
“Gimana caranya bahagia, kalau sedih aja nggak tahu rasanya kayak apa?”
(Ada sekelumit bahasan mengenai menit-menit puncak di paragraf akhir. Bagi beberapa orang mungkin dianggap spoiler, meski saya tidak menjabarkan secara spesifik.)
Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini adalah sebuah fenomena di
khasanah perbukuan tanah air. Betapa tidak, saat pertama kali diterbitkan pada
bulan Oktober 2018 silam, buku rekaan Marchella FP tersebut mampu terjual lebih
dari 5 ribu eksemplar hanya dalam kurun waktu sehari. Itupun sebatas mencakup
Pulau Jawa dan belum pula ditambahkan dengan penjualan melalui pre-order yang tak kalah dahsyatnya.
Hingga ulasan ini diturunkan, buku berisi kutipan kalimat-kalimat perenungan
hidup ini sudah mencapai cetakan ke-12 dan masih banyak diburu oleh khalayak
ramai. Mengagumkan, bukan? Menilik respon yang sedemikian antusias dari
masyarakat, tentu tak mengherankan jika kemudian Visinema Pictures meminang Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini untuk
diekranisasi ke layar lebar. Seperti halnya Imperfect
(2018) maupun Aku, Kau, dan KUA (2014)
yang juga disadur dari buku non-fiksi tanpa ada narasi di dalamnya, Angga
Dwimas Sasongko selaku sutradara beserta Jenny Jusuf dan Melarissa Sjarief yang
membantu Angga dalam memoles skenario pun sejatinya mengkreasi satu jalinan
pengisahan baru. Yang menjadi landasan mereka ada dua: 1) karakter bernama Awan
yang dalam materi sumber merupakan “tokoh kunci” yang dikisahkan mengirim surat
berisi wejangan-wejangan untuk anaknya di masa depan, dan 2) jalinan
pengisahannya adalah elaborasi dari kalimat-kalimat bernada kontemplatif di
bukunya yang secara garis besar memperbincangkan tentang keluarga, kebahagiaan
dan kehidupan. Sebuah materi yang mesti diakui menggugah selera lantaran terasa
begitu membumi, begitu dekat, dan begitu personal bagi banyak orang.
khasanah perbukuan tanah air. Betapa tidak, saat pertama kali diterbitkan pada
bulan Oktober 2018 silam, buku rekaan Marchella FP tersebut mampu terjual lebih
dari 5 ribu eksemplar hanya dalam kurun waktu sehari. Itupun sebatas mencakup
Pulau Jawa dan belum pula ditambahkan dengan penjualan melalui pre-order yang tak kalah dahsyatnya.
Hingga ulasan ini diturunkan, buku berisi kutipan kalimat-kalimat perenungan
hidup ini sudah mencapai cetakan ke-12 dan masih banyak diburu oleh khalayak
ramai. Mengagumkan, bukan? Menilik respon yang sedemikian antusias dari
masyarakat, tentu tak mengherankan jika kemudian Visinema Pictures meminang Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini untuk
diekranisasi ke layar lebar. Seperti halnya Imperfect
(2018) maupun Aku, Kau, dan KUA (2014)
yang juga disadur dari buku non-fiksi tanpa ada narasi di dalamnya, Angga
Dwimas Sasongko selaku sutradara beserta Jenny Jusuf dan Melarissa Sjarief yang
membantu Angga dalam memoles skenario pun sejatinya mengkreasi satu jalinan
pengisahan baru. Yang menjadi landasan mereka ada dua: 1) karakter bernama Awan
yang dalam materi sumber merupakan “tokoh kunci” yang dikisahkan mengirim surat
berisi wejangan-wejangan untuk anaknya di masa depan, dan 2) jalinan
pengisahannya adalah elaborasi dari kalimat-kalimat bernada kontemplatif di
bukunya yang secara garis besar memperbincangkan tentang keluarga, kebahagiaan
dan kehidupan. Sebuah materi yang mesti diakui menggugah selera lantaran terasa
begitu membumi, begitu dekat, dan begitu personal bagi banyak orang.
Dalam versi layar lebar Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini,
karakter yang ditempatkan di posisi sentral masihlah Awan (Rachel Amanda) yang
diceritakan sebagai bungsu dari tiga bersaudara. Dia mempunyai dua kakak,
Angkasa (Rio Dewanto) dan Aurora (Sheila Dara), yang menunjukkan sikap bertolak
belakang kepadanya. Angkasa tak ubahnya malaikat pelindung bagi Awan yang sigap
dalam mengulurkan bantuan untuk adiknya, sementara Aurora justru menciptakan
jarak dengan Awan lantaran ada perasaan cemburu yang terpendam. Pemicunya
berasal dari kedua orang tuanya, Narendra (Donny Damara) dan Ajeng (Susan
Bachtiar), yang kelewat memanjakan Awan sampai abai dengan keberadaan Aurora.
Si bungsu tidak boleh kesusahan, tidak boleh bersedu sedan, dan semestinya
selalu dilindungi. Oleh karena itu, Narendra memberlakukan batasan-batasan
mengenai apa yang boleh dilakukan oleh Awan dan dia pun menugaskan Angkasa
untuk senantiasa menjaga sang adik termasuk menyediakan fasilitas antar jemput
ke kantor. Sikap overprotektif Narendra ini secara perlahan tapi pasti
membentuk Awan sebagai pribadi yang pembangkang. Dia enggan lagi menuruti
perkataan sang ayah, utamanya setelah berkenalan dengan manager dari band
kesukaannya, Kale (Ardhito Pramono), yang memberinya perspektif menarik
mengenai menjalani hidup. Merasa bahwa putri bungsunya tidak lagi bisa diatur,
Narendra jelas naik pitam yang lantas memantik percikan-percikan konflik dengan
ketiga anaknya. Dari pertikaian hebat antara empat manusia ini, sebuah rahasia
memilukan yang selama ini berusaha untuk dipendam pun mengemuka yang memaksa
setiap personil keluarga untuk berdamai dengan duka dan luka.
karakter yang ditempatkan di posisi sentral masihlah Awan (Rachel Amanda) yang
diceritakan sebagai bungsu dari tiga bersaudara. Dia mempunyai dua kakak,
Angkasa (Rio Dewanto) dan Aurora (Sheila Dara), yang menunjukkan sikap bertolak
belakang kepadanya. Angkasa tak ubahnya malaikat pelindung bagi Awan yang sigap
dalam mengulurkan bantuan untuk adiknya, sementara Aurora justru menciptakan
jarak dengan Awan lantaran ada perasaan cemburu yang terpendam. Pemicunya
berasal dari kedua orang tuanya, Narendra (Donny Damara) dan Ajeng (Susan
Bachtiar), yang kelewat memanjakan Awan sampai abai dengan keberadaan Aurora.
Si bungsu tidak boleh kesusahan, tidak boleh bersedu sedan, dan semestinya
selalu dilindungi. Oleh karena itu, Narendra memberlakukan batasan-batasan
mengenai apa yang boleh dilakukan oleh Awan dan dia pun menugaskan Angkasa
untuk senantiasa menjaga sang adik termasuk menyediakan fasilitas antar jemput
ke kantor. Sikap overprotektif Narendra ini secara perlahan tapi pasti
membentuk Awan sebagai pribadi yang pembangkang. Dia enggan lagi menuruti
perkataan sang ayah, utamanya setelah berkenalan dengan manager dari band
kesukaannya, Kale (Ardhito Pramono), yang memberinya perspektif menarik
mengenai menjalani hidup. Merasa bahwa putri bungsunya tidak lagi bisa diatur,
Narendra jelas naik pitam yang lantas memantik percikan-percikan konflik dengan
ketiga anaknya. Dari pertikaian hebat antara empat manusia ini, sebuah rahasia
memilukan yang selama ini berusaha untuk dipendam pun mengemuka yang memaksa
setiap personil keluarga untuk berdamai dengan duka dan luka.

Sebagai bungsu dari tiga
bersaudara dengan dua kakak perempuan, saya tentu bisa terkoneksi ke sebagian
persoalan yang menghiasi durasi Nanti
Kita Cerita Tentang Hari Ini. Soal ayah yang mempergunakan kekuasannya di
lingkup rumah tangga untuk mengontrol anak-anaknya, soal anak bungsu yang
kehilangan arah tujuan dalam hidup lantaran tidak pernah diberi kekebasan untuk
menentukan pilihannya sendiri sedari cilik, dan soal relasi kurang hangat
dengan anak tengah yang kerap kali dilingkupi amarah akibat ketimpangan dalam
pemberian afeksi dari orang tua. Selama paruh awal, saya yang mengalami segenap
konflik tersebut seolah dibuat bercermin sehingga tak sulit bagi diri ini untuk
tertambat ke guliran pengisahan yang dilantunkan secara perlahan dengan mode
kontemplatif oleh Angga Dwimas Sasongko (Hari
Untuk Amanda, Cahaya Dari Timur Beta
Maluku). Sebuah bentuk pendekatan yang sejalan dengan materi sumbernya yang
memang mengajak para pembacanya untuk merenungi, mempertanyakan, lalu
mendefinisikan kehidupan. Upayanya untuk patuh pada versi buku memang
memunculkan konsekuensi berupa kejanggalan dialog yang acapkali terdengar
kelewat filosofis. Tapi sebagai seseorang yang pernah (dan mungkin masih?)
berada di posisi Awan, saya pribadi tidak terlalu keberatan karena film
menghadirkan pembicaraan menarik melalui tukar dialog maupun pertikaian antar
karakter. Disamping membentuk pertanyaan utama berbunyi “apakah kita semestinya meredam duka demi menciptakan kebahagiaan?”,
ada pula bahan renungan untuk setiap individu mengenai keberanian dalam
menentukan pilihan, bahan obrolan mengenai kerapuhan maskulinitas beserta bahan diskusi setiap keluarga mengenai “keinginan
dan kebutuhan”. Sebuah diskusi yang jelas dibutuhkan oleh seluruh keluarga demi
tercapainya hubungan yang harmonis.
bersaudara dengan dua kakak perempuan, saya tentu bisa terkoneksi ke sebagian
persoalan yang menghiasi durasi Nanti
Kita Cerita Tentang Hari Ini. Soal ayah yang mempergunakan kekuasannya di
lingkup rumah tangga untuk mengontrol anak-anaknya, soal anak bungsu yang
kehilangan arah tujuan dalam hidup lantaran tidak pernah diberi kekebasan untuk
menentukan pilihannya sendiri sedari cilik, dan soal relasi kurang hangat
dengan anak tengah yang kerap kali dilingkupi amarah akibat ketimpangan dalam
pemberian afeksi dari orang tua. Selama paruh awal, saya yang mengalami segenap
konflik tersebut seolah dibuat bercermin sehingga tak sulit bagi diri ini untuk
tertambat ke guliran pengisahan yang dilantunkan secara perlahan dengan mode
kontemplatif oleh Angga Dwimas Sasongko (Hari
Untuk Amanda, Cahaya Dari Timur Beta
Maluku). Sebuah bentuk pendekatan yang sejalan dengan materi sumbernya yang
memang mengajak para pembacanya untuk merenungi, mempertanyakan, lalu
mendefinisikan kehidupan. Upayanya untuk patuh pada versi buku memang
memunculkan konsekuensi berupa kejanggalan dialog yang acapkali terdengar
kelewat filosofis. Tapi sebagai seseorang yang pernah (dan mungkin masih?)
berada di posisi Awan, saya pribadi tidak terlalu keberatan karena film
menghadirkan pembicaraan menarik melalui tukar dialog maupun pertikaian antar
karakter. Disamping membentuk pertanyaan utama berbunyi “apakah kita semestinya meredam duka demi menciptakan kebahagiaan?”,
ada pula bahan renungan untuk setiap individu mengenai keberanian dalam
menentukan pilihan, bahan obrolan mengenai kerapuhan maskulinitas beserta bahan diskusi setiap keluarga mengenai “keinginan
dan kebutuhan”. Sebuah diskusi yang jelas dibutuhkan oleh seluruh keluarga demi
tercapainya hubungan yang harmonis.
Berat? Begitulah adanya. Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini mencoba
untuk menangkap keresehan-keresahan generasi muda masa kini yang boleh jadi acapkali
dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekelilingnya. Keresahan itu
diimplementasikan ke dalam persoalan yang merongong Angkasa dimana dia dibebani
tanggung jawab besar oleh orang tuanya tanpa pernah memiliki waktu untuk
memikirkan dirinya sendiri, lalu Aurora yang seolah dianggap tidak pernah ada
sekalipun kerap menorehkan prestasi, dan Awan yang berkeinginan untuk diberi
kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Tatkala si pembuat film
meletakkan fokusnya pada pergolakan batin tiga individu yang disebabkan oleh “pembungkaman”
dari sang ayah, Nanti Kita Cerita Tentang
Hari Ini terhidang begitu menggigit. Apalagi, film disokong barisan pemain
ansambel yang sodorkan akting memuaskan seperti Rachel Amanda yang cenderung
meletup-letup dalam menunjukkan emosinya sampai pada titik Awan tidak menyadari
ada yang salah dengan tindakannya, Rio Dewanto yang memperlihatkan kewibawaan
seorang kakak yang menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya, dan Sheila Dara
yang tak dibekali banyak dialog tapi sanggup memancarkan kegundahan hati
seorang Aurora melalui sorot mata. Disamping tiga nama utama ini, masih ada
pula Donny Damara beserta Susan Bachtiar yang merepresentasikan masa kini, dan
pelakon-pelakon yang didapuk untuk melakonkan karakter-karakter krusial di masa
lampau dimana kredit khusus patut disematkan kepada Oka Antara, Niken Anjani,
maupun aktris cilik Nayla Denny Purnama yang meyakinkan penonton bahwa Aurora
telah “kehilangan” keluarganya sedari kecil.
untuk menangkap keresehan-keresahan generasi muda masa kini yang boleh jadi acapkali
dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekelilingnya. Keresahan itu
diimplementasikan ke dalam persoalan yang merongong Angkasa dimana dia dibebani
tanggung jawab besar oleh orang tuanya tanpa pernah memiliki waktu untuk
memikirkan dirinya sendiri, lalu Aurora yang seolah dianggap tidak pernah ada
sekalipun kerap menorehkan prestasi, dan Awan yang berkeinginan untuk diberi
kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Tatkala si pembuat film
meletakkan fokusnya pada pergolakan batin tiga individu yang disebabkan oleh “pembungkaman”
dari sang ayah, Nanti Kita Cerita Tentang
Hari Ini terhidang begitu menggigit. Apalagi, film disokong barisan pemain
ansambel yang sodorkan akting memuaskan seperti Rachel Amanda yang cenderung
meletup-letup dalam menunjukkan emosinya sampai pada titik Awan tidak menyadari
ada yang salah dengan tindakannya, Rio Dewanto yang memperlihatkan kewibawaan
seorang kakak yang menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya, dan Sheila Dara
yang tak dibekali banyak dialog tapi sanggup memancarkan kegundahan hati
seorang Aurora melalui sorot mata. Disamping tiga nama utama ini, masih ada
pula Donny Damara beserta Susan Bachtiar yang merepresentasikan masa kini, dan
pelakon-pelakon yang didapuk untuk melakonkan karakter-karakter krusial di masa
lampau dimana kredit khusus patut disematkan kepada Oka Antara, Niken Anjani,
maupun aktris cilik Nayla Denny Purnama yang meyakinkan penonton bahwa Aurora
telah “kehilangan” keluarganya sedari kecil.

Mengobrak-abrik emosi dan ada
kalanya terasa hangat di paruh awal, Nanti
Kita Cerita Tentang Hari Ini sayangnya menjumpai kendalanya pada puluhan
menit terakhir yang ditandai oleh adanya kelokan cerita alias twist. Selain babak pengungkapannya yang
agak terlalu dini, misteri yang semestinya kejut nyata ini nyatanya terasa
kurang meyakinkan. Peristiwanya memang betul traumatis, tapi mengapa harus
disembunyikan selama puluhan tahun? Apakah ini satu cara bagi si pembuat film
untuk berkomunikasi dengan penonton mengenai bahaya dari meredam duka? Bisa jadi
demikian, meski tak seketika bisa membuat saya dapat menerimanya seperti
ketidaksanggupan diri ini untuk menerima keberadaan lagu-lagu pengiringnya yang
lebih sering mengganggu ketimbang menguatkan emosi dari setiap adegan. Lebih-lebih,
twist tersebut justru membuat karakter
Ajeng tampak egois lantaran dia seperti abai dengan keberadaan putra-putrinya. Demi
babak ini, sosoknya sering diperlihatkan “terpisah” dari karakter lain yang
seketika membuat diri ini bertanya-tanya: apakah dia betul-betul ada untuk buah
hatinya? Betulkah dia mencintai mereka? Padahal, saya sempat mengira Ajeng akan
menjadi teman berkeluh kesah bagi Aurora yang senantiasa sendirian baik di
rumah atau di lingkungan kerja. Tapi ternyata dua karakter dengan potensi
konflik paling greget ini justru agak terpinggirkan dalam perjalanan narasi yang
ironisnya menyerupai persoalan yang mendera Aurora. Sayang banget nggak sih?
Andai saja mereka diberi kesempatan untuk lebih dilibatkan ke dalam
penceritaan, diberi kesempatan untuk berbuat, dan diberi kesempatan untuk
menunjukkan transisi perubahan di ujung cerita (alih-alih secara mendadak!),
bukan tidak mungkin Nanti Kita Cerita
Tentang Hari Ini akan lebih menguras emosi. Bahkan dengan kekurangannya ini
saja, saya masih sempat dibuat menitikkan air mata.
kalanya terasa hangat di paruh awal, Nanti
Kita Cerita Tentang Hari Ini sayangnya menjumpai kendalanya pada puluhan
menit terakhir yang ditandai oleh adanya kelokan cerita alias twist. Selain babak pengungkapannya yang
agak terlalu dini, misteri yang semestinya kejut nyata ini nyatanya terasa
kurang meyakinkan. Peristiwanya memang betul traumatis, tapi mengapa harus
disembunyikan selama puluhan tahun? Apakah ini satu cara bagi si pembuat film
untuk berkomunikasi dengan penonton mengenai bahaya dari meredam duka? Bisa jadi
demikian, meski tak seketika bisa membuat saya dapat menerimanya seperti
ketidaksanggupan diri ini untuk menerima keberadaan lagu-lagu pengiringnya yang
lebih sering mengganggu ketimbang menguatkan emosi dari setiap adegan. Lebih-lebih,
twist tersebut justru membuat karakter
Ajeng tampak egois lantaran dia seperti abai dengan keberadaan putra-putrinya. Demi
babak ini, sosoknya sering diperlihatkan “terpisah” dari karakter lain yang
seketika membuat diri ini bertanya-tanya: apakah dia betul-betul ada untuk buah
hatinya? Betulkah dia mencintai mereka? Padahal, saya sempat mengira Ajeng akan
menjadi teman berkeluh kesah bagi Aurora yang senantiasa sendirian baik di
rumah atau di lingkungan kerja. Tapi ternyata dua karakter dengan potensi
konflik paling greget ini justru agak terpinggirkan dalam perjalanan narasi yang
ironisnya menyerupai persoalan yang mendera Aurora. Sayang banget nggak sih?
Andai saja mereka diberi kesempatan untuk lebih dilibatkan ke dalam
penceritaan, diberi kesempatan untuk berbuat, dan diberi kesempatan untuk
menunjukkan transisi perubahan di ujung cerita (alih-alih secara mendadak!),
bukan tidak mungkin Nanti Kita Cerita
Tentang Hari Ini akan lebih menguras emosi. Bahkan dengan kekurangannya ini
saja, saya masih sempat dibuat menitikkan air mata.
Exceeds Expectations (3,5/5)

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.






