
Satu hal yang perlu untuk dilakukan sebelum menonton sebuah film rancangan Paul W.S. Anderson adalah jangan pernah berekspektasi apapun (meski rendah sekalipun!) dan… yah, sebaiknya tinggalkan otak di luar gedung bioskop. Garapan terbarunya, Pompeii, pun masih perlu mendapat perlakuan semacam itu. Trailernya boleh saja mengundang perhatian dengan memberi sekilas pemandangan mengerikan dari amukan Gunung Vesuvius yang melontarkan materi vulkanik bertubi-tubi tanpa ampun ke berbagai arah membuat penduduk Pompeii tak berdaya, namun filmnya sendiri… Ah, bahkan lagu populer dari Bastille yang berjudul sama pun masih jauh lebih terasa menghentak, greget dan bergigi. Apa yang terjadi kepada Pompeii ini membuat saya sedikit banyak teringat kepada nasib dari 2012 milik Roland Emmerich; trailer yang bombastis untuk film yang kaotis. Blah.
Beruntung, waktu dan uang saya tidak sepenuhnya terbuang sia-sia karena menginjak 30 menit terakhir, film mulai sedikit menggeliat mengiringi bangunnya Gunung Vesuvius dari tidur panjangnya. Visualisasi Paul W.S. Anderson terhadap amukan Gunung Vesuvius dalam meluluhlantakkan Pompeii dan seisinya terbilang nyata, mengagumkan, sekaligus mengerikan; lava yang menggelegak, lahar yang menuruni lereng, lontaran materi vulkanik, awan panas yang bergulung-gulung, tsunami, hingga diakhiri hujan abu yang mengucur deras. Dengan apa yang menimpa alam di Indonesia beberapa waktu belakangan ini, penggambaran si pembuat film yang cukup mendetail mengenai gunung berapi yang marah besar ini memang tergolong berhasil memberikan mimpi buruk tersendiri. Inilah yang menjadi bagian terbaik dari Pompeii yang menyelamatkan film dari jurang keterpurukan yang semakin dalam… seharusnya. Ya, seharusnya.
Seolah belum cukup menyiksa penonton dengan gelaran kekonyolan di paruh awal, Paul W.S. Anderson kembali menghadirkan nuansa yang “maunya sih dramatis”, “maunya sih romantis”, “maunya sih heroik”, dan maunya maunya lainnya di tengah-tengah Gunung Vesuvius yang menggeram dahsyat. Mengingat betapa deretan tokoh di film tidak dibekali penggalian karakter yang mencukupi ditambah pula performa para pemain yang seadanya dan tidak didukung oleh skrip yang terajut dengan baik, maka gelaran penutup yang diharapkan untuk menjadi megah, dramatis, romantis, dan sebagainya ini pun gagal tercapai. Ketimbang mengusap air mata, saya malah justru mengernyitkan dahi sekaligus tertawa pahit. Sungguh disayangkan.
Poor



, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.