
keempat, tapi hamba sudah dibikin kembang kempis tak karuan. Berbagai berita
tak menggembirakan dan cobaan terus mendera tiada habis-habisnya sedari awal
tahun, yang kemudian mengalami eskalasi
secara cepat tatkala kita semua diperkenalkan kepada satu penduduk baru, Covid-19.
Dia jelas bukan penghuni anyar yang ramah karena seantero masyarakat dunia
dipaksanya untuk berhenti membentuk kerumunan, menciptakan jarak dengan manusia
lain, dan berdiam diri di rumah. Apabila kamu menolak untuk mengikuti
perintahnya, ada konsekuensi tidak main-main yang harus ditanggung.
mengisolasi diri di rumah jelas bukan perkara mudah. Terlebih jika di waktu
bersamaan dibarengi mengonsumsi berita mengenai Covid-19 yang acapkali
depresif, serta tekanan-tekanan lain yang bersifat internal maupun eksternal.
Butuh distraksi – diluar kesibukan belajar dan bekerja tentunya – yang sanggup
membuat kita terus melihat adanya cahaya terang benderang sehingga bisa
bertahan melewati hari demi hari dan tidak terbebani oleh pikiran-pikiran yang
berpotensi melemahkan imunitas tubuh. Saya sendiri berupaya untuk mengagendakan
sederet kegiatan untuk dilakukan, salah satunya adalah aktif menonton film.
kegiatan nonton film sekali ini adalah, saya selalu menyempatkan untuk nonton
setidaknya satu film yang bikin hati gembira, lega, atau nyaman. Dengan kata
lain, feel good movies wajib hukumnya
disimak saban hari. Entah itu baru rilis beberapa waktu belakangan, maupun
sudah bertahun-tahun lampau. Tujuannya jelas sederhana, agar mood tetap stabil dan tidak terjun bebas
di masa-masa sulit ini. Entah dengan kalian, tapi bagi saya pribadi,
menyaksikan film yang menghibur nan menghangatkan hati plus mendengarkan musik
yang riang gembira merupakan salah satu solusi termudah untuk menciptakan
energi positif.
kali ini, saya hendak berbagi sedikit rekomendasi film yang memberikan efek
samping seperti bahagia, merasakan kehangatan di hati dan memandang kehidupan
secara optimistis. Sebagian besar diantaranya adalah film-film yang memang
sering saya andalkan untuk membangkitkan mood,
sementara sisanya terdiri atas feel good
movies dari beberapa tahun terakhir yang membekas di hati.
inilah puluhan judul film yang semoga saja akan membantumu dalam melupakan betapa
mengerikannya dunia ini sehingga energi positif tetap membara. Judul diurutkan
berdasarkan abjad, bukan peringkat.

About
Time (2013)
seorang lelaki untuk memenangkan hati perempuan idamannya ternyata tak hanya
memberi kita momen manis-manis menggemaskan. Ada kehangatan muncul dari relasi
ayah-anak yang sekaligus berfungsi sebagai ‘corong pesan moral’ untuk About Time: manfaatkan waktumu dengan
orang terdekat semaksimal mungkin. Kamu hanya hidup sekali dan kamu tidak
pernah tahu kapan perpisahan akan tiba.

Dikekang tradisi, seorang pria dari keluarga Muslim konservatif memilih berbohong perihal mimpi dan kehidupan asmaranya. Ali’s Wedding membawa kita meninjau komunitas Muslim di Australia melalui tontonan indah yang mengundang tawa, senyum, serta air mata haru. Mudah terhubung dengan narasinya karena topik pembicaraan yang universal seputar cinta terhalang perbedaan, obsesi pada kedudukan, tuntutan untuk mengikuti jejak orang tua, sampai keinginan membanggakan keluarga.

Almost
Famous (2000)
suatu band rock n roll dengan
menggunakan perspektif dari seorang calon jurnalis muda. Disokong oleh chemistry luar biasa dari setiap
pelakon, saya pun secara otomatis tenggelam ke dalam hingar bingar kehidupan
para personil band berikut pemuja setianya. Di sepanjang durasi kita dibikin
tertawa, menghentak-hentakkan kaki, tersentuh dan saat film menjumpai ujungnya,
saya menyunggingkan senyum lebar.

Amelie
(2001)
memanjakan mata. Tapi lebih dari itu, narasinya yang dicelotehkan secara unik
dengan bubuhan humor disana sinilah yang membuat hati hamba terpikat. Tentang
seorang perempuan muda kesepian yang memutuskan mendedikasikan hidupnya untuk
membahagiakan orang lain. Alasannya sederhana, ada perasaan bungah kala dia
melihat seseorang tersenyum bahagia. Manis sekali, bukan?



Bring It
On (2000)
penyemangat, Bring It On kerap
menjadi pilihan utama. Ini memang bukan sajian inspiratif tentang perjuangan
tim pemandu sorak dalam mencapai kejayaan, melainkan lebih ke tontonan komedi
yang energinya melimpah ruah dari awal hingga akhir. Sulit bagi hamba untuk
menahan gelak tawa dalam menengok tingkah polah para karakternya terutama dalam
salah satu babak kompetisi yang tak pernah disangka-sangka bakal berujung
kacau… tapi lucu.

Dibawakan dengan gaya komikal, sulit untuk tak tertawa terbahak-bahak saat menyaksikan Brother of the Year yang menguliti tema sibling rivalry ini. Membuat saya teringat pada segala pertengkaran dengan kakak semasa masih sama-sama mudah meledak. Usai dibuat ngakak tak berkesudahan di paruh awal, film perlahan membuat air mata menetes memasuki babak klimaks yang menegaskan pesan klasik mengenai keluarga. Ada kelegaan diiringi keinginan untuk memeluk saudara selepas menontonnya.


Charlie
and the Chocolate Factory (2005)
hangat yang tak saja mampu membuat hati tenang, tetapi juga membangkitkan
semangat. Dalam adaptasi literatur anak klasik rekaan Roald Dahl ini, kita
diajak berpetualang menyusuri pabrik coklatnya Pak Willy Wonka yang di dalamnya
penuh dengan keajaiban, kesenangan, serta tentu saja, coklat. Ah seandainya
saja pabrik seperti ini memang nyata adanya.

Chef
(2014)
Pertama, jalinan pengisahannya menyoal seorang ayah yang mencoba memperbaiki
hubungannya dengan putra tunggalnya. Dan kedua, makanan-makanan yang
dihamparkan di sepanjang durasi. Jangan nonton film ini saat lapar atau kamu
bakalan klepek-klepek tak berdaya seperti saya saat melihat adegan memasak roti
panggang keju.

Cinema
Paradiso (1988)
masa kecil dan alasan mengapa diri ini bisa jatuh cinta kepada sinema. Setiap
menontonnya saya selalu dibuat tertawa, tersentuh, serta menyeka air mata
bahagia. Iringan musiknya membekas di hati, begitu pula dengan adegan
penutupnya yang dirangkai dengan begitu indah. Oh, what a lovely movie!

Crazy
Rich Asians (2018)
ringan ini, saya dibikin senyum-senyum gemas di sepanjang durasi seraya terkekeh
dan merasakan adanya kehangatan dalam hati. Istimewanya lagi, Crazy Rich Asians mempunyai barisan
karakter mudah dikenang yang konfigurasinya terdiri atas protagonis utama yang
tangguh, antagonis yang ngeselin bukan main, serta tokoh pendukung yang kocak
dan bijaksana. Jangan lupakan pula, film juga punya desain produksi yang amboi
dan penempatan lagu pengiring yang cihuy.

Pada mulanya, Aamir Khan tampak seperti raja tega saat menggembleng putri-putrinya untuk berlatih sebagai pegulat. Terdengar pula tak realistis karena, well, India tidak mempunyai pegulat perempuan. Tapi seiring berjalannya durasi Dangal, kita bisa memahami motivasi sang ayah sampai-sampai bersedia bersorak kepada keluarga pejuang ini agar mereka berhasil menggapai impian. Satu film berdasar kisah nyata yang memperbincangkan kesetaraan gender secara menyentuh dan menyenangkan, tanpa pernah terkesan menceramahi.

Dear
Zindagi (2016)
psikolog. Melalui film ini, penonton diajak untuk memaknai kembali kehidupan
yang tidak sempurna menggunakan kacamata berbeda. Cocok ditonton bagi siapapun
yang berharap bisa menemukan kedamaian akibat konflik dengan orang tua,
pasangan, maupun diri sendiri. Saya merasakan adanya kelegaan selepas mendengar
wejangan-wejangan dari Shah Rukh Khan.

Dolemite
is My Name (2019)
hamba duga, ternyata mampu bikin saya ketawa guling-guling berulang kali. Lucu dan
menghibur sekali. Lebih dari itu, Dolemite
is My Name pun memiliki kemampuan untuk menginspirasi menyusul jalinan
pengisahannya yang berkutat pada tekad bulat seorang pria dalam mewujudkan
keinginannya. Di sini, Eddie Murphy kembali mengingatkan publik bahwa dia
masihlah salah satu aktor komedi terbaik di muka bumi.

Elf
(2003)
Sinterklas punya peran penting di sini, Elf
bisa dikudap dalam musim apapun. Semangat beserta keceriaan yang dimunculkan
oleh film ini tak pernah gagal membuat saya kembali bangkit di saat sedang
terpuruk. Will Ferrell bermain cemerlang sebagai elf “abal-abal” yang memandang
segala aspek kehidupan secara polos bak bocah cilik, dan disitulah poin
utamanya. Akan ada jalan untuk setiap persoalan saat kita bersedia untuk percaya,
saat kita memiliki kemauan, dan saat kita berpikiran positif.

Apabila dunia ini adil, The Emperor’s New Groove semestinya menjadi salah satu film animasi populer dan diperhitungkan. Film ini memiliki kemampuan untuk mengajak penonton cilik bergembira, tanpa pernah melupakan “kebutuhan” penonton dewasa untuk turut diajak bersenang-senang. Lawakannya yang sungguh kocak cocok disantap lintas generasi, sementara plotnya dengan pesan bijaksana mengenai kerendahan hati dan kebaikan tentu tak lekang waktu.

Enchanted
(2007)
dari negeri dongeng sejatinya sudah cukup menjadi alasan mengapa Enchanted mesti ditonton saat mood sedang berulah. Tapi jika butuh
alasan lain, maka itu adalah narasi dan pendekatan yang ditempuh oleh film ini.
Dicelotehkan secara jenaka serta tak biasa, film menyindir formula-formula
klasik dari dongeng “putri mencari cinta pangeran” di film animasi lawas milik
Disney yang acapkali terlampau ajaib untuk benar-benar diaplikasikan dalam
kehidupan nyata.

The
Family Man (2000)
membuatmu terenyuh dan tersenyum saat menyaksikan narasinya yang berbincang
tentang prioritas, kehidupan, serta cinta. Di sini film meminta kita untuk
merenungi lalu menilai kembali keputusan-keputusan besar yang telah kita ambil.
Apakah kita telah puas dan bahagia dengan jalan hidup yang kita tempuh? Jika
ada kesempatan untuk mengubahnya, akankah kita mengambilnya?

Ferris
Bueller’s Day Off (1986)
nikmatilah hidup adalah satu pesan besar yang diutarakan oleh Ferris Bueller’s Day Off. Si karakter
utama dikisahkan membolos pada suatu hari dengan berpura-pura sakit, lalu
memutuskan untuk berkeliling kota bersama sahabat-sahabatnya. Di ujung durasi
setelah petualangan singkat yang mengasyikkan, dia mengingatkan penonton bahwa
waktu berjalan dengan cepat. Nikmatilah hidupmu semaksimal mungkin sehingga tak
ada penyesalan yang tersisa.

Field of
Dreams (1989)
gaib” buat membangun lapangan baseball di ladangnya… dan itu jelas aneh. Namun
yang lebih aneh lagi, dia menyanggupinya sekalipun orang-orang di sekelilingnya
menilainya gila. Dari persoalan ini, Field
of Dreams menghadirkan rentetan adegan yang akan membuatmu ingin memberi
pelukan hangat kepada orang tua. Kenapa begitu? Ya, karena film ini
memperbincangkan tentang keluarga disamping keberanian, keyakinan, serta
determinasi.

Fighting
with My Family (2019)
petarung gulat di WWE bisa luar biasa hangat seperti Fighting with My Family? Kehangatan tersebut muncul dari perjuangan
si tokoh utama untuk membuktikan kelayakannya bertahan di tempat yang
diimpikannya. Selain itu, film juga mengelaborasi nasihat berbunyi “Tuhan memberikan jalan lain dibalik
kegagalanmu” yang sedikit banyak membantu kita untuk legowo dalam menerima ketidakberhasilan.

Forrest
Gump (1994)
begitu kata salah satu karakter dalam Forrest
Gump. Dan memang, begitulah yang dialami oleh sang karakter tituler dan
kita sendiri. Tak ada cara lain yang lebih baik untuk menanggapinya selain
menerima kejutan-kejutan tersebut dengan merangkulnya erat-erat. Bukankah itu
membuat hidup menjadi terasa lebih berwarna dan mengasyikkan? Persis seperti
apa yang dilakoni oleh Forrest Gump.

Four
Sisters and a Wedding (2013)
menggoreskan kesan kuat di hati. Tentang pernikahan si putra bungsu yang
memaksa kakak-kakak perempuannya untuk pulang ke rumah… dan boom, masalah menghujam. Four Sisters and a Wedding sendiri
dicelotehkan secara lucu sebelum akhirnya menguras air mata. Bukan karena
kesedihan yang bikin hati nelangsa, melainkan karena terkoneksi dengan
persoalannya. Persoalan yang rasa-rasanya bisa dijumpai dalam keluarga manapun.
Menontonnya bersama anggota keluarga sangat disarankan.

Suatu ketika, saya sedang berniat nonton komedi rusuh dan takdir mempertemukan saya dengan Girls Trip yang lawakannya tak ada kontrol. Dikreasi segila mungkin, dikreasi sekacau mungkin. Tiffany Haddish melepas segala urat malunya dalam film yang bercerita tentang liburan empat sahabat ini. Bagusnya lagi, film pun tak lupa membubuhkan momen menyentuh saat membicarakan tentang persahabatan usai mengajak penonton berpesta pora di sebagian besar durasi.

Good Will
Hunting (1997)
sesi terapi. Bedanya, kali ini dipandu oleh Robin Williams (rest in peace!) dan lebih menekankan
pada pencarian jati diri. “Apa yang
sesungguhnya kamu inginkan dalam hidup ini?” adalah pertanyaan yang terus
menerus diulang di sepanjang durasi. Seraya menyimak perkembangan si karakter
utama dalam menyadari minat dan bakatnya, penonton pun ikut diajak
berkontemplasi mengenai pilihan hidup yang seringkali dipengaruhi oleh
keengganan untuk “mengkhianati” lingkungan sekitar.

Green
Book (2018)
segregasi, dan kemanusiaan yang umumnya dikemas kompleks, dituturkan secara
ringan tapi kaya nutrisi oleh Green Book.
Diejawantahkan ke bentuk road trip movie
dan cerita persahabatan dari dua manusia berbeda ras, film justru terasa
efektif dalam menyampaikan pesannya yang mendalam. Sebagai ganti narasi
depresif yang sulit ditengok adalah narasi penuh canda tawa yang menghembuskan
optimisme sehingga saat film berakhir tak ada lagi kemarahan kepada dunia.
Hanya ada cinta dan belas kasih.

Groundhog
Day (1993)
secara berulang-ulang jelas definisi sesungguhnya dari mimpi buruk. Groundhog Day terasa relevan dengan
situasi karantina sekarang ini dimana hari demi hari terasa tiada bedanya. Apa
yang terjadi sekarang tak ubahnya pengulangan dari apa yang terjadi kemarin,
dan ini tentu bikin frustrasi. Tapi apa ini memberikan alasan bagi kita untuk
menyerah? Dalam film, tentu si karakter utama tidak demikian. Malah keapesan
tersebut memicunya melakukan perubahan. Melakukan sesuatu yang belum pernah
dilakoninya agar hari-harinya tak lagi sama.

Tema berat seputar segregasi di masa diberlakukannya Jim Crow dikemas ke dalam sebuah film ringan yang mengundang gelak tawa dan air mata, tanpa pernah menanggalkan kesan pahit dari hukum tak berkeperimanusiaan itu. Didukung jajaran pemain yang brilian, The Help terangkat ke tingkatan lebih tinggi yang memberi sensasi lega usai menonton. Inilah sebuah film yang mengingatkan kepada para penontonnya untuk selalu memanusiakan manusia, tanpa memandang ras, suku, agama, maupun jenis kelamin.


Instant
Family (2018)
ingin berumah tangga, Instant Family
adalah jawabannya. Menyaksikan dua tokoh utamanya berupaya untuk menjadi orang
tua layak bagi ketiga anak angkatnya mendorongku berujar, “awww…” Manis sekali, hangat sekali, dan memotivasi sekali.
Ditunjang chemistry hidup dari setiap
pelakon, mudah rasanya untuk mempercayai bahwa mereka adalah keluarga betulan.
Mereka saling peduli antara satu sama lain dan itulah salah satu fondasi utama
dalam membentuk keluarga harmonis.

The
Intern (2015)
chemistry ciamik sebagai dua manusia
beda generasi yang tampak saling membutuhkan antara satu dengan lain. The Intern memberi penekanan kepada “manusia adalah makhluk sosial” dimana
kita pada akhirnya tidak bisa hidup sendiri tanpa menjalin relasi dengan orang
lain. Obrolan soal ikatan persahabatan ini lalu dipertemukan dengan isu-isu
lain di era modern seperti tekanan dunia kerja, ambisi mencapai kesempurnaan,
sampai kesepian. Percayalah, kamu akan tergelak-gelak sekaligus menyeka air
mata saat menonton film ini.

The Intouchables
(2011)
berbeda membentuk ikatan persahabatan yang tak dinyana-nyana. Yang satu kaya
raya tapi lumpuh dan kesepian, sementara yang satu adalah mantan napi yang
kesulitan mencukupi kebutuhan keluarga. Perbedaan diantara mereka tak saja
memicu gelak tawa, tetapi juga momen-momen yang akan membentuk lekukan senyum
di bibirmu. The Intouchables
menghadirkan sajian hangat pembangkit semangat yang tak pernah ada
bosan-bosannya untuk saya tonton ulang.

Julie
& Julia (2009)
dipersatukan dalam satu layar? Count me
in. Yang lebih menggoda lagi, Julie
& Julia dipenuhi dengan parade makanan-makanan lezat yang akan membuat
perutmu keroncongan dan air liur menetes-netes. Plot yang dikedepankannya pun
menginspirasi, tentang seorang perempuan yang bertekad untuk memasak resep
buatan koki terkenal selama satu tahun penuh. Terkesan seperti kegiatan yang
sia-sia. Tapi si protagonis melakoninya dengan cinta, hasrat, serta
kesungguhan, dan kerja kerasnya tersebut membuahkan hasil.



Kuch Kuch
Hota Hai (1998)
sudah berapa kali ditonton sampai hafal diluar kepala setiap momen, dialog, dan
lagu-lagu yang menghiasi Kuch Kuch Hota Hai.
Ini adalah sajian paket komplit dimana kamu akan dibuat gregetan oleh kisah cinta
segitiga antara Rahul, Anjali, serta Tina, lalu tergelak-gelak oleh interaksi antar karakternya, kemudian tersentuh
dengan plot yang menyangkut Anjali (baik cilik maupun dewasa), sampai akhirnya
kecanduan soundtrack-nya yang kesemua tembangnya mengendap kuat di ingatan.

La La
Land (2016)
menguarkan kegembiraan, hamba tak henti-hentinya dibuai oleh jalinan
pengisahannya dan nomor-nomor musikalnya yang selalu menggoda saya untuk ikut
bersenandung. Ada banyak momen layak dikenang di sini yang juga membuat
terperangah seperti pesta penghuni Los Angeles yang meriah di permulaan film,
atau saat dua sejoli yang dimabuk cinta berdansa-dansi di planetarium
berlatarkan alam semesta. Saya tak pernah melewatkan film ini setiap kali
tayang di kanal televisi berbayar, dan setiap kali menonton, hati selalu
dibuatnya bungah.

Last
Christmas (2019)
sebagai underrated gem. Kemasan
luarnya memberi kesan bahwa ini merupakan tontonan percintaan picisan – dan
sebetulnya tidak ada yang salah dengan itu – yang membuat banyak orang
meremehkannya. Padahal, selain mempunyai humor beserta momen romantis yang
menggemaskan berkat karisma dua pemain utamanya, ada obrolan mengena tentang
kehidupan di sini. Sebentuk obrolan yang mengingatkan penonton untuk berhenti
terobsesi pada pencapaian besar tanpa makna, dan lebih berfokus pada berbuat
baik kepada sesama.

Life of
Pi (2012)
mencengangkan, Life of Pi juga
diberkahi narasi yang akan mendorongmu untuk merenung. Berceloteh tentang
seorang remaja yang terapung di lautan luas bersama seekor harimau, film
mengajukan topik soal keimanan. Ditengah
situasi serba tidak menguntungkan, apakah kamu akan tetap meyakini Tuhan atau
justru mengabaikan-Nya? Jika kamu tetap meyakini-Nya, mengapa Tuhan rela menempatkanmu
dalam situasi sulit yang seolah tanpa solusi? Film ini akan memberimu siraman
rohani yang menyejukkan hati, tak peduli apa agamamu.

Mamma Mia
Here We Go Again (2018)
norak (walau tetap asyik), tapi sekuelnya yang bertajuk lengkap Mamma Mia Here We Go Again ini berada di
kelas berbeda yang lebih unggul. Ada cerita menyentuh soal motherhood, ada pula
sajian wajib berupa momen musikal penuh dansa dansi yang energinya akan
membuatmu merasakan kebahagiaan. Tembang milik ABBA terdengar segar kembali di
film yang mengingatkan saya sekali lagi mengapa diri ini bisa jatuh hati kepada
film musikal.

The Mask
(1994)
adalah Jim Carrey terbaik. Dari sederet kegilaan yang ditampilkannya, bagi
hamba The Mask lah yang paling nancep
di ingatan. Materi sumbernya berupa komik diterjemahkan secara jitu ke dalam
bahasa gambar yang serba over-the-top.
Bukan kelebayan yang menjengkelkan, melainkan sangat efektif berkat lakon si
pemain utama yang memang punya bakat besar dalam ngebanyol. Alhasil, gelak tawa
menyaksikan tingkah polah si muka karet berwarna hijau pun tak
berhenti-berhenti.

Mean
Girls (2004)
cerdas, tepat sasaran, dan begitu nampol. Beberapa kali menonton, tetap saja
hamba dibuat ngikik menyaksikan polah serta mendengarkan celetukan dari Plastic
Girls yang sepintas tampak ajaib tapi nyata adanya. Film ini menghadirkan satir
apik terhadap kehidupan ciwi-ciwi di SMA yang kerap disebut sangat ganas nan
mematikan bagi mereka yang tak pernah siap buat bertempur.

My
Neighbor Totoro (1988)
paling menggemaskan yang pernah ada dalam sejarah sinema. Begitu juga dengan
Catbus. Keduanya sudah cukup menjadi alasan bagi diri ini untuk selalu
mengulang-ulang buat menonton My Neighbor
Totoro, selain karena ceritanya yang menenangkan tentang kepolosan anak
kecil dan kesederhanaan hidup di pedesaan.

My Sassy
Girl (2001)
dengan sinema Korea ya berkat My Sassy
Girl, dan saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Guyonannya
efektif dalam mengundang gelak tawa, sementara momen romantisnya membuat hamba
ber-“aww aww” tak karuan. Lagu
beserta musik pengiringnya yang nempel memang membawa nuansa sentimentil kuat
yang menghadirkan kesenduan. Tapi keputusan film untuk merealisasikan ungkapan “kalau jodoh tak akan kemana” membuat
saya bisa tersenyum bahagia seraya menyeka air mata haru selepas nonton.

National
Treasure (2004) / National Treasure: Book of Secrets (2007)
laga untuk membangkitkan mood. Namun
dwilogi National Treasure yang jauh
lebih seru ketimbang versi layar lebar dari The
Da Vinci Code ini tak pernah bisa membuat saya berhenti nonton tiap kali
nongol di televisi. Selalu ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,
sekalipun telah mengetahuinya secara persis. Di film ini, saya serasa diajak
untuk menguak keberadaan harta karun besar… dan itu jelas sangat menyenangkan.

Notting
Hill (1999)
si cewek yang digambarkan sebagai seorang aktris Hollywood kenamaan. Itu
menyegarkan, begitu halnya dengan dialog-dialog yang bermunculan dan chemistry dua pemain utama yang kece
badai. Saya bisa menjamin, kamu akan tertawa, tersipu-sipu, dan tersentuh saat
menyaksikan dongeng modern yang membuat hati terasa tentram ini. Plus, kamu
mungkin juga akan tiba-tiba kecanduan dengan tembang “When You Say Nothing At All” versinya Ronan Keating.

Paddington
(2014) / Paddington 2 (2017)
yang semestinya disaksikan oleh seluruh keluarga. Betapa tidak, dua film ini
mempunyai paket komplit yang menjadikannya mudah untuk dicintai. Ada
karakter-karakter simpatik, petualangan asyik, humor-humor polos nan
menggelitik, serta pesan positif yang semestinya terus didengungkan di dunia
penuh kebencian ini. Si beruang coklat penggemar selai jeruk yang menjadi tokoh
sentral punya prinsip hidup berbunyi “if
we’re kind and polite the world will be right” yang jelas sangat mulia.
Bagaimana mungkin tidak jatuh cinta pada film-film ini?

The
Parent Trap (1998)
Lindsay Lohan yang sempat saya kira betulan kembar, ya karena The Parent Trap ini. Salah satu film
favorit hamba yang senantiasa memberikan efek riang gembira dan hati hangat setiap
kali ditonton. Dari interaksi dua bocah kembar yang kocak bersama dengan
keluarga masing-masing yang terpisah, ide-ide menggelitik mereka untuk
menggagalkan pernikahan sang ayah dengan seorang perempuan julid, sampai kisah
kasih kedua orang tua mereka yang manis. Gara-gara menulis ini, saya jadi
kepengen nonton ulang kan…




Planes,
Trains, and Automobiles (1987)
libur Thanksgiving bersama keluarga, tapi nasib apes menggagalkan perjalanan
pulangnya dan mempertemukannya dengan pria yang terus menerus membuat dirinya
jengkel bukan kepalang. Perbedaan karakteristik dari dua manusia ini
memercikkan tawa demi tawa dalam perjalanan darat dan udara yang adaaa saja
hambatannya. Planes, Trains, Automobiles
bernyawa berkat kekocakan duo pemain utamanya, selain karena kehangatan
kisahnya yang mengulik tentang persahabatan, kebaikan, dan kemanusiaan.

The Polar
Express (2004)
ditonton selama libur Natal ini cocok pula dikudap sewaktu-waktu bersama
seluruh anggota keluarga. The Polar
Express membawa kita dalam perjalanan seru nan menaiki kereta malam misterius
menuju kutub utara yang penuh dengan keajaiban. Nuansa magisnya menguar kuat, sementara
narasinya yang mengulik soal “kekuatan mantra percaya” membuat hati terasa
damai. Sebuah solusi bagi siapapun yang membutuhkan tontonan yang tak saja mengasyikkan,
tetapi juga memberikan efek menenangkan.

The
Princess Diaries (2001)
aktingnya di sini dan dia terlihat sungguh ayu. Cocok didapuk menjadi seorang
putri dari kerajaan fiktif. Disamping pesonanya yang memancar, keahliannya
berkelakar juga sudah nampak di The
Princess Diaries yang tak pernah gagal membuat saya tergelak-gelak. Narasinya
memang klise, tapi saat segala elemen bekerja dengan baik (termasuk soundtrack-nya
yang kece punya), siapa peduli? Toh film
ini mampu mengalirkan energi positif, membuat hamba senang, dan itulah yang
paling penting.

The
Pursuit of Happyness (2006)
pembangkit semangat dan inspiratif, The
Pursuit of Happyness tentu tidak boleh terlewatkan. Malah bisa dibilang,
ini tontonan wajib. Materi kisahnya sendiri mencakup semua yang dibutuhkan
untuk menggugah gairah hidup manusia seperti perjuangan hidup dalam melewati
terpaan badai finansial, kegigihan dalam memperjuangkan mimpi, sampai keengganan
untuk menyerah pada keadaan. Saya cukup yakin, matamu akan berkaca-kaca dan api
dalam dada akan membara selepas menonton film ini.



Real Steel tidak hanya menyoroti kebuasan para robot dalam menghabisi lawannya di atas ring tinju, tetapi juga melongok sisi emosionil dari hubungan personal antar karakternya. Ikatan yang terjalin diantara tokoh-tokoh kunci terasa kuat, indah dan mengharukan. Tak pelak, film pun sanggup terhidang seru, disamping mengaduk-aduk perasaan serta memberikan pelajaran yang berharga tentang kehidupan, “penebusan dosa”, dan keluarga secara lembut.

School of
Rock (2003)
memiliki seorang guru musik seperti Jack Black. Dia memiliki selera humor bagus
dan metode pengajaran yang efektif sehingga setiap sesi belajar bersamanya
terasa hidup, greget, dan candu. Alhasil, School
of Rock yang dilantunkan dengan iringan tembang-tembang rock yang membakar
semangat ini menjadi semacam satu kursus singkat yang sulit untuk dilupakan. Bukan
tidak mungkin kamu akan tertarik untuk mendaftar di kelas musik selepas
menontonnya.

The
Secret Life of Walter Mitty (2013)
dalam hidupnya. Tapi sedikitnya waktu dan keberanian menghalanginya untuk
merealisasikan mimpi-mimpinya sampai “alam” memanggilnya. The Secret Life of Walter Mitty memberikan semacam pendorong atau
motivasi kepada siapapun yang terlalu takut dalam mewujudkan daftar-daftar
harapannya. Terkadang yang dibutuhkan hanyalah spontanitas berbalut kenekatan
karena jika kita terus menunggu, siapa yang bisa menjamin kesempatan akan
datang menghampiri?



Shrek 2
(2004)
secara pribadi sih instalmen keduanya. Alasannya sederhana saja: lebih gegap
gempita. Selain adanya duo maut Donkey yang ceriwisnya level expert dan Puss in Boots yang
gemas-gemas mematikan, Shrek 2 juga
memiliki momen-momen musikal yang akan mengajakmu ikut bersenandung seraya
menggoyang-goyangkan badan. Sampai saat ini, saya masih tak bisa menahan godaan
untuk melantai setiap kali tembang “Holding
Out for a Hero” yang dibawain Ibu Peri jahat, dan “Livin’ La Vida Loca” berkumandang. Jogetin yuk, shaaayyy…

Sing
Street (2016)
konservatifnya kebangetan, saya tak pernah merasakan nikmatnya menjadi personil
band – well, karena musik itu haram. Selepas
menonton Sing Street, ada perasaan
menyesal tak pernah memberontak dan memutuskan untuk gila-gilaan bersama rekan-rekan
di band. Film ini mampu memotret jiwa-jiwa muda yang menggelora dengan sangat
mengasyikkan sampai-sampai kamu akan berharap bisa memiliki masa remaja seperti
mereka. Ditunjang adanya rentetan soundtrack yang nempel di telinga, pesona
yang dipunyai oleh film ini pun lengkaplah sudah.

Sister
Act (1992)
cenderung semau gue tidak hanya bikin kepala biarawati pusing tujuh keliling,
tetapi juga membuat penonton ngikik-ngikik selama menonton Sister Act. Ya, dialah sumber utama tawa dalam film ini dan Bu
Goldberg tak pernah setengah-setengah dalam ngelaba. Saat melontarkan humor,
beliau pastikan betul-betul bahwa humor ini dapat mengocok perut sedemikian
rupa. Itulah mengapa tontonan komedi ini punya sederet momen kocak, plus satu dua
momen musikal yang dirangkai asyik.

Small
Soldiers (1998)
gahar serta tidak segan-segan untuk menampilkan sedikit unsur kekerasan. Dalam film
ini memang masih ada kehangatan dari elemen persahabatan para tokohnya, tapi jualan
utamanya adalah momen-momen laga yang menyoroti pertempuran antara dua kubu mainan
yang terdiri atas prajurit-prajurit perang. Jika masa kecilmu kerap bersentuhan
dengan mainan, film ini jelas menghadirkan nostalgia tersendiri.


film Korea bagus pada umumnya, Sunny
sanggup membolak-balikkan emosi hamba dari tadinya ngakak guling-guling menjadi
bercucuran air mata. Meski dari sektor penceritaan Bebas masih berada di bawah sang materi sumber, film terbilang
cerdik dalam melokalkan konten sehingga guyonan-guyonannya terasa lebih nonjok
dan tembang-tembangnya yang jauh lebih familiar sanggup mengajak kita untuk berdendang
ria bersama. Saya benar-benar dibuat gembira selama menonton Bebas.

That
Thing You Do! (1996)
sampai bikin diri ini pengen menjadi personil band, That Thing You Do! tetap ampuh dalam membangkitkan kebahagiaan di
sepanjang durasinya. Entah itu saat melihat para karakter bersorak sorai karena
mendengar lagu mereka diputar di radio untuk pertama, atau saat mereka mulai
berkesempatan manggung di depan ribuan penggemar, maupun saat mereka akhirnya
tampil di televisi. Kebahagiaan para personil menular ke penonton yang
memudahkan kita bersimpati penuh kepada mereka sampai-sampai lupa pada fakta
bahwa The Wonders – nama band tersebut – tidaklah nyata.



The Way,
Way Back (2013)
The Way, Way Back, si protagonis tampak
seperti tenggelam dalam kesengsaraan akibat keluarganya yang tak suportif, sampai
kemudian dia mendapatkan sahabat dari sosok dan tempat yang tak pernah disangka-sangkanya.
Berkat dorongan dari kawan-kawan barunya inilah, dia termotivasi untuk
membenahi hidupnya yang kacau balau. Berkat mereka pula, film memperoleh suplai
banyolan menghibur berikut pengisahan yang membawa pada perenungan sekaligus
menghangatkan hati.

While You
Were Sleeping (1995)
komedi romantis ringan yang bikin penonton jatuh hati kepada dua tokoh
utamanya. Sedangkan di sisi lain, film ini merupakan film keluarga yang
memberikan kenyamanan di hati. Hamba mencecap adanya rasa nyesss melihat Sandra
Bullock yang kesepian tiba-tiba diterima dengan tangan terbuka, lalu
dikelilingi oleh orang-orang yang peduli dengannya. Bagi saya, inilah yang
menjadikan film ini sedikit berbeda dan lebih istimewa dibanding rekan-rekannya.
“Kemenangan” dicapai bukan karena mendapatkan hati sang pangeran, melainkan
hati keluarga si pasangan. Anget!

Wonder
(2017)
adalah pesan yang coba dihantarkan Wonder
kepada penonton. Berceloteh tentang upaya seorang bocah berusia 10 tahun untuk
diterima di lingkungan pergaulan baru, film akan membuatmu tertawa, tersenyum, sampai
mengusap-usap air mata yang menuruni pipi. Walau karakter utamanya ditampilkan
berbeda dan kerap mengalami perundungan, film tak melantunkan kisahnya secara
depresif. Justru, nadanya sangat optimistis sehingga cepat menulari penonton yang
lantas menggebu-nggebu untuk ikut berpartisipasi dalam menjalankan misi menebar
kebaikan kepada sesama.

Won’t You
Be My Neighbor (2018)
kenangan sedikitpun dengan mendiang Fred Rogers. Tapi melalui film dokumenter
bertajuk Won’t You Be My Neighbor
yang merekam sepenggal perjalanan karir pemandu acara anak-anak ini, saya
memahami mengapa warisannya sangat layak untuk dilestarikan. Beliau adalah
figur yang dibutuhkan oleh masyarakat dewasa ini yang kian kehilangan empati. Dia
mengajak publik untuk menebarkan cinta kasih, lalu menghempaskan jauh-jauh
sikap penuh prasangka. Sebuah film yang sangat indah dengan momen penutup yang
akan membekas di hati dalam waktu lama.

Yes Man
(2008)
dalam peran komediknya memang selalu menyenangkan, dan Yes Man menambahkan satu alasan lagi mengapa film ini ampuh dalam
membangkitkan mood: pesan yang
dibawanya. Di sini, Carrey dikisahkan mengambil tantangan untuk mengucap “ya”
terhadap apapun yang ditawarkan kepadanya. Dari awalnya kerap memandang negatif
pada semua hal – bahkan mulai menjauhi teman-temannya – tantangan ini kemudian
memberinya perspektif baru mengenai kehidupan. Hidup terlalu singkat untuk
dihabiskan dengan bersungut-sungut, jadi mengapa tidak dijalani dengan penuh semangat, optimistis, dan mengambil setiap kesempatan yang ada?
andalan lain yang tidak tercantum di atas? Jika ada, jangan ragu-ragu buat
tulis di kolom komentar ya biar bisa dijadikan referensi oleh saya dan pembaca
lain.
Selamat menonton, tetap optimis, dan terus
berbahagia yaaa!

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.