
Directed by Lexi Alexander ; Produced by Donald Zuckerman, Deborah Del Prete ; Written by Lexi Alexander, Dougie Brimson, Josh Shelov ; Narrated by Elijah Wood ; Starring Elijah Wood, Charlie Hunnam, Claire Forlani, Leo Gregory ; Music by Terence Jay ; Distributed by Baker Street, OddLot Entertainment ; Release date(s) September 9, 2005 ; Running time 109 min. ; Country United Kingdom, United States ; Language English
Matt Buckner(Elijah Wood) baru saja dikeluarkan dari jurusan jurnalisme di Harvard karena ditemukannya obat bius di dalam kamarnya – yang sebenarnya adalah milik roommate-nya yang jahat. Matt kemudian memutuskan untuk ke England mengunjungi kakak perempuannya Shannon (Claire Forlani) yang sudah menikah dengan Steve (Marc Warren). Matt kemudian menjalin pertemanan dengan adik laki-laki Steve, Pete (Charlie Hunnam) yang kemudian memperkenalkan Matt dengan dunianya: sebuah genk (they called it firm) supporter klub sepakbola West Ham United yang tengah berupaya meningkatkan reputasinya di antara genk-genk lainnya.
Gag ada yang lebih nikmat emang daripada menonton film yang penuh dengan cowok-cowok Inggris dengan aksen Inggrisnya yang totally hot. Green Street Hooligans menceritakan tentang sebuah genk pemuja klub sepak bola, yang pastinya anggotanya adalah cowok-cowok Inggris yang hobi berkelahi. Whoaaa… adakah yang lebih seksi dari cockney badboy? Tapi harapan saya sedikit menjadi buyar karena tokoh utamanya adalah seorang mantan hobbit dengan bulu mata yang lentik : Elijah Wood. Sungguh, kesalahan dimulai sejak pemilihan aktor utama. Masih kebayang di otak saya Elijah Wood memerankan Mr. Frodo di Lord of The Ring yang agak lemah. Melepaskan imej-nya sebagai cowok baik-baik dengan tampang imut-imut masih sangat susah untuk dilakukan oleh seorang Elijah Wood.
Wood sebenarnya berakting paling baik di sini – mungkin karena pengalamannya jauh lebih banyak dari aktor-aktor lainnya di sini, cuma kelemahannya memang adalah karakter face-nya yang mustahil untuk tampil garang. Sedangkan aktor-aktor lainnya di sini berakting dengan sangat lemah. Akting mereka sama sekali gag meyakinkan, bahkan termasuk Charlie Hunnam – second character yang namanya nampang di poster film. Padahal dia termasuk cukup sentral di sini. Untung Charlie Hunnam sempet tampil shirtless di sini jadi setidaknya menambah poin plus di mata saya.
“We learn that violence is bad, except when it feels good, or helps solve our problems” – Gary Thompson, Philadelphia Daily News.
*Watch out! Kalimat berikut mengandung Spoiler* Dan ketika Pete akhirnya tersungkur tidak bernyawa pada perkelahian di akhir film, tak ada kesedihan yang muncul di benak saya. Yang ada malah : Sukurin! Semua juga tahu bahwa hal-hal sok jagoan macam gini mungkin awalnya menyenangkan, tapi semua juga sudah tahu kalo nyawa berpeluang besar melayang… *oke, spoiler berakhir*.
Banyak konflik-konflik yang kemudian dilibatkan, berakhir di ‘awang-awang’ tanpa eksekusi yang manis. Contohnya, kayak bagaimana Matt berantem ama Bapaknya sendiri yang kerja sebagai jurnalis, serta bagaimana kakak perempuannya itu langsung pergi ke Inggris setelah ibu mereka meninggal. Hal ini disampaikan di film, namun nyatanya gag ada penyelesaian yang jelas sampai akhir. Intinya, perjalanan Matt ke England dan kemudian ia mulai belajar berkelahi (*once again, tanpa alasan yang jelas*), mengajarkan kepada Matt bahwa ia harus melawan. Makanya, *spoiler starts* di akhir film Matt akhirnya berani untuk melawan roommatenya yang ngeselin yang membuatnya harus keluar dari universitas terbaik di dunia. Tapi saya pikir, kenapa kayak gini aja harus nunggu belajar berkelahi dan harus nunggu dulu sampai ada yang mati?! *spoiler end*.
Tidak direkomendasikan untuk:
Penggemar sepakbola. Cerita ini adalah sebuah melodramatik yang kebetulan aja melibatkan fans sepakbola.

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.