
Suatu hari, saya pernah disuguhkan
pertanyaan lewat sebuah cerita oleh salah satu guru, saat saya sowan ke
rumahnya. Ceritanya cukup menarik, singkatnya saya sampaikan di awal tulisan sini.
“Nak, di dalam diri saya, tentu juga di dalam diri semua orang, sedang terjadi
tertempuran dahsyat antara dua srigala, satu srigala hitam dan satunya srigala
putih. Srigala hitam mewakili kemarahan, kesombongan, kedengkian, keegoisan dan
lain-lain, sedangkan srigala putih mewakili kelembutan, kesabaran, cinta kasih,
kedamaian dan seterusnya. Dari pertempuran tersebut, menurutmu srigala mana
yang akan menang?” Pertanyaan sederhana tapi butuh kerja akal untuk mencari
alasan dari jawaban yang akan saya pilih. Tanpa pikir panjang, saya menjawab “Srigala
putih, karena kebaikan pada akhirnya akan selalu menang”. Guru saya
menggelengkan kepala. Karena hanya ada dua pilihan, berarti srigala hitam yang
menang dengan dalih kejahatan bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan kemenangan.
Sang guru masih menggelengkan kepala.
Beberapa
menit kemudian, setelah menghela nafas, guru saya menjawab “Yang akan menang
adalah srigala yang senantiasa kau beri makan”. Jawaban dari pertanyaan sederhana itu cukup
membuat hati saya tersentuh. Saya jadi berpikir tentang revolusi industri 4.0
yang sering didengungkan sebagai bagian dari kemajuan zaman, ditambah lagi
dengan sikap apatis sebagian besar masyarakat terhadap nilai-nilai lokal demi
mencapai suatu kepuasan yang bersifat material. Lalu, jika dikaitkan dengan
cerita di atas, srigala mana yang berhasil memenangkan pertarungan ini?
Revolusi
Industri dan Kemenengan Srigala Hitam
Di
kampung tempat tinggal saya, pada mulanya bisa dibilang primitif jika
dibandingkan dengan kampung-kampung sekitarnya. Namun, dinamika kehidupan secara
evolutif, mau tidak mau, pasti menunjukkan progres dari keadaan sebelumnya. Hal
itu diawali dengan masuknya lampu listrik sekitar tahun 2003, itupun masih
belum normal, kemudian diikuti dengan kemajuan alat-alat teknologi yang saat
ini sudah menyebar luas hingga seantero alam. Beberapa media sosial begitu
sangat digandrungi oleh masyarakat dan menjadi tempat nongkrong paling nikmat
sebagai aktualisasi dari kecenderungannya dalam melayani srigala hitam. Sehingga
tidak heran jika srigala hitam lebih berperan aktif dalam mengatur gerak
langkah masing-masing individu yang semakin menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai
lokal sebagai identitas bangsa.
Pada
perkembangan selanjutnya dapat dilihat dari masuknya beberapa investor asing yang
berhasil mempengaruhi masyarakat Totale (nama kampung saya) dengan rupiah yang
nominalnya cukup besar. Masyarakat tak juga mampu melihat persoalan ini dari
berbagai sudut pandang. Beberapa tanah mereka rela disewakan untuk dijadikan lahan
industri dengan membangun tambak udang yang saat ini sudah hampir memenuhi
pesisir pantai Totale. Tanah pesisir yang seharusnya ditanami jagung, kacang
dan biji-bijian yang bisa dikonsumsi secara turun terumun dari generasi ke
generasi, kini telah berubah menjadi tambak udang yang semakin menyempitkan
lahan pertanian. Bukan hanya itu, ekosistem laut pelan-pelan juga mengalami kerusakan
yang merugikan para nelayan dengan menjadikan lautan sebagai salah satu lahan
mencari nafkah.
Revolusi
industri 4.0 telah merasuk pada semua dimensi kehidupan. Hal ini, memberikan concern
yang cukup serius dari beberapa pihak terutama yang memiliki kepedulian dalam
menjaga dan memelihara kearifan lokal. Kemajuan dari segi teknologi memang
diakui telah berhasil merubah dunia yang semakin memperjelas nilai pragmatis
dalam kehidupan sosial pada setiap aspeknya. Silaturrahim bisa dicukupkan
dengan via telepon, whatsApp, facebook dan berbagai media sosial lainnya, tanpa
bertemu, berjabat tangan lalu ngobrol dalam satu atap sebagai upaya menjalin
dan mempererat ukhuwah islamiyah. Hal yang sama juga terjadi pada
kegiatan belajar mengajar yang saat ini sudah serba online. Perkembangan
teknologi semakin memperluas ruang untuk mencerdaskan intelektual anak bangsa
dengan melupakan aspek lainnya, yaitu aspek emosional dan spiritual.
Seorang
filosof mengatakan “Perjalanan paling jauh sepanjang kehidupan manusia adalah perjalanan
antara akal dan hati”. Dua potensi besar (akal dan hati) hendaknya mendapat
sentuhan secara seimbang agar dapat melahirkan sikap luhur sebagai generasi
bangsa yang membanggakan. Bukan sebaliknya, justru menjadi generasi yang
keberadaannya semakin menambah persoalan dan tentunya sangat memprihatinkan. Karena
kecerdasan akal yang tidak diimbangi dengan kecerdasan hati, tidak akan mampu
menjangkau eksistensinya sebagai manusia. Ada sebuah pepatah “Betapa mudah
menjadi sarjana, tetapi betapa sulit untuk jadi manusia”. Hal ini berarti ada
banyak kualitas yang bergantung pada kepribadian dan nilai seseorang (Murthadha
Muthahhari, 2005: 26).
Pendidikan
yang diakui sebagai ruh kehidupan sepanjang masa, mengarahkan anak didiknya pada kebutuhan
pasar yang setiap tahunnya melahirkan lulusan (pelajar, sarjana, magister,
doktor maupun profesor) yang kurang aktif berperan dalam menyikap problematika
sosial yang semakin rumit. Dalam aktivitasnya, ada jarak pemisah antara
pendidikan dengan kehidupan sosial yang seharusnya saling melengkapi. Di era
globalisasi kapitalisme seperti saat ini, pendidikan dihadapkan pada tantangan bagaimana
mengaitkan konteks dan analisis isinya untuk memahami globalisasi secara kritis
(Mansour Fakih, 2001: xii).
Di
sinilah, think global act local memiliki peran penting agar kita dapat memesrai
setiap keadaan dengan tetap berpegang teguh pada kearifan lokal. Srigala putih
sepertinya perlu dikasih nutrisi agar global community (masyarakat
global) dengan local wisdom (kearifan lokal) dapat bersanding mesra di
tengah hiruk pikuk dunia yang terus meningkatkan persentase problematika dalam
kehidupan sosial.
Srigala
Putih: Think Global Act Local
Kemenangan
srigala hitam menjadi persoalan yang bersifat global karena menyangkut semua
aspek kehidupan. Kesenjangan dalam sektor ekonomi, sosial, politik dan
pendidikan menunjukkan bahwa keberadaan srigala putih benar-benar sangat
dibutuhkan. Kehidupan global yang tidak bisa dihindari pengaruh positif dan negatifnya,
bisa disikapi secara kritis dengan menjadikan karakteristik bangsa ini sebagai
pegangan hidup. Hal ini barangkali memiliki titik korelasi dengan kaidah ushul
fiqh yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita, yaitu “al-muhāfadlatu
‘alā al-qadīmi al-shālihi wa al-akhdzu bi al-jadīdi al-ashlah” (memelihara
yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Kaidah tersebut
agaknya mengandung makna yang tidak jauh beda dengan ungkapan think
global act local.
Berpikir
global merupakan upaya yang hendaknya dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi
setiap persoalan. Orang yang biasa berpikir secara global, ia akan terbiasa
memahami suatu keadaan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Karena, sebelum
keadaan itu hadir di hadapannya pasti ada insiden yang perlu ditelusuri agar
tidak terperangkap dalam remang-remang kapitalisme yang secara evolutif maupun
revolutif telah mengikis nilai-nilai lokal masyarakat setempat. Ketika darurat
agraria melanda negeri ini, maka think global-nya ialah mempelajari keadaan
isu-isu pertanian pada negara-negara lain dengan maksud mengambil hikmah secara
arif dan bijaksana. Begitupun pada dimensi kehidupan yang lain, seperti sosial
budaya, ekonomi, politik maupun pendidikan hendaknya mengerahkan kerja akal
untuk menganalisis secara global melalui alat-alat teknologi agar dapat memetik
ibrah dengan tegas dan cerdas.
Sikap-sikap
seperti itulah yang semestinya tetap dijaga sebagai upaya melestarikan kearifan
lokal, yaitu nilai-nilai luhur yang menjadi ciri khas bangsa kita, Indonesia. Namun,
kira-kira siapa atau pihak mana yang paling berperan dalam melahirkan generasi
yang memiliki kemampuan think global act local ini? Ketika
globalisasi telah menjamah seluruh kehidupan manusia, lalu sisi kehidupan yang
mana yang seharusnya bertanggung jawab dalam menciptakan generasi gemilang yang
mampu berpikir global dan berindak lokal? Zamroni menegaskan, pendidikan
memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin
menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan global community.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan ialah mengembangkan pendidikan yang
berwawasan global dengan cara meningkatkan kesadaran bahwa kita dapat memahami
keadaan dengan baik, apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat dan
isu-isu global (Zamroni, 2000: 90-91).
Kesadaran
yang dimaksud oleh Zamroni adalah wajah lain dari srigala putih yang senantiasa
memberikan energi positif dalam mengembalikan eksistensi pendidikan sebagaimana
mestinya. Think global act local menjadi jalan terjal yang harus
ditempuh untuk menetralisir krisis demi krisis yang melanda bangsa ini. Namun,
pertarungan dua srigala tersebut masih terus berlangsung bahkan dari hari ke
hari akan bertambah sengit dari pada sebelumnya dan hari ini. Lalu, srigala
mana yang akan kita menangkan? Wallahu a’lam!
(Dimuat di Majalah New Fatwa Edisi 17, 2020)

, Terimakasih telah mengunjungi Ulasani.com, semoga bermanfaat dan lihat juga di situs berkualitas dan paling populer Aopok.com, peluang bisnis online Topbisnisonline.com, pasang iklan gratis Iklans.com dan join di komunitas Topoin.com.







