
Kisah yang terakhir adalah mengenai Rika (Endhita) dan Surya (Agus Kuncoro). Rika memutuskan untuk melepaskan jilbabnya paska bercerai dengan sang suami dan pindah agama menjadi Katolik. Demi menanggung keputusannya ini, Rika mendapat cemoohan dari para tetangga dan protes dari anaknya sendiri, Abi (Baim). Rika sendiri menginginkan agar Abi tak mengikuti jejaknya dan menjadi seorang Muslim yang taat. Persahabatannya dengan Surya mengalami tarik ulur dan sepertinya mereka memiliki perasaan yang tak terungkapkan. Surya adalah seorang aktor gagal yang berhutang budi pada Rika karena telah membantunya mendapatkan peran utama. Tapi peran ini justru membuat Surya mengalami konflik batin karena dia dituntut untuk memerankan Yesus ! Ya, dari ketiga kisah ini, Rika & Agus adalah yang paling menarik. Konflik yang dialami oleh Rika dan Surya digambarkan begitu jelas dan harus diakui, yang paling pelik dari semua karakter disini. Endhita dan Agus Kuncoro pun bermain apik. Bagaimana Rika harus menghadapi berbagai cercaan dari masyarakat, kemarahan dari anaknya dan terkadang dirinya pun belum sepenuhnya yakin bahwa pilihannya ini benar. Sementara pergolakan batin yang dialami Surya pun tak kalah hebat, akankah dia menerima peran Yesus demi karir aktingnya yang tidak seberapa ? Ketakutannya, imannya akan runtuh karena peran ini. Namun seperti yang Romo bilang, “Iman seseorang tidak akan hancur karena drama, melainkan karena kebodohan.”
Beruntunglah Revalina S. Temat dan Reza Rahadian tahu apa yang diinginkan oleh Hanung Bramantyo karena bagian Menuk & Soleh sama sekali tidak menarik. Konfliknya terlalu biasa dan umum, hampir tak ada greget. Seandainya mereka berdua salah mempersepsikan keinginan Hanung, maka film akan berjalan timpang. Apa yang dimunculkan dalam segmen Tan Kat Sun & Hendra masih lebih enak untuk dinikmati. Sungguh disayangkan Rio Dewanto kurang maksimal, padahal konflik yang dihadirkan lumayan memikat. Pertemuan dua kisah ini dihadirkan dengan cukup menggugah dan mau tak mau mengingatkan kita pada Sang Pencerah. Rumah makan Koh Tan diserbu massa lantaran Hendra keukeuh untuk membuka rumah makan saat Idul Fitri tiba. Sekali lagi pengrusakan ini mengatasnamakan agama. Dari puing – puing rumah makan yang berserakan, Hendra menemukan sebuah buku berisi Asmaul Husna. Dari sinilah dia mulai sadar. Alur pun mulai berjalan normal kembali hingga akhirnya memuncak saat sebuah gereja diteror bom di malam natal. Segalanya baik – baik saja sampai disini, tapi kemudian Hanung mencederai filmnya sendiri dengan memberi close ending yang terkesan dipaksakan. Haruskah seperti itu ?
Setelah berjalan 100 menit dengan cukup mulus, ? (Tanda Tanya) malah diakhiri dengan paksa. Open ending rasanya malah lebih cocok untuk film seperti ini. Pada akhirnya setelah menonton ? (Tanda Tanya) kita akan dipaksa untuk bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita sudah menjalankan perintah agama dengan benar ? Percuma jika kita rajin beribadah dan hafal isi kitab suci jika kemudian menyerang pemeluk agama lain karena menganggap mereka sesat. Apa kita sudah lebih baik dari mereka ? Hanya Tuhan yang berhak menghakimi. Serahkan semuanya kepada Tuhan. Doakan mereka. Hanung mencoba memperlihatkan kepada kita bahwa perbedaan itu adalah sesuatu yang indah, bahwa tak seharusnya sebagai sesama makhluk Tuhan saling membenci dan menyakiti hanya karena berbeda. Demi mencapai tujuannya, Hanung agak sedikit ekstrem menjelaskannya dalam bahasa gambar. Dari sinilah kita juga seharusnya tahu, menonton film itu tidak gampang. Butuh pemikiran yang terbuka dan pemahaman. Jika mengutip apa yang dikatakan oleh Romo, iman seseorang tidak akan hancur karena sebuah film, tetapi karena kebodohan.
Acceptable
Trailer :

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.