
“We lost. All of us. We lost friends. We lost family. We lost a part of
ourselves. This is the fight of our lives.”
ourselves. This is the fight of our lives.”
Sejujurnya, saya masih agak
kesulitan dalam memformulasikan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan seperti
apa pengalaman menonton Avengers: Endgame.
Yang jelas, instalmen pamungkas dari sepuluh tahun terakhir Marvel Cinematic
Universe (MCU) ini merupakan sebuah sajian spektakuler. Saya bisa mencapai
kesimpulan demikian karena saya masih bisa dibuat menangis sesenggukan berulang
kali (!) sementara di waktu yang sama, diri ini dihujani sederet gangguan yang sungguh
mendistraksi fokus berupa: a) sepasang
kekasih di kursi sebelah asyik berdiskusi dengan volume suara cukup kencang
seolah-olah sedang berada di kafe, b) krucil-krucil berusia tak lebih dari 5
tahun mengoceh tak karuan yang akhirnya baru berhenti setelah orang tuanya saya
tegur, dan c) sinar ponsel yang menyilaukan dari penonton yang tak tahu caranya
menurunkan brightness. Bisa
dibayangkan dong betapa dongkolnya mesti berhadapan dengan manusia-manusia yang
tidak mempunyai kepekaan semacam ini? Anehnya, Avengers: Endgame tetap membawa saya pada pengalaman menonton yang
mungkin saja tidak akan dijumpai dalam waktu dekat. Ada banyak gegap gempita
yang membuat saya girang bukan main bak bocah cilik yang baru saja diberi
mainan baru, ada banyak canda tawa yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal
sampai perut mengencang, ada banyak hamparan visual mencengangkan yang membuat
rahang saya terjatuh ke lantai, dan ada banyak momen-momen emosional yang
membuat saya urung ke toilet lantaran cairan dalam tubuh telah dikeluarkan
melalui mata. Berlebihan? Tunggu hingga kalian mengetahui kalau tubuh saya
bergetar selama bermenit-menit selepas menonton dan tidak tahu lagi harus
mengucap apa.
kesulitan dalam memformulasikan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan seperti
apa pengalaman menonton Avengers: Endgame.
Yang jelas, instalmen pamungkas dari sepuluh tahun terakhir Marvel Cinematic
Universe (MCU) ini merupakan sebuah sajian spektakuler. Saya bisa mencapai
kesimpulan demikian karena saya masih bisa dibuat menangis sesenggukan berulang
kali (!) sementara di waktu yang sama, diri ini dihujani sederet gangguan yang sungguh
mendistraksi fokus berupa: a) sepasang
kekasih di kursi sebelah asyik berdiskusi dengan volume suara cukup kencang
seolah-olah sedang berada di kafe, b) krucil-krucil berusia tak lebih dari 5
tahun mengoceh tak karuan yang akhirnya baru berhenti setelah orang tuanya saya
tegur, dan c) sinar ponsel yang menyilaukan dari penonton yang tak tahu caranya
menurunkan brightness. Bisa
dibayangkan dong betapa dongkolnya mesti berhadapan dengan manusia-manusia yang
tidak mempunyai kepekaan semacam ini? Anehnya, Avengers: Endgame tetap membawa saya pada pengalaman menonton yang
mungkin saja tidak akan dijumpai dalam waktu dekat. Ada banyak gegap gempita
yang membuat saya girang bukan main bak bocah cilik yang baru saja diberi
mainan baru, ada banyak canda tawa yang membuat saya tertawa terpingkal-pingkal
sampai perut mengencang, ada banyak hamparan visual mencengangkan yang membuat
rahang saya terjatuh ke lantai, dan ada banyak momen-momen emosional yang
membuat saya urung ke toilet lantaran cairan dalam tubuh telah dikeluarkan
melalui mata. Berlebihan? Tunggu hingga kalian mengetahui kalau tubuh saya
bergetar selama bermenit-menit selepas menonton dan tidak tahu lagi harus
mengucap apa.
Dengan impak sedemikian hebat,
sudah barang tentu Avengers: Endgame telah
melampaui segala ekspektasi yang saya tanamkan untuk film ini. Seusai
menyaksikan Avengers: Infinity War
(2018), saya sempat dirundung sikap skeptis. I mean, Infinity War
sudah keburu menetapkan standar sangat tinggi bagi superhero movies. Pertarungannya liar sampai-sampai planet pun bisa
dilempar-lempar seenaknya selaiknya bola basket, Thanos membuktikan bahwa dia
adalah definisi dari supervillain
yang sesungguhnya, dan babak klimaksnya… phew.
Pertempuran di Wakanda beserta momen “I
don’t feel so good” akan selalu dikenang oleh para penggila budaya populer
sampai kapanpun. Jadi, apa yang bakal dikedepankan oleh Anthony dan Joe Russo
selanjutnya demi menghadirkan “salam perpisahan” yang membekas kuat di ingatan
para penggemar? Kepenasaran inilah yang menggelayuti benak tatkala hendak
menyaksikan Endgame. Terlebih lagi,
pihak Marvel Studios pun tidak banyak memberikan bocoran terkait
kegilaan-kegilaan seperti apa yang bisa diantisipasi disini. Untuk materi
promosi berupa trailer saja, mereka mencomotnya dari 15 menit pertama. Itu
berarti, kita tidak diberi bayangan apapun mengenai 165 menit terakhir
sekalipun ada beragam teori bermunculan di dunia maya. So exciting, rite? Dan ya, perasaan bersemangat yang
membuncah-buncah ini tetap bertahan sampai lampu bioskop dimatikan lalu saya
pun tenggelam ke dalam narasi (sampai kemudian disadarkan oleh
penonton-penonton menyebalkan di atas kalau ini hanyalah film, damn it!). Ada beragam emosi yang
mencuat secara silih berganti sedari menit pembuka sampai menit penutup
sehingga sulit bagi saya untuk tidak berujar, “wow, wow, wow!”
sudah barang tentu Avengers: Endgame telah
melampaui segala ekspektasi yang saya tanamkan untuk film ini. Seusai
menyaksikan Avengers: Infinity War
(2018), saya sempat dirundung sikap skeptis. I mean, Infinity War
sudah keburu menetapkan standar sangat tinggi bagi superhero movies. Pertarungannya liar sampai-sampai planet pun bisa
dilempar-lempar seenaknya selaiknya bola basket, Thanos membuktikan bahwa dia
adalah definisi dari supervillain
yang sesungguhnya, dan babak klimaksnya… phew.
Pertempuran di Wakanda beserta momen “I
don’t feel so good” akan selalu dikenang oleh para penggila budaya populer
sampai kapanpun. Jadi, apa yang bakal dikedepankan oleh Anthony dan Joe Russo
selanjutnya demi menghadirkan “salam perpisahan” yang membekas kuat di ingatan
para penggemar? Kepenasaran inilah yang menggelayuti benak tatkala hendak
menyaksikan Endgame. Terlebih lagi,
pihak Marvel Studios pun tidak banyak memberikan bocoran terkait
kegilaan-kegilaan seperti apa yang bisa diantisipasi disini. Untuk materi
promosi berupa trailer saja, mereka mencomotnya dari 15 menit pertama. Itu
berarti, kita tidak diberi bayangan apapun mengenai 165 menit terakhir
sekalipun ada beragam teori bermunculan di dunia maya. So exciting, rite? Dan ya, perasaan bersemangat yang
membuncah-buncah ini tetap bertahan sampai lampu bioskop dimatikan lalu saya
pun tenggelam ke dalam narasi (sampai kemudian disadarkan oleh
penonton-penonton menyebalkan di atas kalau ini hanyalah film, damn it!). Ada beragam emosi yang
mencuat secara silih berganti sedari menit pembuka sampai menit penutup
sehingga sulit bagi saya untuk tidak berujar, “wow, wow, wow!”

Melanjutkan apa yang ditinggalkan
oleh Infinity War, penonton kembali
dipertemukan dengan sejumlah personil Avengers yang masih tersisa seperti Tony
Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth),
Bruce Banner (Mark Ruffalo), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rocket
(Bradley Cooper), James Rhodes (Don Cheadle), serta Clint Barton (Jeremy
Renner). Selama setidaknya 30 menit pertama, Endgame memilih untuk menempatkan fokusnya pada fase berduka yang
merongrong karakter-karakter ini pasca kegagalan mereka dalam menghentikan
Thanos (Josh Brolin) untuk melenyapkan separuh penghuni alam semesta. Kita melihat
Tony yang memilih untuk melanjutkan hidup bersama Pepper Potts (Gwyneth
Paltrow) di pedesaan, Bruce yang akhirnya mampu mendamaikan dirinya dengan
alter egonya memilih untuk menjalani hidup sebagai selebriti kecil-kecilan,
Thor yang mencari pelampiasan guna menutupi rasa bersalahnya lantaran telah
gagal menjadi seorang pelindung, serta Steve yang memutuskan untuk membentuk group therapy bagi mereka yang belum mampu
menerima kenyataan bahwa orang terkasih telah tiada. Ya, menit-menit awal yang
berlangsung dengan nada penceritaan muram dan cenderung depresif ini, si
pembuat film berupaya menunjukkan sisi lain dari para personil Avengers yang
manusiawi. Mereka berbuat kesalahan, mereka gagal, dan mereka juga terpuruk. Yang
kemudian membuat mereka layak menyandang gelar sebagai “pahlawan” adalah
kesediaan untuk bangkit dari keterpurukan lalu sebisa mungkin memperbaiki
kesalahan di masa lampau meski ada konsekuensi besar yang menanti. Inspiratif? Jelas.
Menariknya lagi, Endgame tak hanya mengajak
penonton untuk memperbincangkan perihal penerimaan dan melanjutkan hidup,
tetapi juga soal keluarga, persahabatan, serta pengorbanan yang seketika
menempatkan seri ini sebagai salah satu superhero
movie dengan narasi paling kompleks.
oleh Infinity War, penonton kembali
dipertemukan dengan sejumlah personil Avengers yang masih tersisa seperti Tony
Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth),
Bruce Banner (Mark Ruffalo), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), Rocket
(Bradley Cooper), James Rhodes (Don Cheadle), serta Clint Barton (Jeremy
Renner). Selama setidaknya 30 menit pertama, Endgame memilih untuk menempatkan fokusnya pada fase berduka yang
merongrong karakter-karakter ini pasca kegagalan mereka dalam menghentikan
Thanos (Josh Brolin) untuk melenyapkan separuh penghuni alam semesta. Kita melihat
Tony yang memilih untuk melanjutkan hidup bersama Pepper Potts (Gwyneth
Paltrow) di pedesaan, Bruce yang akhirnya mampu mendamaikan dirinya dengan
alter egonya memilih untuk menjalani hidup sebagai selebriti kecil-kecilan,
Thor yang mencari pelampiasan guna menutupi rasa bersalahnya lantaran telah
gagal menjadi seorang pelindung, serta Steve yang memutuskan untuk membentuk group therapy bagi mereka yang belum mampu
menerima kenyataan bahwa orang terkasih telah tiada. Ya, menit-menit awal yang
berlangsung dengan nada penceritaan muram dan cenderung depresif ini, si
pembuat film berupaya menunjukkan sisi lain dari para personil Avengers yang
manusiawi. Mereka berbuat kesalahan, mereka gagal, dan mereka juga terpuruk. Yang
kemudian membuat mereka layak menyandang gelar sebagai “pahlawan” adalah
kesediaan untuk bangkit dari keterpurukan lalu sebisa mungkin memperbaiki
kesalahan di masa lampau meski ada konsekuensi besar yang menanti. Inspiratif? Jelas.
Menariknya lagi, Endgame tak hanya mengajak
penonton untuk memperbincangkan perihal penerimaan dan melanjutkan hidup,
tetapi juga soal keluarga, persahabatan, serta pengorbanan yang seketika
menempatkan seri ini sebagai salah satu superhero
movie dengan narasi paling kompleks.
Walau mengetengahkan bahan
pembicaraan yang tergolong sendu dan gelap, Endgame
tak pernah melupakan khitahnya sebagai tontonan superhero yang mengusung sikap optimis sekaligus sajian eskapisme
yang bertujuan untuk memberi penghiburan kepada penonton yang membutuhkan obat
pelepas penat. Itulah mengapa, sekalipun film merentang panjang hingga 3 jam
lamanya, rasa kantuk bukanlah satu hal yang patut dirisaukan. Disela-sela
narasi mengenai pergolakan batin yang ada kalanya depresif, Russo bersaudara
beserta duo penulis naskah Christopher Markus-Stephen McFeely tak lupa untuk
tetap menghadirkan ciri khas dari MCU, yakni humor dan hati. Penonton yang
datang ke bioskop semata-mata ingin memperoleh hiburan dapat menjumpainya
melalui pertempuran-pertempuran heboh di sepanjang durasi yang lantas mencapai
titik kulminasinya pada satu jam terakhir yang membelalakkan mata saking
epiknya, dan melalui asupan-asupan humor yang keseluruhannya mampu dilontarkan
secara efektif. Entah itu dari celetukan-celetukan para karakter (saya ngakak lepas
berderai-derai sewaktu Natasha membahas “email dari rakun”) yang tak sedikit
diantaranya turut menyelipkan referensi ke budaya populer maupun dari tindakan-tindakan
konyol para personil dimana setiap karakter protagonis diberi kesempatan untuk
ngelaba. Paul Rudd sebagai Scott Lang memperoleh jatah terbesar mengingat pembawaan
karakternya sendiri memang easygoing,
lalu disusul oleh Chris Hemsworth yang bertransformasi dalam wujud Thor yang
belum pernah kalian lihat sebelumnya, Mark Ruffalo kembali melipur lara
penonton berkat interpretasinya sebagai Hulk yang sekali ini mampu mengelola
emosi, dan Bradley Cooper juga lucu dalam menyuarakan Rocket yang ceriwisnya
bukan kepalang. Kocak, kocak, kocak.
pembicaraan yang tergolong sendu dan gelap, Endgame
tak pernah melupakan khitahnya sebagai tontonan superhero yang mengusung sikap optimis sekaligus sajian eskapisme
yang bertujuan untuk memberi penghiburan kepada penonton yang membutuhkan obat
pelepas penat. Itulah mengapa, sekalipun film merentang panjang hingga 3 jam
lamanya, rasa kantuk bukanlah satu hal yang patut dirisaukan. Disela-sela
narasi mengenai pergolakan batin yang ada kalanya depresif, Russo bersaudara
beserta duo penulis naskah Christopher Markus-Stephen McFeely tak lupa untuk
tetap menghadirkan ciri khas dari MCU, yakni humor dan hati. Penonton yang
datang ke bioskop semata-mata ingin memperoleh hiburan dapat menjumpainya
melalui pertempuran-pertempuran heboh di sepanjang durasi yang lantas mencapai
titik kulminasinya pada satu jam terakhir yang membelalakkan mata saking
epiknya, dan melalui asupan-asupan humor yang keseluruhannya mampu dilontarkan
secara efektif. Entah itu dari celetukan-celetukan para karakter (saya ngakak lepas
berderai-derai sewaktu Natasha membahas “email dari rakun”) yang tak sedikit
diantaranya turut menyelipkan referensi ke budaya populer maupun dari tindakan-tindakan
konyol para personil dimana setiap karakter protagonis diberi kesempatan untuk
ngelaba. Paul Rudd sebagai Scott Lang memperoleh jatah terbesar mengingat pembawaan
karakternya sendiri memang easygoing,
lalu disusul oleh Chris Hemsworth yang bertransformasi dalam wujud Thor yang
belum pernah kalian lihat sebelumnya, Mark Ruffalo kembali melipur lara
penonton berkat interpretasinya sebagai Hulk yang sekali ini mampu mengelola
emosi, dan Bradley Cooper juga lucu dalam menyuarakan Rocket yang ceriwisnya
bukan kepalang. Kocak, kocak, kocak.

Berkelindan bersama segala kemeriahan
medan pertempuran dan adu ngebanyol adalah sederet elemen dramatik yang membuat
hati mencelos. Salah satu yang menjadi favorit saya secara pribadi (well,
ini mungkin akan bersifat spoiler
karena adegannya sendiri tak pernah dipromosikan) adalah ketika para
personil Avengers memiliki kesempatan untuk menjelajah waktu ke tahun-tahun
lampau demi mencuri “batu akik ajaib” agar tak jatuh ke tangan raksasa ungu
berdagu getuk lindri tersebut. Diniatkan sebagai momen untuk bernostalgia dan
penghormatan terhadap fase-fase MCU terdahulu, sebagian adegan yang muncul
dalam misi penjelajahan waktu ini memiliki tonjokan hebat ke emosi. Adegan-adegan
yang saya maksud antara lain saat Thor mendapat kesempatan untuk mengucap salam
perpisahan kepada ibunda di menit-menit terakhir sebelum beliau berpulang, ketika
Tony memperoleh quality conversation
bersama ayahanda yang tak pernah dibayangkannya, serta tatkala Steve bisa
melihat langsung belahan jiwanya. Disamping performa hebat dari jajaran pemain khususnya
Robert Downey Jr. (serius, dia layak diganjar nominasi Oscar!), Chris Hemsworth,
Chris Evans, Scarlett Johansson, dan Paul Rudd, kesanggupan penonton untuk
menginvestasikan emosi pada banyak adegan merupakan hasil kerja keras para tim
dalam membangun MCU selama sepuluh tahun terakhir secara terstruktur.
medan pertempuran dan adu ngebanyol adalah sederet elemen dramatik yang membuat
hati mencelos. Salah satu yang menjadi favorit saya secara pribadi (well,
ini mungkin akan bersifat spoiler
karena adegannya sendiri tak pernah dipromosikan) adalah ketika para
personil Avengers memiliki kesempatan untuk menjelajah waktu ke tahun-tahun
lampau demi mencuri “batu akik ajaib” agar tak jatuh ke tangan raksasa ungu
berdagu getuk lindri tersebut. Diniatkan sebagai momen untuk bernostalgia dan
penghormatan terhadap fase-fase MCU terdahulu, sebagian adegan yang muncul
dalam misi penjelajahan waktu ini memiliki tonjokan hebat ke emosi. Adegan-adegan
yang saya maksud antara lain saat Thor mendapat kesempatan untuk mengucap salam
perpisahan kepada ibunda di menit-menit terakhir sebelum beliau berpulang, ketika
Tony memperoleh quality conversation
bersama ayahanda yang tak pernah dibayangkannya, serta tatkala Steve bisa
melihat langsung belahan jiwanya. Disamping performa hebat dari jajaran pemain khususnya
Robert Downey Jr. (serius, dia layak diganjar nominasi Oscar!), Chris Hemsworth,
Chris Evans, Scarlett Johansson, dan Paul Rudd, kesanggupan penonton untuk
menginvestasikan emosi pada banyak adegan merupakan hasil kerja keras para tim
dalam membangun MCU selama sepuluh tahun terakhir secara terstruktur.
Kita melewatkan
banyak waktu bersama para personil Avengers, kita menyaksikan mereka bertumbuh
sebagai karakter, kita mendengar kisah hidup mereka, dan kita pun menjadi saksi
kunci atas perjuangan-perjuangan mereka yang tak pernah sekalipun mudah. Tanpa pernah
disadari, mereka telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Maka begitu Endgame menghamparkan pertarungan
terakbar dalam sejarah hidup setiap personil, sulit untuk membendung air mata. Ada
kebahagiaan karena film memunculkan karakter-karakter favorit dalam satu titik,
ada kebanggaan bisa melihat mereka sanggup mencapai posisi ini, dan ada
kesedihan karena kemungkinan untuk tak lagi berjumpa terbuka begitu lebar. Saat
film akhirnya mencapai ujung durasi, saya hanya bisa berkata lirih, “thank you, Stan Lee! Thank you, MCU! I love you 3000”. Endgame jelas merupakan persembahan yang
sangat istimewa untuk para penggemar MCU yang telah setia menemani selama satu
dekade terakhir. Jika saja saya menonton film ini bersama orang-orang terkasih, saya mungkin langsung memeluk mereka erat-erat setelah lampu bioskop dinyalakan.
banyak waktu bersama para personil Avengers, kita menyaksikan mereka bertumbuh
sebagai karakter, kita mendengar kisah hidup mereka, dan kita pun menjadi saksi
kunci atas perjuangan-perjuangan mereka yang tak pernah sekalipun mudah. Tanpa pernah
disadari, mereka telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Maka begitu Endgame menghamparkan pertarungan
terakbar dalam sejarah hidup setiap personil, sulit untuk membendung air mata. Ada
kebahagiaan karena film memunculkan karakter-karakter favorit dalam satu titik,
ada kebanggaan bisa melihat mereka sanggup mencapai posisi ini, dan ada
kesedihan karena kemungkinan untuk tak lagi berjumpa terbuka begitu lebar. Saat
film akhirnya mencapai ujung durasi, saya hanya bisa berkata lirih, “thank you, Stan Lee! Thank you, MCU! I love you 3000”. Endgame jelas merupakan persembahan yang
sangat istimewa untuk para penggemar MCU yang telah setia menemani selama satu
dekade terakhir. Jika saja saya menonton film ini bersama orang-orang terkasih, saya mungkin langsung memeluk mereka erat-erat setelah lampu bioskop dinyalakan.
Note : Tidak ada adegan tambahan, tapi ada tribute kepada “The Original
6” di end credit yang
mengharukan.
6” di end credit yang
mengharukan.
Outstanding (5/5)


, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.