Judul : Rumah Kertas
Penulis : Carlos María Domínguez
Penerbit : Marjin Kiri
Tebal Buku : 76 Halaman
ISBN : 9789791260626
Rating : 5 dari 5
Membangun perpustakaan adalah mencipta kehidupan. Perpustakaan tak pernah menjadi kumpulan acak dari buku-buku belaka. —halaman 26
Blurb:
Seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku. Rekannya mendapati sebuah buku aneh dikirim ke alamatnya tanpa sempat ia terima: sebuah terjemahan berbahasa Spanyol dari karya Joseph Conrad yang dipenuhi serpihan-serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay. Penyelidikan tentang asal usul buku aneh itu membawanya (dan membawa pembaca) memasuki semesta para pencinta buku, dengan berbagai ragam keunikan dan kegilaannya!
***
Novel tipis 76 halaman ini dibuka dengan sebuah paragraf yang mengesankan:
Pada musim semi 1998, bu dosen Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku lawas Poems karya Emily Dickinson di sebuah toko buku di Soho, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal. —halaman 1
Begitulah cerita dimulai, dengan meninggalnya bu dosen Bluma yang begitu tragis. Ia adalah seorang dosen sastra di Universitas Cambridge yang mendedikasikan hidupnya dalam penelitian-penelitian seputar sastra. Bluma membaktikan hidupnya pada sastra, tanpa pernah membayangkan bahwa sastralah yang akan merenggutnya dari dunia ini–begitu kata salah satu koleganya saat memberikan pidato perpisahan dalam misa kematiannya.
Tokoh pencerita dalam buku ini, seorang pria yang juga rekan sesama dosen Bluma, didaulat untuk menggantikan posisi Bluma di kampus, dan juga menggantikan jadwalnya mengajar. Suatu hari ia dikejutkan dengan kedatangan paket buku misterius dari pengirim berperangko Uruguay tanpa alamat penerima. Isi paketnya pun tak kalah misteriusnya, berisi buku dengan serpihan semen dan kerikil halus. Saat buku itu dibuka, terdapat sebuah nama yang tidak dikenalinya–padahal pria itu bisa dibilang mengenal Bluma luar-dalam.
Buat Carlos, novel ini telah menemaniku dari bandara ke bandara, demi mengenang hari-hari sinting di Monterrey itu. Sori kalau aku bertingkah sedikit mirip penyihir buatmu dan seperti sudah kubilang sedari awal: kau takkan pernah melakukan apa pun yang bisa mengejutkanku. 8 Juli 1996. —halaman 5
Dari buku dan nama misterius itulah dimulai perjalanan si tokoh utama untuk mencari tahu rahasia apa yang terjadi di dalamnya.
Ia terbang ke Uruguay, menemui seorang pemilik buku klasik di sana, dan mencari tahu tentang Carlos Brauer. Tidak susah menemukan informasi seputar pria misterius itu, karena para kolektor buku mudah terlacak dari kecintaan mereka terhadap buku. Dan dari cerita-cerita orang yang mengenalinya itulah, informasi menyedihkan dan mengerikan–terutama bagi para pencinta buku–tentang jejak keberadaan Carlos Brauer disampaikan.
Buku ini ditutup dengan paragraf yang tidak kalah menakjubkannya:
Kuucapkan selamat tinggal kepada Bluma. Seraya gambar kapal dan ikannya mulai luntur, kuhaturkan hormat kepada Joseph sang adiluhung dan pulang kembali ke rumah. —halaman 76
***
Kalau boleh saya pinjam separuh kalimat Borges: perpustakaan adalah pintu memasuki waktu. —halaman 31
Saya sering mendengar bahwa buku bisa “membunuh” seseorang. Dulu, saya juga sering mendapatkan nasihat agar tidak membaca buku ini buku itu buku blablabla karena bisa membuat sesat, bikin ini, jadi begitu. Yah, untuk kasus pertama, saya masih berpikir bahwa seseorang bisa terbunuh atau gila karena buku, mungkin disebabkan oleh kontennya. Pun juga pada kasus kedua. Ini membuat saya berpikir bahwa tulisan–yang dituangkan dalam isi buku–mempunyai kekuatan untuk mengubah persepsi seseorang akan sesuatu. Atau setidaknya, bisa menambahkan sebuah paradigma baru bagi para pembacanya.
Membaca buku ini, membuat saya terpukau dengan konten yang diangkat oleh penulis, selipan isu-isu yang disampaikan dengan caranya yang menakjubkan hingga rasanya kena di hati pembacanya. Buku yang bercerita tentang para pencinta buku, sehingga sebagai seorang pembaca yang juga sama-sama mencintai buku dengan caranya masing-masing, menjadi sangat relate dengan isi yang ada di dalamnya.
Pada akhirnya, ukuran perpustakaan itu ternyata memang penting. Kita pajang buku-buku kita ibarat otak kita sedang dikuak lebar-lebar untuk diteliti, sambil mengutarakan alasan-alasan omong kosong dan basa-basi sok merendah soal jumlah koleksi yang tak seberapa. —halaman 10
Sebagai pembaca kita saling memata-matai perpustakaan kawan satu sama lain, sekalipun hanya di waktu senggang. —halaman 10
To be honest, saya suka melakukan itu dengan mengintip profil goodreads orang-orang dan melihat buku apa saja yang sudah mereka baca =))
Para tokohnya berbicara seputar perpustakaan dan koleksi buku mereka yang menakjubkan. Ada yang memperlakukan buku dengan sangat hati-hati dalam rak-rak tinggi, ada pula yang rak-rak buku mereka menginvasi bagian-bagian rumah lainnya. Ada yang merelakan garasi untuk menjadi tempat buku–bahkan kamar mandinya pun juga! Dan ia rela untuk tidak menggunakan air panas bahkan dalam puncak musim dingin sekalipun! Whoa.
Saya pribadi, memang termasuk ke dalam golongan penimbun buku. Namun, saya tidak termasuk yang telaten untuk memperlakukan buku dengan baik. Kalau malam sehabis membaca, tidak jarang bukunya ikut tidur sampai bagian sampulnya terlipat, atau terjatuh di lantai, masuk ke dalam kolong tempat tidur–bahkan saya sering merasa kehilangan buku dan setelah diselisik, eh ternyata ada di kolong :D–tapi, saya begitu tercengang dengan satu cerita di dalam novela ini yang membuat saya bereaksi, “NO TIDAK! JANGAAAN!” Sedemikian sentimentilnya hanya karena sebuah buku. Ini lebih sentimentil ketimbang mengetahui Bluma, si tokoh (manusia) meninggal. Tolong katakan saya masih waras, huhuhu.
Buku ini indah, singkat, dan padat, sehingga kontennya bisa dengan cepat diserap oleh pembaca. Plot twist-nya edan. Benar-benar edan. Membuat saya hangover untuk waktu yang lama. Saya jadi bisa memahami bagaimana perasaan si tokoh yang tengah diceritakan, sewaktu mengetahui bahwa kenangannya–dan kehidupannya–seputar buku menjadi tercerai berai hingga membuatnya frustrasi.
Ini bukan perkara sepele. Mohon Anda pahami. Bayangkan untuk sejenak saja bahwa sepanjang hidup ini Anda mengawetkan serangkaian kenangan dari masa kecil Anda: sensasi, bau-bauan, lampu yang menyinari rambut ibu, petualangan pertama Anda di jalan, kesan-kesan yang kurang lebih amburadul dari hal-hal tak terpahami yang ketika disatukan pada akhirnya membentuk kenangan akan masa kanak-kanak anda, dengan terornya, suka citanya, dan emosi-emosinya. Sesudah itu, Anda punya daftar sendiri soal pertumbuhan Anda menjadi dewasa. Sekolah menghadirkan keteraturan. Guru-guru, teman-teman sekelas, petualangan pertama, dan Anda terus menumpuk kenangan akan semua pengalaman Anda hingga saat ini.
Lantas suatu hari, tak dinyana, Anda kehilangan urutan-urutan kenangan ini. Kenangannya sendiri tidak hilang, tapi juga tidak bisa ditemukan. Anda mencari-cari gambar istri pertama Anda, yang Anda dapati malah sepatu yang dimamah-mamah anjing di tempat pembuangan nun jauh di masa kecil. Anda mencari muka ibu, yang muncul malah orang tak menyenangkan di kantor kotapraja yang muram. Lenyaplah sejarah diri pribadi Anda. —halaman 50
Lima bintang sempurna. Dan buku ini saya rekomendasikan untuk siapa saja yang menyukai buku dan perpustakaan.