
I pray too, Rodrigues. It doesn’t help. Go on, pray. But pray with your eyes open.
Barbara De Fina, Randall Emmett, Vittorio Cecchi Gori, Emma Tillinger Koskoff, Gaston Pavlovich, Martin Scorsese, Irwin Winkler ; Screenplay by
Jay Cocks, Martin Scorsese ; Based on Silence
by Shūsaku Endō ; Starring
Andrew Garfield, Adam Driver, Tadanobu Asano, Ciarán Hinds, Liam Neeson ; Narrated by
Andrew Garfield, Béla Baptiste ; Music by
Kim Allen Kluge, Kathryn Kluge ; Cinematography Rodrigo Prieto ; Edited by Thelma Schoonmaker ; Production
companies
SharpSword Films, AI Film, Emmett/Furla/Oasis Films, CatchPlay, IM Global, Verdi Productions, YLK Sikelia
Fábrica de Cine ; Distributed by Paramount Pictures ; Release date
November 29, 2016 (Rome), December 23, 2016 (United States) ; Running time
161 minutes ; Country
United States, Taiwan, Mexico, United Kingdom, Italy, Japan ; Language
English, Japanese ; Budget $40 million
I pray but I am lost. Am I just praying to silence?
“But everyone knows a tree which flourishes in one kind of earth may decay and die in another. It is the same with the tree of Christianity. The leaves decay here. The buds die.”
Sebagai seseorang yang saat ini sedang struggling dengan iman dan spiritualitas, saya harus mengakui bahwa saya memihak Jepang dalam hal ini. Saya percaya setiap orang memiliki jalan spiritualnya sendiri-sendiri, demikian juga saya percaya bahwa setiap masyarakat membangun struktur agama dan kepercayaannya masing-masing yang memang dirasa cocok dengan kondisi masing-masing. Tidak perlu ada pihak lain yang memaksakan kebenaran versinya sendiri sambil mengklaim kebenarannya adalah kebenaran mutlak yang universal.
“The path of mercy. That means only that you abandon self. No one should interfere with another man’s spirit. To help others is the way of the Buddha and your way, too. The two religions are the same in this. It is not necessary to win anyone over to one side or another when there is so much to share,”
Bagaimana Christianity dan Buddha memahami Tuhan mungkin punya cara yang berbeda. Namun alih-alih berusaha “menconvert” atau mencari perbedaannya, keduanya sebenarnya punya persamaan yang universal: pengampunan, kebajikan, berlaku baik, atau menolong sesama. Tidak perlu ada pertunjukan kompetitif agama mana yang lebih benar. Saya menarik benang merah cerita Silence ini ke dalam situasi yang terjadi di Indonesia: bagaimana sejumlah orang berusaha memaksakan kebenaran versinya ke orang lain (termasuk saya sih, dengan argumentasi filosofis semacam ini di blog yang harusnya ngebahas film!). Tapi tentu saja, cara Jepang dengan menyiksa umat Kristen adalah cara yang ngawur...
Keteguhan hati Rodrigues (Andrew Garfield) yang didasari dari paham “The blood of martyrs is the seed of the church” sepintas nampak seperti sebuah pengorbanan yang luar biasa hebat. Namun, melihatnya dari kacamata lain saya akan menangkapnya sebagai sebuah kenaifan. Dalam situasi maha sengsara seperti ini saya mungkin akan bertindak seperti Kichijiro (Yosuke Kubozuka), yang bertindak oportunis nan egois sambil berharap akan pengampunan Tuhan. Dan bukankah sebagian besar kita adalah si munafik Kichijiro? Ia mewakili kita semua: berbuat dosa, minta ampun, berbuat dosa lagi, minta ampun. Hey, Tuhan Maha Pengampun kan?
Silence yang sinematografinya ditangani Rodrigo Pieto adalah sebuah film yang sangat cantik dan memukau dari awal hingga akhir. Sebuah kontradiksi yang menarik ketika sesuatu yang mengerikan bisa ditampilkan dalam visual yang cantik. Tidak salah ketika Silence masuk nominasi Best Cinematography dalam ajang piala Oscar tahun ini. Saya juga menggemari betapa konsisten unsur “Silence” – sebagaimana judulnya, menjadi atmosfer utama film Silence ini sendiri: hening dan dingin. Walaupun hening, namun film ini sendiri “berteriak” dengan caranya – semacam pekikan emosional yang mempertanyakan Tuhan. Situasi emosional dan keputusasaan itu berhasil dibawakan Andrew Garfield dengan baik sebagai aktor utama – dan ia memang mempunyai aura kenaifan yang juga likeable. Walaupun sebenarnya sih saya lebih suka jika Adam Driver yang jadi lead actor-nya (ini gara-gara film Paterson!).
But then again, durasi 2 jam 40 menit adalah durasi yang terlalu panjang dan jatuhnya agak membosankan dan kurang efektif. Akhirnya saya merasa unsur menegangkan dan mengerikannya jadi nggak terlalu dapet feel-nya. Siksaan pertama mungkin terasa ngeri, tapi ketika siksaan demi siksaan ditampilkan lagi dan lagi, yang ada saya gemes pengen teriak ke si Pendeta Rodrigues, “Udah pura-pura murtad aja kenapa sih susah amat!” (Ngawur ya saya, astaghfirullah…).

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.