
novel best seller ke layar lebar memang menjanjikan keuntungan bagi
pengindustri film di dunia, pasalnya novel-novel best seller sudah memiliki fan
yang tidak sedikit. Siapa yang tidak tergiur meraih keuntungan? Membagi satu
buku menjadi dua bagian dalam film sepertinya sudah disahkan secara melihat
dari keuntungan komersil, tanpa harus memikirkan dampak apa yang dihasilkan
dari cara seperti itu.
Mungkin bagi sebagian orang itu tidak perlu
dipermasalahkan, tapi bagi sebagian orang lagi itu sangat mengganggu karena
mengurangi esensi orisinil dari bukunya, dan saya salah satunya yang merasa
kecewa dengan cara perpanjangan yang tidak berarti. But, apa yang harus saya
perbuat? Selain pasrah dan tetap menyaksikan kebijakan otoriter dari bisnis perfilman,
selain elus dada dan berharap semoga tidak begitu dikecewakan.

The mocking jay
menjadi korban selanjutnya setelah sebelumnya kita dibuat begitu pahit menelan
Buku The Hobbit dibagi hingga menjadi 3 bagian, Harry Potter The deathly hallow
dibagi menjadi 2, dan beberapa buku hebat yang lain yang diperlakukan sama
seperti dua judul yang saya sudah sebutkan.
Saya jadi lupa
untuk ke topik inti tulisan ini saya buat, hehehe… flash back kebelakang
untuk The hunger Games : Mocking jay part 1 setelah saya menilik dari beberapa
review di IMDB (International Movie Data Base) banyak yang kecewa akan hasil
drama monoton yang dihadirkan, bertele-tele adalah alasan terkuat kenapa film
Mocking jay part 1 dirasa tidak kuat dalam penceritaannya. Saya pribadi belum
membaca versi bukunya, tapi apa yang coba dipaparkan dari beberapa orang yang
mereview film ini dan sudah membandingkan versi bukunya juga menyatakan hal
yang sama. Harapan terakhir adalah menyaksikan bagian akhir dari serial The
hunger games dan berdoa semoga endingnya memuaskan.

apa yang sebenarnya ingin dipaparkan oleh Penulis buku “The hunger game”
Suzanne Collins, bahwa kita hidup dibumi ini sudah takdirnya untuk di atur sedemikian
rupa oleh para petinggi-petinggi negeri, untuk di jadikan boneka dari para
penguasa setiap bidang, untuk diperas tanpa paksa dari mereka yang haus akan
ketamakan, dan selamanya hukum rimba itu tidak akan pernah mati.
cerita dari The hunger games berkisah tentang masa ketika Amerika Utara musnah,
dan dibekasnya berdiri negara Panem dengan Capitol sebagai pusat kota yang
dikelilingi oleh 12 distrik digelarlah sebuah permainan yang diberi nama “The
hunger games” yang wajib diikuti oleh 24 anak-anak remaja belasan tahun dari
seluruh distrik.

Diberi nama Hunger games karena peserta yang menang beserta
distrik yang diwakilinya akan memperoleh hadiah berupa makanan yang melimpah
dan jaminan hidup yang lebih baik. Tentu ini menjadi hadiah yang sangat menarik
dari seluruh distrik karena seantero negeri Panem selalu dalam konndisi
kelaparan. Permainan yang disiarkan secara langsung oleh TV ke seluruh penjuru
negeri sebagai Reality Show itu bukan hanya acara hiburan semata melainkan
dirancang sebagai sebuah hukuman atas pemberontakan yang pernah dilakukan salah
satu distrik dimasa lampau. Salah satu anak terpilih dengan cara diundi adalah dua
remaja yang bernama Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Mallark
(Josh Hutcherson) dari distrik 12 untuk
bertarung satu sama lain. Dan dari ke 24 peserta hanya ada satu pemenang
sehingga hanya ada dua pilihan membunuh atau dibunuh!.

melanjutkan perjuangan dari mereka yang sudah mendapatkan provokasi dari
distrik yang tidak pernah dibicarakan yaitu distrik 13 yang dipimpin oleh Alma
Coin (Julianne Moore) membimbing Katniss untuk melakukan pemberontakan terhadap
kepemimpinan Presiden Snow (Donald Sutherland) dan berjuang menyatukan satu
suara ke distrik-distrik lain untuk mendukung Katniss dan distrik 13 sekaligus
menyelamatkan Peeta dari genggaman Presiden Snow.
Apa yang coba dituturkan oleh
penulis buku memanglah komplit dan solid, serta menjadi jembatan untk membuka
mata kita akan apa yang sebenarnya terjadi ditengah-tengah kita didunia nyata.
Tidak usah diragukan lagi untuk kualitas cerita buku trilogi The hunger games
memang patut diangkat ke layar lebar, dan dibaca dengan baik oleh produser
Joseph drake (Juno, American Pshyco) juga Suzanne Collins sendiri dan
mempercayai Francis Lawrence (I am
legend, Constantine) dan sutradara sebelumnya Gary ross (The Hunger Games)
untuk menduduki bangku Sutradara.

Francis
lawrence rasanya tahu betul film ini harus ditekankan dari sisi dramanya karena
menyampaikan apa yang sebenarnya ingin disampaikan empunya novel. Karakter
dibangun begitu kuat supaya mendorong kita ikut turut berjuang mencintai dan
mendukung Katniss dengan revolusinya, membangun misteri sosok Coin dan karakter
pendukung lainnya yang berupaya mengambil keuntungan dari kepolosan Katniss
sampai dititik terakhir, memberi kode ke penonton mana yang benar-benar tulus
disisi Katniss dan sebaliknya.
Bahkan saya sangat terpukau akan sosok katniss
yang menunjukkan perubahan ketidak percayaan dirinya terhadap permainan apa
yang sebenarnya dimainkan dan buat siapa perjuangannya ini dilakukan. Di ending
film, Francis Lawrence tidak hanya ingin mengakhiri kisahnya begitu saja
setelah perang selesai, dia ingin menunjukkan Katniss yang semakin dewasa dan
berusaha berfikir selama sisa hidupnya akan apa yang sudah dilaluinya,
seolah-olah mengisyaratkan film ini akan berlanjut dengan metamorfosa Katniss
dimasa depan, memperjuangkan sesuatu yang memang menjadi haknya (terlihat dari
tatapan kosong Katniss yang menatapi Peeta dan anak sulungnya yang sedang
bermain dan berlanjut menatapi anak bungsunya seolah berbisik kita harus
melakukan sesuatu!).

Saya begitu
kagum akan sinematografi yang dihadirkan film terakhir “The Hunger Games” ini,
dari semua sisi negara Panem terlihat begitu kelam, ditambah lagi kejutan
penggambaran Kota Capitol yang disulap menjadi arena games mengejar Presiden
Snow dengan semua tekhnik jebakannya yang membawa kita kembali merasakan
keseruan dan ketegangan seri pertama dan kedua film ini.
sinematografi tidak ditopang dengan laga aksi yang memikat, terkesan hadir sebagai
bumbu pelengkap saja dan ketegangan yang dihadirkan sering kali kendor
dimana-dimana, twist-twist yang dulu hadir di film pertama The Hunger Games
yang begitu membuat kita betah duduk lama tidak dapat lagi kita rasakan,
padahal kesempatan itu bisa saja dimanfaatkan sewaktu genderang permusuhan
antara distrik 13 dan Capitol ditabuhkan, juga pada saat aksi pencarian
Presiden Snow.

Kelemahan selanjutnya hadir disisi cerita cinta antara Katniss
dan Gale Hawthorne (Liam Hemsworth) yang benar-benar terlupakan begitu saja di
paruh film padahal Gale sudah menunggu masih adakah harapan pada saat
menekankan dialog “kita lihat siapa yang akan dipilih Katniss nantinya”, bahkan
ucapan perpisahan pun yang saya tunggu-tunggu tidak juga hadir walaupun saya
paham kebingungan Katniss di akhir-akhir film begitu ingin dihadirkan sang
sutradara. Sebagai film penutup dari seri terakhir The hunger games terasa jauh
dari kesan melekat dijiwa, hanya satu yang bisa dibawa pulang kerumah dan
kembali mengingatkan kita bahwa hukum rimba akan selalu berlaku di muka bumi,
membunuh atau dibunuh, berkorban atau dikorbankan, menjadi manusia yang berhati
setengah malaikat atau menjadi manusia berhati iblis seutuhnya, seperti halnya
film yang sudah hadir sebelumnya yang juga terinspirasi dari kekejaman manusia
di film Gladiator (yang juga menginspirasi Suzanne Collins menulis buku The
hunger games)

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.