2019

REVIEW : US


“They look exactly like us. They think like us. They know where we are.
We need to move and keep moving. They won’t stop until they kill us… or we kill
them.”


Dikenal sebagai seorang komedian,
siapa yang menyangka jika Jordan Peele ternyata amat lihai dalam meramu sajian
horor yang sanggup membuat para penontonnya merasa tidak nyaman? Dalam debut
penyutradaraannya, Get Out (2017),
yang menghantarkannya meraih piala Oscars untuk kategori Naskah Asli Terbaik,
Peele memang tidak menggedor jantung penonton dengan penampakan-penampakan
memedi maupun gelaran adegan sadis. Dia memberikan mimpi buruk melalui “rumah calon mertua yang penuh rahasia”
dimana white supremacy ternyata masih
dijunjung tinggi dibalik penampilan luar serba toleran dan terbuka. Bagi
masyarakat Amerika Serikat yang tengah dirundung persoalan rasisme – dan
sejatinya ini terjadi pula ke berbagai belahan dunia – apa yang disampaikan
oleh Peele di sini terasa relevan. Mewakili keresahan publik terhadap situasi
sosial politik yang semakin gonjang-ganjing khususnya bagi masyarakat dari
kalangan minoritas. Alih-alih terdengar ceriwis, komentar si pembuat film
justru terasa efektif berkat kecakapannya dalam bercerita dimana isu yang
mendasari keresahannya lantas diwujudkan sebagai sumber teror. Entah bagi kamu,
tapi bagi saya, manusia memang tampak lebih mengerikan ketimbang
makhluk-makhluk supranatural semacam hantu lantaran ada ancaman nyata yang
ditunjukkan terlebih saat mereka dibutakan oleh nafsu berbalut kebencian.
Bukankah terdengar mengerikan saat manusia rela menghalalkan segala cara hanya
demi memenuhi kepuasan pribadi? Peele menyadari betul hal itu sehingga dia pun
kembali memanfaatkan sisi gelap manusia sebagai “sang peneror” dalam film
terbarunya, Us, yang ternyata oh
ternyata… terasa lebih mencekam dibanding film perdananya!

Seperti halnya Get Out, karakter utama yang
menggerakkan roda penceritaan dalam Us
pun berasal dari satu keluarga kelas menengah. Yang kemudian membedakannya adalah
personil keluarga yang menjadi sentral cerita di sini kesemuanya berkulit hitam
serta tidak memiliki persoalan dengan white
supremacy
maupun rasisme. Mereka tampak bahagia, mereka pun tampak normal.
Bahkan mereka mempunyai sebuah villa di dekat pantai yang dapat dimanfaatkan
untuk berlibur dan melepas penat. Jadi, apa yang mungkin salah kali ini? Well, (lagi-lagi) seperti halnya Get Out dan tentu saja realita dalam
kehidupan ini, tidak ada manusia yang sempurna. Seseorang yang terlihat bahagia
seolah tidak memiliki beban hidup pun dapat menyimpan sebuah rahasia kelam yang
tidak pernah terbayangkan oleh siapapun. Dalam konteks Us, rahasia tersebut dipendam oleh Adelaide Wilson (Lupita Nyong’o)
yang rupanya memiliki pengalaman traumatis semasa kecil saat bertandang ke
taman hiburan di dekat pantai. Dia bertemu dengan doppelganger atau seseorang yang memiliki kemiripan wajah dengannya
sampai-sampai Adelaide tak sanggup berbicara selama beberapa saat. Saking
eratnya Adelaide menyimpan rahasia ini, tak seorang pun yang mengetahuinya
termasuk sang suami, Gabriel (Winston Duke – rekan main Nyong’o dalam Black Panther), dan kedua anaknya, Zora
(Shahadi Wright Joseph) beserta Jason (Evan Alex). Rahasia yang telah dipendam
oleh Adelaide selama tiga dekade lamanya ini perlahan mulai tersingkap saat
keluarga Wilson mendapat kunjungan tak terduga di villa pada malam ini.
Kunjungan tak terduga yang jauh dari kata bersahabat dari satu keluarga yang
seluruh personilnya memiliki kemiripan fisik dengan Adelaide, Gabriel, Zora,
maupun Jason. Hiii… ngeri!



Berbeda dengan Get Out yang membutuhkan waktu cukup
lama untuk memanas, Us telah menebar
kengerian sedari prolog. Bukan tipe kengerian bertabur jump scares dimana penonton dibuat terkaget-kaget oleh kemunculan
suatu entitas dengan iringan musik yang telah diatur untuk senantiasa berada
dalam volume tertinggi, melainkan tipe kengerian yang membuat hati merasa
was-was. Penonton dikondisikan untuk merasakan ada sesuatu yang salah di
sekitar Adelaide cilik saat dia berkunjung ke taman bermain bersama kedua orang
tuanya. Apa itu dan darimana asalnya? Hanya Tuhan dan tim pembuat film yang
mengetahui. Yang jelas, kenyamanan saya sudah terusik sedemikian rupa sehingga
tak lagi bisa duduk dengan tenang di kursi bioskop. Saya hanya bisa menanti
dengan cemas seraya bertanya-tanya: apa yang akan menimpa Adelaide di menit
berikutnya? Sesuai dengan prediksi, kemalangan tersebut memang pada akhirnya
menghampiri si gadis cilik. Melalui adegan pembuka ini, saya menjumpai rasa
penasaran lain untuk menemukan relevansinya dengan narasi utama. Sebelum kita
mendapati jawabannya, penonton diperkenalkan terlebih dahulu kepada keempat
karakter utama yang konfigurasinya terdiri dari Adelaide yang tampak menyimpan
banyak kecemasan, Gabriel yang selow abis mengikuti fungsi karakternya sebagai comic relief, Zora yang cenderung acuh
tak acuh terhadap kondisi sekitar, serta Jason yang sedikit nyentrik. Peele
mengupayakan agar kita membentuk ikatan dengan mereka sehingga saat teror
berwujud home invasion secara resmi
dimulai, kita pun menaruh kepedulian atas nasib keempatnya. Kita berharap
banyak agar mereka dapat terlepas dari bencana ini.


Setelah “para kembaran” mulai
memasuki arena penceritaan, Us yang
tadinya sempat mengalun santai pun tak lagi memperkenankan para penontonnya
untuk menghela nafas lega. Adegan kucing-kucingan antara keluarga Wilson dengan
kembaran mereka yang mendominasi sebagian besar durasi mampu dihantarkan dengan
sangat mencekam oleh Peele berkat ketelatenannya dalam meramu berbagai macam
bahan baku. Bahan baku yang dimanfaatkan oleh si pembuat film antara lain: 1)
pemilihan gambar yang menguarkan nuansa yang bikin bulu kuduk meremang, 2) penyuntingan yang rapat, 3) iringan musik
menghantui bernafaskan orkestra yang dibawakan oleh paduan suara, 4) jalinan
penceritaan yang sarat komentar sosial, serta 5) performa para pelakon yang
mendefinisikan kata “sinting”. Ya, bahan baku ini memang kurang lebih senada
dengan Get Out. Hanya saja, Peele
memilih untuk menggeber teror yang tertampang nyata sedari mula dalam wujud
“kembaran jahat” yang mengenakan pakaian terusan berwarna merah dan membawa
gunting tajam alih-alih menyembunyikannya. Melalui mereka, penonton seolah
diminta membayangkan, “bagaimana jika
kamu ternyata memiliki saudara kembar yang sangat keji dan tidak segan-segan
menghabisimu?”
. Melalui mereka pula, penonton diajak berkontemplasi
mengenai sisi kelam manusia yang merupakan pesan utama dari Us. Kita acapkali mempunyai ketakutan
terhadap orang lain yang berbeda dari segi warna kulit, agama, ras, strata
sosial, hingga cara berpikir sampai-sampai muncul prasangka bahwa mereka adalah
ancaman. Mereka adalah musuh terbesar umat manusia yang harus diperangi atau
minimal, dikucilkan. Tapi bagaimana jika ternyata selama ini musuh terbesar
yang harus diperangi adalah diri kita sendiri? Bagaimana jika ternyata kita
memiliki pemikiran-pemikiran kejam dan ‘menyimpang’ yang tak pernah sekalipun kita
sadari? Bagaimana jika ternyata kita bukanlah “orang baik” seperti yang kita bayangkan?



Komentar menggelitik pemikiran
mengenai “musuh terbesar manusia yang sesungguhnya” ini berpadu pula dengan
komentar lain bernada sosial politik terkait opresi terhadap kaum minoritas
serta privilege yang dipunyai masyarakat
kelas menengah. Tak sekalipun terkesan menceramahi, komentar ini justru
memberikan daya tarik tersendiri bagi Us
lantaran menyodori bahan bagi penonton untuk berdiskusi selepas menonton
termasuk membedah simbol-simbol yang ditebar sepanjang durasi (contoh: apa makna Jeremiah 11:11? Hands Across America?) dan mempelajari karakter Adelaide beserta sang doppelganger yang disebut Red. Jika sederet orbolan ini terdengar
berat untuk dicerna – terlebih kalau kamu hanya ingin memperoleh hiburan – tak
perlu risau karena Peele masih akan memanjakanmu dengan rentetan teror yang
bikin jantung berdegup kencang. Ada momen-momen sunyi yang menggelisahkan, ada adegan
pertikaian berhiaskan muncratan darah, ada elemen laga di saat para karakter
inti berusaha melarikan diri dari “sang kembaran”, dan paling penting, ada Lupita
Nyong’o yang penampilan hebatnya akan memberimu mimpi buruk. Dia terlihat amat
tangguh sekaligus rapuh saat melakonkan Adelaide yang dihantui oleh trauma masa
lalu, sementara saat menghidupkan karakter Red… well, tatapan matanya pun sudah bikin terkencing-kencing. Adegan saat
Red mengajak keluarga Wilson berdialog di depan perapian ruang tunggu merupakan
salah satu momen emas yang dipunyai Us.
Tengok air mukanya, amati gesturnya, dan dengarkan suara paraunya, maka kamu pun
tak ingin berbuat macam-macam dengannya karena sudah jelas Red adalah salah
satu villain paling mengesankan dalam
sejarah sinema horor.


Outstanding (4/5)




, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.

Most Popular

To Top