
“Kamu, kesalahan yang harus aku hapus.”
Entah dirimu menyukainya atau
tidak, mesti diakui, Pengabdi Setan
(2017) adalah film horor yang fenomenal. Betapa tidak, film arahan Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) ini sanggup membukukan angka penonton hingga 4
juta lebih yang menempatkannya sebagai salah satu film Indonesia paling banyak
dipirsa, dan berhasil pula memboyong sejumlah Piala Citra berkat kualitas
teknisnya yang ciamik. Sebuah pencapaian yang belum pernah bisa diraih oleh
film dari genre seram. Menilik segala kesuksesan yang dicapai baik dari sisi
kritikal maupun finansial, satu tanya lantas hinggap: apa yang akan diperbuat
oleh seorang Joko Anwar di film berikutnya guna melampaui – atau minimal menyamai
– Pengabdi Setan? Usai sedikit bereksperimen
di genre laga melalui Gundala yang memperoleh
resepsi beragam dari para penikmat film, Joko Anwar akhirnya kembali ke arena
bermainnya melalui Perempuan Tanah
Jahanam yang konon telah dipersiapkan sedari bertahun-tahun silam. Ada
beragam faktor yang menyebabkan film berjudul Impetigore untuk peredaran internasional ini sampai berada dalam
status development hell, termasuk
persoalan kesiapan teknis beserta pengembangan karakter dalam narasi yang
membutuhkan waktu cukup panjang. Tapi berkat meledaknya “kisah keluarga ibu”,
CJ Entertainment dari Korea Selatan bersama Ivanhoe Pictures dari Amerika
Serikat pun berkenan untuk bekerja sama dengan Rapi Films dan Base
Entertainment guna mewujudkan salah satu proyek impian Joko yang guliran
pengisahannya turut terinspirasi dari mimpi buruknya di suatu malam ini.
tidak, mesti diakui, Pengabdi Setan
(2017) adalah film horor yang fenomenal. Betapa tidak, film arahan Joko Anwar (Kala, Pintu Terlarang) ini sanggup membukukan angka penonton hingga 4
juta lebih yang menempatkannya sebagai salah satu film Indonesia paling banyak
dipirsa, dan berhasil pula memboyong sejumlah Piala Citra berkat kualitas
teknisnya yang ciamik. Sebuah pencapaian yang belum pernah bisa diraih oleh
film dari genre seram. Menilik segala kesuksesan yang dicapai baik dari sisi
kritikal maupun finansial, satu tanya lantas hinggap: apa yang akan diperbuat
oleh seorang Joko Anwar di film berikutnya guna melampaui – atau minimal menyamai
– Pengabdi Setan? Usai sedikit bereksperimen
di genre laga melalui Gundala yang memperoleh
resepsi beragam dari para penikmat film, Joko Anwar akhirnya kembali ke arena
bermainnya melalui Perempuan Tanah
Jahanam yang konon telah dipersiapkan sedari bertahun-tahun silam. Ada
beragam faktor yang menyebabkan film berjudul Impetigore untuk peredaran internasional ini sampai berada dalam
status development hell, termasuk
persoalan kesiapan teknis beserta pengembangan karakter dalam narasi yang
membutuhkan waktu cukup panjang. Tapi berkat meledaknya “kisah keluarga ibu”,
CJ Entertainment dari Korea Selatan bersama Ivanhoe Pictures dari Amerika
Serikat pun berkenan untuk bekerja sama dengan Rapi Films dan Base
Entertainment guna mewujudkan salah satu proyek impian Joko yang guliran
pengisahannya turut terinspirasi dari mimpi buruknya di suatu malam ini.
Dalam Perempuan Tanah Jahanam, poros penceritaan berpusat pada seorang
perempuan bernama Maya (Tara Basro). Bersama dengan kawan baiknya, Dini
(Marissa Anita), Maya membuka kios pakaian di pasar tradisional guna menyambung
hidup di ibukota yang kejam. Kehidupan dua sahabat yang serba pas-pasan ini
mungkin akan berakhir dalam waktu dekat setelah Maya mendapati fakta bahwa
keluarga yang tidak pernah diingatnya tergolong kaya. Fakta ini didapatnya dari
seorang laki-laki misterius yang berusaha untuk membunuhnya dalam suatu malam.
Ditemani Dini yang juga dilingkupi rasa penasaran, Maya pun berinisiatif untuk
mengunjungi kampung halamannya di Desa Harjosari yang teramat sangat terpencil.
Tidak memiliki kerabat yang dikenal baik, keduanya pun memutuskan untuk
menginap di rumah masa kecil Maya yang telah lama terbengkalai. Rumah besar
yang dipenuhi sarang laba-laba itu memang menggoreskan kesan seram sejak
pertama kali dimasuki. Tapi tingkat keseramannya terbilang relatif kecil
dibanding Desa Harjosari yang aneh. Sedari Maya dan Dini tiba di sana, telah
berlangsung beberapa kali prosesi pemakaman. Keduanya juga menyadari, tidak ada
anak kecil di desa ini dan penduduknya pun tampak menaruh curiga kepada mereka.
Demi mempersingkat waktu kunjungan yang tidak menyenangkan ini, mereka lantas
mencoba untuk berbincang dengan orang paling dihormati di desa tersebut, Ki
Saptadi (Ario Bayu), yang mengetahui tentang masa lalu Maya. Hanya saja,
alih-alih memperoleh apa yang dimaui, keduanya justru harus menghadapi rahasia
mengerikan yang tersembunyi di Desa Harjosari.
perempuan bernama Maya (Tara Basro). Bersama dengan kawan baiknya, Dini
(Marissa Anita), Maya membuka kios pakaian di pasar tradisional guna menyambung
hidup di ibukota yang kejam. Kehidupan dua sahabat yang serba pas-pasan ini
mungkin akan berakhir dalam waktu dekat setelah Maya mendapati fakta bahwa
keluarga yang tidak pernah diingatnya tergolong kaya. Fakta ini didapatnya dari
seorang laki-laki misterius yang berusaha untuk membunuhnya dalam suatu malam.
Ditemani Dini yang juga dilingkupi rasa penasaran, Maya pun berinisiatif untuk
mengunjungi kampung halamannya di Desa Harjosari yang teramat sangat terpencil.
Tidak memiliki kerabat yang dikenal baik, keduanya pun memutuskan untuk
menginap di rumah masa kecil Maya yang telah lama terbengkalai. Rumah besar
yang dipenuhi sarang laba-laba itu memang menggoreskan kesan seram sejak
pertama kali dimasuki. Tapi tingkat keseramannya terbilang relatif kecil
dibanding Desa Harjosari yang aneh. Sedari Maya dan Dini tiba di sana, telah
berlangsung beberapa kali prosesi pemakaman. Keduanya juga menyadari, tidak ada
anak kecil di desa ini dan penduduknya pun tampak menaruh curiga kepada mereka.
Demi mempersingkat waktu kunjungan yang tidak menyenangkan ini, mereka lantas
mencoba untuk berbincang dengan orang paling dihormati di desa tersebut, Ki
Saptadi (Ario Bayu), yang mengetahui tentang masa lalu Maya. Hanya saja,
alih-alih memperoleh apa yang dimaui, keduanya justru harus menghadapi rahasia
mengerikan yang tersembunyi di Desa Harjosari.

Muncul selepas Pengabdi Setan yang terbilang ciamik dan
merupakan salah satu film terseram dekade ini, Perempuan Tanah Jahanam memang memboyong beban ekspektasi yang
besar. Pun begitu, film ini cukup sanggup memenuhi pengharapan saya dengan
menghadirkan sebuah sajian yang senantiasa membuat jantung berdegup kencang dan
memantik kecemasan dalam menanti apa yang akan terjadi. Bahkan, si pembuat film
tidak menunggu waktu terlalu lama untuk menebar kengerian kepada penonton
karena sejak adegan pembuka, Perempuan
Tanah Jahanam telah mengondisikan kita untuk berseru “jahanam sekali film ini!.” Saya bisa memastikan, adegan pembuka
kreasi Joko Anwar ini adalah yang terbaik dalam sinema tanah air khususnya
genre horor. Memboyong penonton ke gerbang tol yang sepi nan gelap di suatu
malam, kita melihat Maya tengah bercakap-cakap dengan Dini melalui ponsel
genggam seraya melayani para pengemudi mobil yang melintas. Pada mulanya, topik
obrolan mereka tergolong santuy dipenuhi dengan candaan yang cenderung
nyerempet (ehem, 17+) sampai kemudian Maya mempergunjingkan soal pengemudi
misterius. Sedari titik ini, intensitas perlahan mengalami eskalasi yang lantas
kian tak terbendung setelah pengemudi yang dimaksud menampakkan diri. Saya tak
akan membeberkan apa yang selanjutnya menghiasi layar. Yang bisa saya katakan
adalah, pengemasan adegan yang ditunjang sinematografi beserta penyuntingan
tangkas memungkinkan nuansa tampak begitu mengancam dan membuat bulu kuduk
meremang. Sebuah appetizer yang tentu
mengundang selera untuk mencicipi sajian lebih lanjut.
merupakan salah satu film terseram dekade ini, Perempuan Tanah Jahanam memang memboyong beban ekspektasi yang
besar. Pun begitu, film ini cukup sanggup memenuhi pengharapan saya dengan
menghadirkan sebuah sajian yang senantiasa membuat jantung berdegup kencang dan
memantik kecemasan dalam menanti apa yang akan terjadi. Bahkan, si pembuat film
tidak menunggu waktu terlalu lama untuk menebar kengerian kepada penonton
karena sejak adegan pembuka, Perempuan
Tanah Jahanam telah mengondisikan kita untuk berseru “jahanam sekali film ini!.” Saya bisa memastikan, adegan pembuka
kreasi Joko Anwar ini adalah yang terbaik dalam sinema tanah air khususnya
genre horor. Memboyong penonton ke gerbang tol yang sepi nan gelap di suatu
malam, kita melihat Maya tengah bercakap-cakap dengan Dini melalui ponsel
genggam seraya melayani para pengemudi mobil yang melintas. Pada mulanya, topik
obrolan mereka tergolong santuy dipenuhi dengan candaan yang cenderung
nyerempet (ehem, 17+) sampai kemudian Maya mempergunjingkan soal pengemudi
misterius. Sedari titik ini, intensitas perlahan mengalami eskalasi yang lantas
kian tak terbendung setelah pengemudi yang dimaksud menampakkan diri. Saya tak
akan membeberkan apa yang selanjutnya menghiasi layar. Yang bisa saya katakan
adalah, pengemasan adegan yang ditunjang sinematografi beserta penyuntingan
tangkas memungkinkan nuansa tampak begitu mengancam dan membuat bulu kuduk
meremang. Sebuah appetizer yang tentu
mengundang selera untuk mencicipi sajian lebih lanjut.

Selama kurang lebih satu jam
selanjutnya, Perempuan Tanah Jahanam memang
menghadirkan rasa gelisah dan ketakutan secara konstan. Dimulai dari adegan Maya
menyusuri lorong-lorong sepi di pasar yang jujur membuat saya ngeri, ketidaknyamanan
kemudian berlanjut begitu dua protagonis kita menjejakkan kaki di Desa
Harjosari. Pemilihan lokasi yang jitu beserta kinerja dari departemen teknis
(utamanya artistik, musik dan kamera) membuat kesan angker sangat menonjol di
desa ini sampai-sampai saya akan memilih langsung balik kanan apabila berada di
posisi Maya. Mendingan jagain kios kosong di pasar ya daripada bermalam di
Harjosari. Ogah banget, duhhh… Yang juga berkontribusi dalam menyokong sensasi eerie yang dimunculkan film adalah
performa sangat baik dari jajaran pemain seperti Ario Bayu yang kentara
menyembunyikan suatu rahasia mengerikan, Christine Hakim yang akan membuat kita
tunggang langgang hanya dari tatapannya, dan Asmara Abigail yang menghadapkan
kita pada keraguan: bisakah karakter ini dipercaya? Disamping ketiganya yang menunjukkan pada penonton bagaimana Bahasa Jawa semestinya diucapkan (bukan medok ngaco macam FTV) dan jajaran pemain pendukung yang melakoni peran sebagai warga desa dengan amat
baik, jangan lupakan pula duo Tara Basro dengan Marissa Anita dari barisan
protagonis yang membentuk chemistry
asyik sehingga tak sulit untuk meyakini bahwa mereka memang bersahabat baik. Tukar
dialog diantara keduanya mengalir lancar dan memberi penonton semacam obat
penenang agar tak kelewat sepaneng (baca:
tegang sekali) dengan dialog-dialog lucu, cerdas nan menyentil yang dipersembahkan
oleh karakter Dini.
selanjutnya, Perempuan Tanah Jahanam memang
menghadirkan rasa gelisah dan ketakutan secara konstan. Dimulai dari adegan Maya
menyusuri lorong-lorong sepi di pasar yang jujur membuat saya ngeri, ketidaknyamanan
kemudian berlanjut begitu dua protagonis kita menjejakkan kaki di Desa
Harjosari. Pemilihan lokasi yang jitu beserta kinerja dari departemen teknis
(utamanya artistik, musik dan kamera) membuat kesan angker sangat menonjol di
desa ini sampai-sampai saya akan memilih langsung balik kanan apabila berada di
posisi Maya. Mendingan jagain kios kosong di pasar ya daripada bermalam di
Harjosari. Ogah banget, duhhh… Yang juga berkontribusi dalam menyokong sensasi eerie yang dimunculkan film adalah
performa sangat baik dari jajaran pemain seperti Ario Bayu yang kentara
menyembunyikan suatu rahasia mengerikan, Christine Hakim yang akan membuat kita
tunggang langgang hanya dari tatapannya, dan Asmara Abigail yang menghadapkan
kita pada keraguan: bisakah karakter ini dipercaya? Disamping ketiganya yang menunjukkan pada penonton bagaimana Bahasa Jawa semestinya diucapkan (bukan medok ngaco macam FTV) dan jajaran pemain pendukung yang melakoni peran sebagai warga desa dengan amat
baik, jangan lupakan pula duo Tara Basro dengan Marissa Anita dari barisan
protagonis yang membentuk chemistry
asyik sehingga tak sulit untuk meyakini bahwa mereka memang bersahabat baik. Tukar
dialog diantara keduanya mengalir lancar dan memberi penonton semacam obat
penenang agar tak kelewat sepaneng (baca:
tegang sekali) dengan dialog-dialog lucu, cerdas nan menyentil yang dipersembahkan
oleh karakter Dini.
(Saya berharap Joko Anwar akan membuat film komedi dengan karakter
seperti Dini dan diperankan oleh Marissa Anita!)
seperti Dini dan diperankan oleh Marissa Anita!)
Saat misteri masih melingkungi Perempuan Tanah Jahanam, rasa penasaran,
cemas, serta ngeri adalah teman baik bagi penonton. Kita dibuat menaruh curiga,
berdebar-debar, sekaligus terperanjat yang dipicu oleh gerak-gerik penduduk
desa maupun trik menakut-nakuti yang dirangkai efektif. Tapi setelah parade kengerian
berbumbu darah yang menghiasi babak pertama dan kedua, film tiba-tiba menjumpai
permasalahannya kala menjejaki babak ketiga yang berisi pengungkapan rahasia. Ada
satu dua pertanyaan mengganjal seperti “bagaimana
bisa laki-laki di adegan pembuka mengenali Maya?” dan penyelesaian
masalahnya cenderung terlampau mudah, kalau tak mau disebut malas. Saya sebetulnya paham bahwa penggunaan
teknik kilas balik dan eksposisi untuk membeberkan misteri adalah cara si pembuat film untuk
merangkul penonton awam yang emoh diajak ribet dalam menginterpretasi narasi. Namun
tak bisa dipungkiri, teknik ini beresiko tinggi. Dalam kasus Perempuan Tanah Jahanam, keputusan
tersebut berdampak pada merosotnya intensitas secara seketika. Tidak ada lagi
ketegangan, tidak ada lagi greget. Terlebih lagi, konfrontasi akhir yang sempat
saya bayangkan akan gila-gilaan pun berlangsung tenang. Mengingat Joko terus berupaya
meningkatkan intensitas di sepanjang durasi dan karakter Maya terlihat makin
terguncang, apa yang menghiasi layar di menit-menit terakhir ini jelas menggoreskan
rasa kecewa sekaligus sesal. Sensasi gegap gempita yang begitu menonjol di satu
jam pertama, mendadak pergi entah kemana.
cemas, serta ngeri adalah teman baik bagi penonton. Kita dibuat menaruh curiga,
berdebar-debar, sekaligus terperanjat yang dipicu oleh gerak-gerik penduduk
desa maupun trik menakut-nakuti yang dirangkai efektif. Tapi setelah parade kengerian
berbumbu darah yang menghiasi babak pertama dan kedua, film tiba-tiba menjumpai
permasalahannya kala menjejaki babak ketiga yang berisi pengungkapan rahasia. Ada
satu dua pertanyaan mengganjal seperti “bagaimana
bisa laki-laki di adegan pembuka mengenali Maya?” dan penyelesaian
masalahnya cenderung terlampau mudah, kalau tak mau disebut malas. Saya sebetulnya paham bahwa penggunaan
teknik kilas balik dan eksposisi untuk membeberkan misteri adalah cara si pembuat film untuk
merangkul penonton awam yang emoh diajak ribet dalam menginterpretasi narasi. Namun
tak bisa dipungkiri, teknik ini beresiko tinggi. Dalam kasus Perempuan Tanah Jahanam, keputusan
tersebut berdampak pada merosotnya intensitas secara seketika. Tidak ada lagi
ketegangan, tidak ada lagi greget. Terlebih lagi, konfrontasi akhir yang sempat
saya bayangkan akan gila-gilaan pun berlangsung tenang. Mengingat Joko terus berupaya
meningkatkan intensitas di sepanjang durasi dan karakter Maya terlihat makin
terguncang, apa yang menghiasi layar di menit-menit terakhir ini jelas menggoreskan
rasa kecewa sekaligus sesal. Sensasi gegap gempita yang begitu menonjol di satu
jam pertama, mendadak pergi entah kemana.
Exceeds Expectations (3,5/5)


, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.







