2019

REVIEW : MALEFICENT: MISTRESS OF EVIL

“This is no fairy tale.”


Pada tahun 2014 silam, Disney
mencoba untuk sedikit bereksperimen terhadap produk layar lebar mereka. Alih-alih
menggunakan kacamata si karakter tituler untuk interpretasi anyar terhadap
dongeng klasik Sleeping Beauty,
mereka justru menempatkan si karakter villain
di poros utama pengisahan. Penonton disodori premis menggiurkan berbunyi, “apa yang sebenarnya membuat Maleficent
begitu kejam sampai tega melukai seorang manusia berhati lembut seperti Aurora?,”

yang tentu saja sulit untuk ditolak. Menempatkan Angelina Jolie sebagai si tokoh
jahat yang memiliki ciri khas fisik berupa tulang pipi tajam, tanduk, serta
sayap, khalayak ramai pun menyambutnya secara antusias sekalipun film
memperoleh respon beragam dari kritikus. Satu paling disorot, penggunaan CGI
terlampau berlebihan sampai-sampai narasinya terpinggirkan. Padahal,
dekonstruksi atas dongeng ini dimana Maleficent dideskripsikan sebagai “makhluk
baik yang tersakiti” sejatinya punya kesempatan untuk menciptakan gelaran
mengharu biru. Cukup disayangkan, memang. Mencoba memperbaiki kesalahan
tersebut – atau lebih tepatnya, ingin mendulang dollar lebih besar lagi – maka pihak
studio pun berinisiatif untuk mengkreasi cerita kelanjutan bagi Maleficent dengan menggunakan subjudul Mistress of Evil. Sebuah trik jualan
yang lagi-lagi mesti diakui jitu lantaran subjudul ini akan mengundang ketertarikan
bagi sebagian penggemar. Ada satu tanya yang lantas muncul: apakah benar karakter
jahat yang telah bertaubat di film sebelumnya, akhirnya memilih untuk kembali bertindak
zalim ketimbang bertahan di jalan kebaikan?

Sama sekali bukan spoiler jika kemudian saya berujar, “tidak. Si karakter tituler tetaplah baik.”
Berbagai materi promosi yang ditebar oleh rumah produksi telah mengindikasikan
bahwa Kak Mal lagi-lagi disalahpahami dan bukan betulan jahat. Dalam Mistress of Evil yang latar
penceritaannya berselang lima tahun selepas film pertama, pemicu persoalannya
adalah agenda pernikahan dari Putri Aurora (Elle Fanning) dan Pangeran Phillip
(Harris Dickinson). Dua insan ini memang bisa dibilang sejajar secara kasta. Hanya
saja, Phillip berasal dari sebuah wilayah bernama Ulstead yang masyarakatnya dikenal
sangat membenci ibu angkat dari calon mempelai perempuan, Maleficent. Tak heran
jika kemudian Maleficent mengajukan keberatannya begitu mendengar sang putri
akan menikahi seseorang dari Ulstead. Dalam benaknya berkecamuk, bagaimana mungkin
dia bisa memberikan kepercayaan terhadap orang-orang yang menganggapnya sebagai
makhluk jahat? Meski sulit baginya untuk memberikan restu, toh karakter utama
ini bersedia memenuhi undangan makan malam dari orang tua Phillip di istana
demi membahagiakan Aurora. Bahkan dia mempersiapkan diri sebaik mungkin agar
tak menyinggung perasaan para calon besan. Hasilnya, acara makan malam pun
berlangsung dengan baik… atau setidaknya begitu pada mulanya. Namun setelah
Ratu Ingrith (Michelle Pfeiffer) melontarkan pertanyaan beserta pernyataan
bernada sarkasme kepada Maleficent, ketegangan pun tercipta diantara mereka. Segalanya
lantas lepas kendali saat sang raja mendadak pingsan dan semua orang di ruangan
menganggap Maleficent telah meluncurkan sebuah kutukan, termasuk Aurora.




Seperti halnya sang pendahulu, jika
ada satu hal yang bisa diharapkan dari Mistress
of Evil
, maka itu adalah tampilan
visualnya yang membuai mata. Dari menit pembuka yang memberi kita pemandangan
berupa hamparan area Moors yang berwarna-warni dan dihuni oleh bangsa peri, lalu
Ulstead yang menggambarkan suatu daerah kerajaan di abad pertengahan, penonton
telah dikondisikan untuk terperangah. Kalau ini belum cukup untukmu, nantikan
saja kunjungan Maleficent ke wilayah yang didiami makhluk-makhluk sebangsanya,
Dark Fey, dimana kita akan melihat satu bidikan gambar menakjubkan yang
melibatkan sangkar burung. Angelina Jolie tampak begitu memesona di sini
(serius, dia terlihat bagaikan dewi!), begitu pula dengan komposisi gambarnya. Andaikata
lokasi ini nyata adanya, bersiaplah untuk melihatnya bertebaran di akun-akun
Instagram dengan bubuhan tagar AkuAdalahMaleficent. Tapi sayangnya, lokasi
tersebut tersembunyi di dalam Studio Pinewood, Inggris, dan sayangnya pula,
keindahan visual di jilid kedua ini lagi-lagi dimanfaatkan untuk menutupi narasinya
yang kurang cihuy. Ditangani oleh sutradara berbeda sekali ini, Joachim Ronning
(Kon-Tiki, Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales), tak terdeteksi
adanya perubahan secara signifikan kecuali pada nada pengisahan yang menjadi
lebih ceria ketimbang muram dengan nuansa gothic.
Selaiknya sang predesesor, Mistress of
Evil
pun tak cukup piawai dalam menjerat atensi sekaligus memainkan emosi
penonton melalui guliran penceritannya di sepanjang durasi. Keluhan terbesar
yang bisa diutarakan darinya adalah film mempunyai plot kelewat sesak sehingga
menyebabkan setiap konflik yang diajukan tidak pernah bisa berkembang secara maksimal. 
    

Disamping kisah kasih
Aurora-Phillip, film juga menyoroti soal rencana jahat Ratu Ingrith dan
keberadaan Dark Fey yang baru terdeteksi oleh karakter antihero kita. Ketika film
memulai pembicaraannya dengan “pertemuan dua besan dengan sudut pandang berbeda
jauh”, saya mengira film akan menyoroti dinamika hubungan dua keluarga jelang
hari pernikahan yang sejatinya akan menarik apabila digali lebih mendalam. Tapi
pihak pembuat film menginginkan narasi dengan cakupan skala yang bombastis
sehingga mereka pun menciptakan cabang-cabang pengisahan demi memberi alasan
agar film bisa diakhiri dengan pertempuran akbar. Sebetulnya, tidak semua
cabang pengisahan ini terasa dipaksakan kemunculannya, misalnya perihal Dark
Fey yang memberi kesempatan bagi film untuk mengekspansi world building. Hanya saja, karakter-karakter di sektor ini seperti
Conall (Chiwetel Ejiofor) dan Borra (Ed Skrein) hanyalah karakter satu dimensi
dengan satu tujuan, perdamaian atau peperangan, karena film tidak mempunyai
banyak waktu untuk mengelaborasinya. Sementara saat film berkutat pada narasi
dua sejoli maupun Ratu Ingrith, keadaannya malah lebih buruk. Michelle Pfeiffer
memang bermain bagus sebagai Ratu Ingrith, tapi penggambaran karakternya yang
kelewat berlebihan – termasuk motivasinya yang mengada-ada – justru membuat
sosoknya kehilangan sisi intimidatifnya dan berpengaruh pula pada kandungan
emosi film. Jika Maleficent diperlihatkan memiliki sisi baik dibalik tampilan kejamnya,
mengapa ini tidak diberlakukan juga untuk karakter Ingrith? Emosi yang
dihantarkan oleh film bisa jadi akan lebih maksimal apabila Ingrith masih
dimunculkan sisi manusiawinya ketimbang sebatas jahat tanpa ampun. Terlebih,
dia adalah ibu kandung dari Phillip.




Ya, saya kecewa dengan pilihan si
pembuat film untuk mengantagonisasi seorang ibu kandung hanya demi memperkuat
sosok Maleficent yang dikisahkan sangat peduli pada Aurora sekalipun dia
bukanlah ibu yang melahirkannya. Menjadikannya kejam dengan alasan melindungi
keluarga dan kerajaan, masih bisa dipahami. Tapi merencanakan pembantaian
habis-habisan suatu kaum sampai mengabaikan kebahagiaan keluarganya sendiri? Mohon
maaf, ini sudah kelewat batas. Dan setahu saya, Mistress of Evil masih produk Disney untuk seluruh anggota keluarga
yang semestinya tidak perlu bertindak sejauh itu hanya untuk menciptakan
spektakel di babak ketiga. Yang kemudian menjadi korban dari narasi yang
kelewat terobsesi pada upaya untuk relevan dengan memperbincangkan soal
genosida maupun hasrat berperang adalah karakter Aurora-Phillip. Terasa manis
dalam adegan Phillip melamar Aurora, sayangnya kedua karakter ini tidak punya
kontribusi besar pada pergerakan kisah. Mereka tiba-tiba… tak berdaya. Phillip terlihat
kebingungan hendak bertindak apa, sedangkan Aurora adalah definisi dari bucin
sejati. Ditengah tren “putri mandiri dan tangguh” yang sedang dibangun oleh
Disney, sungguh mengherankan melihat Aurora yang bikin saya sebal bukan
kepalang lantaran lebih percaya kepada keluarga tunangannya yang baru
dikenalnya ketimbang ibu angkatnya yang telah merawatnya bertahun-tahun. Seriously? Saya tahu Maleficent memang
memiliki reputasi buruk, tapi bagaimana mungkin kamu bisa percaya begitu saja
saat anggota keluargamu difitnah? Durhaka kamu, Mbak Bucin!


Dengan jalinan pengisahan seruwet
dan semengesalkan ini yang lantas diselesaikan secara mudah sekali akibat kuota durasi yang semakin menipis, sulit bagi saya untuk menginvestasikan emosi kepada Mistress of Evil. Maka begitu film
menginjak pertengahan durasi, saya pun terserang kantuk saking tak sanggupnya
lagi untuk peduli kepada nasib para karakternya. Jika ada yang tetap membuat
saya bertahan, maka itu adalah tampilan visualnya yang mewah, performa bagus
dari Angelina Jolie terutama saat dipersilahkan untuk memamerkan kemampuannya
dalam ngelaba (adegan jelang makan malam saat Maleficent berlatih ramah itu
lucu sekali!), dan fakta bahwa saya telah menyisihkan sejumlah dana untuk
menyaksikan film ini di bioskop. Sebuah film berdasar dongeng pengantar tidur
yang beneran bisa bikin tidur.


Acceptable (2,5/5) 






, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top