Baru-baru ini saya mencoba mencatat beberapa nama sinematografer atau director of photography yang sering saya temukan di film-film yang pernah saya tonton, kemudian saya rampingkan menjadi lima nama yang paling saya sukai hasil karyanya. Apakah mereka, sadar atau tidak, favorit Anda juga?
1. Janusz Kaminski
Dari yang saya saksikan, kolaborator tetap duo sineas Coen bersaudara ini sepertinya belum pernah terlibat dalam film yang terlalu hingar bingar, umumnya bergenre drama berlaju tenang, namun gambar-gambar yang ditangkapnya bukannya tidak istimewa. Roger Deakins senantiasa menampilkan gambar yang bersih, mulus, sudut-sudut pengambilan yang kreatif, permainan fokus nan tajam, pencahayaan yang padu, pergerakan yang lembut, dan sempurna dalam menangkap ekspresi wajah aktornya. Singkatnya: indah dan tepat. Tak hanya itu, Deakins pun selama ini mengerjakan film-film yang tidak termasuk kategori tercela, sehingga seakan ada jaminan bahwa film yang melibatkan Deakins pasti layak tonton. Terbukti, film-film yang tata sinematografinya dikerjakan oleh Deakins minimal menuai tanggapan positif oleh kritikus hingga kerap masuk unggulan Academy Awards. Deakins sendiri sampai saat ini mengantongi delapan nominasi untuk kategori sinematografi meski—sayangnya—belum berkesempatan menerima piala itu satu pun.
Film Roger Deakins lainnya yang pernah saya tonton antara lain: Fargo (1996); O Brother, Where Art Thou? (2000); Intolerable Cruelty (2003); House Of Sand And Fog (2003); The Ladykillers (2004); dan The Village (2005). Sedangkan film-filmnya yang terbilang terkenal namun belum saya tonton antara lain: Dead Man Walking (1995); Courage Under Fire (1996); Kundun (1997); The Big Lebowski (1998); The Hurricane (1998); The Man Who Wasn’t There (2001); Jarhead (2005); In The Valley Of Elah (2007); The Assasination Of Jesse James By The Coward Robert Ford (2007); Revolutionary Road (2008); A Serious Man (2009), dan sebagainya.
4. Yadi Sugandi
Yadi Sugandi mungkin adalah salah satu sinematografer Indonesia terbaik saat ini, dan memiliki potensi yang layak dibanggakan. Yadi cukup aktif terlibat dalam film-film nasional semenjak awal kebangkitannya pada tahun 2000-an. Saya sendiri sudah menonton enam filmnya, yaitu Petualangan Sherina (2000), 3 Hari Untuk Selamanya (2007), The Photograph (2007), Under The Tree (2008), Laskar Pelangi (2008), dan baru-baru ini Minggu Pagi di Victoria Park (2010). The Photograph milih Nan T. Achnas adalah film yang membuat saya salut dengan Yadi, karena gambar yang ditampilkan bersih, nyaman dan sangat cantik di tengah kesederhanaan setingnya, bersahaja dan meyakinkan. Kekaguman saya berlanjut di Laskar Pelangi karya Riri Riza, bahwa Yadi berhasil menangkap pemandangan eksotis pulau Belitung dari berbagai sisi dengan luar biasa indah. Tak hanya lewat media film seluloid, Yadi pun tidak gagal merekam lewat format digital dalam film Under The Tree karya Garin Nugroho, setiap angle yang dipilihnya terasa artistik yang rasanya sesuai dengan visi sang sutradara yang dikenal nyeni, meski sayang presentasi gambarnya di bioskop terdegradasi oleh proses transfer dari digital ke film seluloid, sehingga terlihat buram.
Di luar enam film tersebut, film-film lain hasil sorotan kamera Yadi Sugandi yang belum saya simak antara lain Kuldesak (1999); Pasir Berbisik (2001); Eliana, Eliana (2002); Garasi (2006); Jatuh Cinta Lagi (2006); Koper (2006); Pesan Dari Surga (2006); dan Lost In Love (2008), dan lain-lain.
5. Robert Richardson
Awalnya saya kurang ngeh dengan nama ini, mungkin karena faktor Robert Richardson adalah nama yang sangat umum untuk orang Amerika atau Britania sana. Akan tetapi, ketika saya memeriksa filmografinya, ternyata saya sudah menonton enam buah film beliau. Saya termasuk mengagumi kinerja bapak gondrong ini dalam karya sutradara Quentin Tarantino, yaitu Kill Bill Vol. 1 (2002), Kill Bill Vol. 2 (2003), dan Inglourious Basterds (2009), serta dua karya Martin Scorsese yaitu The Aviator (2004) yang membuahkannya sebuah piala Oscar, dan yang teranyar Shutter Island (2010). Satu filmnya yang saya lupa lupa ingat adalah A Few Good Men (1992) yang beberapa kali tayang di televisi, meski seingat saya sinematografi film itu tidak semembekas film-film yang disebutkan sebelumnya. Dari yang telah saya saksikan, ciri yang menonjol dari film-film Richardson adalah angle yang kadang ekstrim dan sumber pencahayaan yang kreatif, serta menyorot detil-detil dari dekat dengan cantiknya. Mungkin itu sebabnya ia sering diajak kerja sama oleh sutradara-sutradara bervisi antik seperti Tarantino, Scorsese, dan Oliver Stone.Banyak sekali film terkenal yang melibatkan Richardson namun belum sempat saya saksikan, di antaranya Platoon (1986); Wall Street (1987); Born On The Fourth Of July (1989); The Doors (1991); JFK (1991) yang membuahkan Oscar pertamanya; Natural Born Killers (1994); Casino (1995); Nixon (1995); Wag The Dog (1997); The Horse Whisperer (1998); Snow Falling On The Cedars (1999); The Good Shepherd (2006), dan sebagainya. Ditambah lagi tahun ini Richardson menjadi sinematografer untuk film yang turut mengambil lokasi syuting di Bali, Eat Pray Love (2010). Semoga saja tangkapan kameranya juga seindah pulau Dewata aslinya.
Selain lima nama di atas, berikut beberapa nama lain yang sering saya temukan dalam film-film yang saya tonton, namun sayangnya belum sampai jadi favorit saya:
–
John Seale (Dead Poets Society, The English Patient, City of Angels, The Perfect Storm, Harry Potter and The Sorcerer’s Stone, Dreamcatcher, Cold Mountain dll.)– Dion Beebe (Equillibrium, Chicago, Collateral, Memoirs of a Geisha, Miami Vice, Nine, dll.)
– Oliver Wood (Mighty Joe Young, Freaky Friday, Fantastic Four, The Bourne trilogy, dll.)
– Andrew Lesnie (Babe, The Lord Of The Rings trilogy, King Kong, dll.)
– Christopher Doyle (The Quiet American, Hero, 2046, Lady In The Water, dll.)

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.






