
Bagiku,
tempat terbaik saat ini adalah penjara. Entah dari mana pikiran ini muncul di
usiaku yang baru menginjak lima belas tahun. Mungkin ini tidak adil menurut
banyak orang, tetapi bagiku mendekam dalam jeruji besi adalah satu-satunya
keadilan yang harus dipertaruhkan.
“Dasar pembunuh.” Begitu orang-orang
kampung menghunjamku saat golok yang berlumur darah itu masih lekat di tanganku.
Dan aku menganggap semuanya telah tuntas dan impas.
Di tengah kerumunan yang ramai dengan
umpatan, cercaan dan makian yang hanya tertuju padaku, aku diam membisu. Dari
tatapan mereka, tak ada pembelaan yang membenarkan tindakanku saat itu. Aku
terus mencari, mataku mengitari seluruh warga yang tegak berdiri sejak tadi. Tak
ada sama sekali. Sorot mata mereka terus mengahakimi dan perkataan pedih yang
mengalir dari mulutnya dengan tegas mengamini.
Bibi. Tiba-tiba aku teringat adik ipar
ibuku. Ya, hanya bibi yang mungkin bisa menjelaskan realita yang sebenarnya. Namun,
saat aku hendak menemuinya, langkahku tercegat. Segerombolan polisi datang
menghampiri. Tanpa kehadiran bibi di sini, aku merasa sendiri. Tak ada yang
ikut membisu, menjadi saksi sebelum dia terbujur kaku.
•••
Dinding rumahku terbuat dari anyaman
bambu. Tak ada perabot di dalamnya selain lincak, lemari kayu dan sebuah meja yang
diletakkan di dekat pintu. Rumahku seperti tak terawat semenjak ayah meninggal sekitar
sepuluh tahun yang lalu.
Pagi itu, aku ikut ibu ke pantai,
menunggu ayah yang sedang berlayar. Usiaku baru lima tahun berjalan. Saat terik
matahari mulai menyengat permukaan bumi. Beberapa perahu menepi pada tempatnya
masing-masing. Wajah para istri tampak bahagia menyambut kedatangan suaminya. Aku
dan ibu ikut tersenyum menikmati kebahagiaan mereka. Dan senyum kami semakin
melebar saat dari arah timur, perahu yang ditumpangi ayah mulai mendekat.
Bersama paman, suami bibi, hampir setiap malam ayah pergi melaut, menjaring
ikan dengan semangat yang tak pernah surut.
Kedatangan paman dengan wajah kalut
mengubah terik jadi redup. Langit seolah runtuh, bumi terguncang dahsyat dan
seluruh isinya ikut luruh. Ibu menjerit, aku tercengang kaget, ikut merintih
meski belum sepenuhnya mengerti. Di sana, aku hanya melihat paman datang
seorang diri. Orang-orang berhamburan mendekati, sebagian membopong ibu yang
ternyata tak sadarkan diri. Bibi menggendongku dan membawaku pulang. Sejak itu,
ayah tak ada.
Laut menampakkan keberingasannya lewat
arus dalam yang sulit terdeteksi para nelayan. Ayah tergelincir dan tenggelam
saat hendak menarik jaring ikan dan paman tak kuasa menolongnya. Tujuh hari
sejak kabar duka itu, jasad ayah baru ditemukan. Tubuh ayah mengembung karena
terendam air laut selama seminggu, kulitnya mengelupas, bajunya sobek bagian
punggung dan dada, wajahnya nyaris tak dikenal, berubah bengkak dan putih
seperti kapas. Ibu kembali pingsan, setelah tangisnya membuat bulir-bulir kecil
di mataku ikut mengalir dan bertambah deras dari waktu ke waktu. Peristiwa itu,
semakin memperjelas statusku sebagai anak yatim, yang mengawali kepedihan perjalanan
hidupku hingga kini.
Ibu jadi tulang punggung keluarga. Terkadang
mencari kayu bakar dan dijual ke Bu Atin, yang setiap harinya memasak nira
dengan menggunakan tungku. Sesekali ibu ikut nyolo bersama beberapa
warga, menangkap ikan di malam hari. Kasih sayang ibu adalah warisan ayah yang
paling berharga. Saat usiaku genap delapan tahun, kematian ayah memasuki tahun
ketiga. Ibu enggan menikah lagi, menampik pada setiap lelaki yang datang dengan
maksud menjadikannya istri.
Aku masih ingat, ibu marah besar saat
aku menerima pemberian uang jajan dari lelaki tua yang sering datang ke rumah
dan pulang dengan wajah masam. Waktu itu usiaku masuk empat belas tahun. Dan
aku baru tahu bahwa dia adalah bajing tengik yang telah mengawini banyak wanita
dan akhirnya menjadi janda. Namun, penolakan ibu terhadap lamarannya justru menjadi
buah bibir tetangga yang bukan lagi simpati, tetapi nyaris menikam hati.
“Sudah tahu hidup melarat, masih saja
menampik,” ucap si bibir tipis seperti api yang menyulut sampah kering di
tegalan luas. Menyebar dan terus berkobar.
“Itu namanya tidak kasihan sama
anaknya. Egois. Padahal dia butuh sosok ayah.” Imbuh yang lain tak kalah pedas.
Seperti angin di musim hujan yang menyapu
awan kelabu jadi terang. Seperti dedaunan yang pada masanya akan jatuh
berguguran. Ibu memilih diam tak sedikitpun ada upaya untuk membalas. Kadang aku
yang merasa geram ingin mencabik-cabik mulut tetangga itu dengan pisau yang
tajam. Namun, aku selalu ingat perkataan ibu.
“Dalam hidup ini ada dua perumpamaan
yang ibu tahu dari ayahmu. Ada anjing yang kerjanya menggongong, ada manusia
yang kerjanya berjalan lurus ke depan. Kau tinggal pilih. Kalau mau jadi
anjing, ikuti cara kerjanya. Kalau mau jadi manusia, ayo kita berjalan
bersama-sama.” Dengan penuh kasih ibu menasehatiku. Dari situlah aku mulai
mengerti, kenapa diam menjadi keputusannya saat dipergunjingkan banyak orang.
Bertahan hidup dalam kemelaratan
ekonomi adalah perjuangan yang menguras banyak tenaga dan pikiran. Kebutuhan
dapur dan sekolahku menjadi prioritas yang selalu ibu perjuangkan. Meski uang
jajanku pas-pasan, SPP sekolah sering nunggak berbulan-bulan, ditambah lagi
dengan susahnya kayu bakar sebagai satu-satunya penghasilan, ibu tidak pernah
mengeluh ataupun menyerah. Ibu percaya bahwa hidup tidak selamanya malam, ada
kalanya siang. Seperti air laut kadang surut, kadang juga pasang.
Hanya sekali, ibu bercerita pada bibi,
bukan soal hidupnya yang susah, tetapi soal ancaman hidup dan mati jika ibu
masih saja tidak mau dinikahi. Aku sudah bisa menebak laki-laki bejat itu. Si
tua bangka yang hampir berkepala enam, semangatnya berapi-api ingin menjadikan
ibu sebagai istri. Bukan ancaman yang ibu cemaskan, tetapi aku yang baru
memasuki remaja, belum bisa bekerja dan masih harus sekolah. Ibu tidak ingin aku
hidup sebatang kara.
Katanya, lelaki tua itu punya ilmu
yang bikin orang tiba-tiba sakit tanpa sebab yang jelas. Orang-orang
menyebutnya seher. Pernah salah satu warga jatuh sakit, setiap kali dia
menjenguknya, sakit yang diderita semakin parah dan akhirnya meninggal. Sudah
banyak korban yang nyawanya melayang dengan sakit yang beragam. Perut kembung,
panas sekujur tubuh, tenggorokan seperti tercekik dan perut mules seperti
ditusuk benda tajam.
Itulah kenapa, pikiranku tertuju
kepadanya saat ibu menyeru sakit di bagian perut. Hampir sepuluh bulan, ibu
menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan oleh medis. Berkali-kali periksa
dan sekali opname, sakit ibu tak juga membaik. Sudah lama uang simpanannya
habis. Untungnya, ada tetangga yang berbaik hati memberi bantuan berupa materi
sebagai kebutuhan hidup sehari-hari.
Sore menjelang senja, ibuku mengerang
kesakitan. Beberapa kali pingsan, sebanyak itu pula aku menangis ketakutan. Bibi
meneteskan air mata. Kedua anaknya mengaji di samping ibu. Saat mata ibu sedikit
terbuka, aku masih melihat senyumnya yang indah, yang sudah lama kurindukan. Namun,
lambat laun senyum itu mulai memudar, matanya pelan-pelan terpejam, napasnya
tersengal dan perlahan tiada.
Gelap. Duniaku kelam mencekam. Tak ada
yang kulihat selain kepekatan dan kekejaman jagad raya yang telah merenggut
semuanya dengan cepat. Sabar dan mengalah yang sering ibu tanamkan sejak dulu seketika
hilang, berubah amarah yang terus meluap dan tak bisa lagi kutahan.
•••
Kematian ibu menggerakkan tekad dan
keberanianku untuk melakukan apa yang sebelumnya tidak pernah terlintas di
pikiranku. Aku berhasil menancapkan golok di perut lelaki bangsat itu saat
sedang tertidur pulas di gardu depan rumahnya. Darahnya muncrat mengenai tanganku.
Wajahnya pucat, dahi dan pelipis matanya mengerut menahan sakit, kedua bibirnya
bergerak tanpa suara.
“Kau yang membunuh ibuku.” Aku
berteriak, golok yang menancap kutekan lebih dalam. Orang-orang mulai
berdatangan. Lalu, golok itu kutarik dan menudingkannya pada mereka.
“Dia telah membunuh ibuku. Dia
pembunuh ibuku.” Aku berteriak lebih keras dengan amarah yang terus meluap.
Tubuhku bergetar, air mataku mengalir deras dan darah dari golok itu tak
henti-henti menetes.
“Kamu punya bukti apa kalau dia
pembunuhnya?” Salah seorang menyambarku dengan pertanyaan yang tak bisa
kujawab. Lidahku kelu, darahku seolah membeku. Yang kutahu, apa yang terjadi
pada ibu adalah angin kiriman dari lelaki itu.
Sampai polisi datang, aku pasrah. Menyerah
bukan karena rasa bersalah. Tetapi, hidup di dalam penjara membuat hatiku terasa
lebih legah.
Pamekasan,
17 Juni 2021
(Juara III dalam lomba cerpen anak yatim yang
diadakan oleh penerbit Jejak Publisher dan dibukukan dalam antologi bersama
berjudul: Anak Yatim)

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.