, dia memutuskan untuk mencari
peruntungan di jalanan yang kerap membawanya terlibat masalah dengan para
begundal-begundal serta mempertemukannya dengan Awang (Fariz Fajar) yang
mengajarinya bela diri. Berkat gemblengan Awang, Sancaka tumbuh sebagai pribadi
yang lebih tangguh serta enggan lagi mencampuri urusan orang lain demi keamanan
diri. Sebuah prinsip yang terus digenggamnya sampai tumbuh dewasa. Sancaka yang
memilih untuk tidak peduli pada kondisi sekitar ini seketika diuji tatkala
tetangganya di rusunawa, Wulan (Tara Basro), meminta bantuannya untuk menghalau
sekumpulan preman dalam mengobrak-abrik pasar setempat. Karakter jagoan kita
ini pun lantas dihadapkan pada pilihan dilematis antara bertahan pada
prinsipnya atau menggadaikannya demi kemanusiaan.



Seperti telah ditonjolkan melalui
materi promosinya, Gundala memilih
nada penceritaan yang cenderung mendekati sederet judul dalam semesta film
binaan DC Entertainment ketimbang Marvel Studios. Suram, depresif, serta kompleks
adalah jalan ninjanya. Sebuah pendekatan yang memungkinkan bagi sang sutradara
untuk mempertahankan ciri khasnya. Ya, meski bertengger di genre superhero, nada
pengisahan Gundala akan membuatmu
sedikit banyak teringat pada gelaran horor khususnya di paruh awal yang
menyoroti masa kecil Sancaka. Kita melihatnya terkapar sendirian di rumah
dengan penerangan minimalis, hujan deras acapkali mengguyur disertai suara
gemuruh, sampai dia mengalami penyiksaan oleh bocah-bocah gelandangan yang
menyayat telinganya setelah Sancaka memutuskan untuk mengadu nasib di jalan. Ini
masih belum ditambah penggambaran suasana Jakarta di sekitar sang jagoan yang
dipenuhi dengan kekacauan, sungguh bikin sepaneng.
Selama kurang lebih 30 menit, Joko memilih untuk meletakkan fokus narasinya
pada kenelangsaan Sancaka yang menempanya menjadi pribadi tangguh. Dia tidak
tahan melihat ketidakadilan yang mengoyak rasa kemanusiaannya sehingga dia tak
jarang terlibat dalam situasi tak semestinya. Diperagakan dengan sangat baik
oleh Muzakki Ramdhan yang mempunyai kapasitas mumpuni dalam olah emosi,
penonton pun terikat lalu bersimpati pada karakter Sancaka. Kita ingin
melihatnya memperoleh kehidupan lebih baik, kita ingin melihatnya
bertransformasi menjadi jagoan bernama Gundala, dan kita ingin melihat sepak
terjangnya dalam membasmi kemungkaran di bumi pertiwi. Hingga pertengahan
durasi, Joko setidaknya telah menjalankan tugas dengan semestinya dalam
mengenalkan asal muasal dari sosok dibalik karakter tituler.


Akan tetapi, selepas paruh awal
yang menggigit, Gundala secara
perlahan tapi pasti mulai terasa goyah. Penyebab utamanya adalah keinginan Joko
untuk membahas banyak hal sementara durasi tidak memadai. Disamping melontarkan
kritik terhadap dunia politik masa kini yang salah satunya menyoroti soal wakil
rakyat yang justru lebih akrab dengan mafia ketimbang menyalurkan aspirasi
rakyat, film turut mengedepankan plot mengenai transformasi Sancaka dewasa
menjadi Gundala, Wulan yang dirundung teror dari sekelompok preman, kemunculan villain bernama Pengkor (Bront Palarae)
yang mengendalikan para politikus korup, tersebarnya “serum amoral” yang menciptakan
huru hara di berbagai penjuru Indonesia, sampai salah satu rekan Pengkor, Ghazul
(Ario Bayu), yang rupanya menyimpan agenda tersendiri. Terasa penuh sesak,
bukan? Dan memang itulah yang terjadi. Plot yang bercabang-cabang ini
menyulitkan penonton untuk melihat perkembangan Sancaka sebagai seorang jagoan
secara utuh. Saya masih kebingungan perihal cara kerja kekuatannya, apa saja
yang sanggup dilakukannya, dan bagaimana kekuatan ini mempengaruhi tubuhnya.
Secara ujug-ujug, dia sudah sangat mahir mengendalikan petir yang muncul dari
tangannya. Bagaimana bisa? Maksud saya, dia nyaris tak tampak canggung dengan
anugerah ini. Saya paham sih Joko ingin berbicara banyak hal demi memantik
kepenasaran penonton mengenai apa yang selanjutnya menanti di Jagat Sinema
Bumilangit. Hanya saja, sesaknya narasi ini malah mengurangi intensitas yang
sejatinya telah dipupuk dengan baik di menit-menit pembuka. Ada koneksi yang
terputus dengan karakter Sancaka yang telah susah payah diperagakan secara apik
oleh Abimana Aryasatya, sedangkan Pengkor yang tampak intimidatif di awal
kemunculannya malah terbayangi oleh Ghazul.



Saya benar-benar seperti orang
tersesat saat Gundala berada di paruh
akhir karena informasi terus bergulir secara silih berganti tanpa ada
pendalaman. Satu yang paling sayangkan, anak-anak buah Pengkor. Mereka
ditampilkan sebagai mesin pembunuh penuh gaya dimana masing-masing memiliki
identitas berbeda, tapi begitu diterjunkan ke medan pertempuran, mereka
ternyata bukanlah tanding sepadan bagi jagoan kita. Langsung keok dalam sekali
hantam, menyia-nyiakan tampilan beserta jajaran pemain yang melakoninya. Koreografi
laga yang melibatkan mereka di momen klimaks pun jauh dari kata greget serta
kurang bergairah, padahal Gundala
memiliki beberapa kesempatan baku hantam yang cihuy di separuh awal. Gemas,
kan? Begitulah yang saya rasakan ketika menyaksikan film yang laju penceritaan
di separuh akhirnya mendadak ngebut seolah-olah ingin cepat rampung ini.  Saya betul-betul terkejut saat mendapati Gundala ternyata lebih bermasalah di
sektor narasi daripada CGI yang sekali ini mesti diakui cukup mulus. Kenapa film
tidak bertutur secara sederhana mengenai Sancaka dan Wulan saja? Mengapa harus membuat
skala pengisahan yang sedemikian luas di jilid pertama dimana karakter utamanya
sendiri belum terbangun dengan baik? Jika saja film tidak menumpuk banyak
persoalan, bukan tidak mungkin hasilnya akan lebih ciamik. Karena jujur,
sekalipun ada kekecewaan menggelayuti diri, Gundala
masih berhasil membangkitkan semangat saya untuk menantikan film-film lain
di Jagat Sinema Bumilangit yang semoga saja memperoleh penanganan lebih baik.


Note : Jangan buru-buru keluar, ada adegan tambahan menanti.


Acceptable (3/5)



  


, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top